Bab 5. Permintaan Maaf
Alea tahu bahwa sejak awal dia sudah salah mengambil keputusan. Melihat bagaimana saat ini Gina memeluknya erat sambil menangis. Tak ingin membiarkannya pergi bahkan sedikit saja.
"Aku rindu sekali sama Kakak," isaknya seakan Gina tak bisa lagi melihat Alea esok hari. "Kakak kemana saja selama ini? Aku kira kakak membenciku... Jangan pergi lagi, kumohon..." Gina menengadah, matanya terlihat merah dan sedikit bengkak akibat tangisan yang tak kunjung henti.
Percuma saja Alea menengadah untuk menahan air matanya yang mengalir jika hatinya terus merasakan penyesalan yang mendalam karena sudah meninggalkan Gina untuk bertahan sendirian melewati penyakitnya selama ini. Tangannya yang lentik bergerak mengelus kepala Gina. "Maafkan kakak, Sayang," bisiknya disertai dengan isakan yang tak kunjung henti. "Maafkan kakak..."
Gina menggeleng, melepaskan pelukannya dan menatap Alea sambil tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, kak. Yang kuinginkan adalah kehadiran kakak disini. And here you are."
Dan senyuman itu membuat Alea berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia takkan pernah meninggalkan Gina kembali. Apapun resikonya, ia akan membantu Gina untuk melewati penyakitnya.
"Kau sudah makan?" tanya Alea sambil memperhatikan wajah Gina yang sudah lama tak ia lihat. Oh, betapa ia merindukan gadis kecil ini...
"Aku sudah makan. Suster gemuk mengantarkannya pagi tadi." Gina menyahut polos yang membuat Alea tersenyum geli dan menghapus air mata yang tersisa. "Kau tahu kak, mereka selalu mengurungku disini dan tak membiarkanku kemana-mana. Ketika Mommy menjengukku, baru mereka memperbolehkanku keluar."
"Mommy?"
Gina mengangguk cepat. "Mommy pernah menanyakan tentang kakak, tapi aku menjawab tidak tahu karena aku memang tidak tahu keberadaan kakak saat itu. Kakak menghilang begitu saja," gumamnya pelan sebelum melanjutkan, "Tapi, sekarang kakak sudah bersamaku. Kakak tidak akan meninggalkanku lagi, 'kan?"
Alea tersenyum dan mengangguk. "Kakak janji tidak akan meninggalkanmu lagi," sahut Alea yang disertai sumpahnya dalam hati untuk tidak meninggalkan adik angkatnya ini. "Kalau begitu, apa Gina ingin keluar sekarang? Kakak akan mengantarkanmu kemanapun kau mau."
"Benarkah? Aku ingin ke taman saja, Kak," gumamnya penuh antusias. Alea tersenyum sebelum keluar untuk meminta kursi roda dari suster yang berjaga tak jauh dari ruangan Gina dan membawanya ke ruangan sang adik.
Alea bantu memapah Gina agar duduk di kursi itu.
"Kak, yang sakit itu hati aku, bukan kaki aku. Jadi, kenapa aku harus memakai kursi roda?"
"Kau tidak boleh lelah, Sayang." Ia memberi pengertian kepada Gina. Perlahan, Alea mendorong kursi roda Gina untuk menuju ke halaman rumah sakit sesuai permintaannya.
Ditatapnya punggung ringkih Gina dengan iba. Kenapa dia begitu bodoh selama ini? Sejak lama keduanya tidak berjalan bersama seperti ini dan tentu saja, Alea merindukan hal seperti ini. Ia ingat dulu dirinya sering mengajari Gina membaca dan menulis agar tidak ketinggalan dengan anak-anak seusianya. Karena sejak kecil, Gina sudah menginap di rumah sakit.
Mereka duduk di dekat air mancur atas permintaan Gina. Rumah sakit ini luar biasa mewah, designnya juga menarik. Terdapat beberapa taman di rumah sakit ini. Ada taman depan, belakang dan taman yang berada di tengah-tengah rumah sakit. Keduanya menikmati pemandangan alam buatan tersebut. Melihat orang-orang berlalu lalang dan menghirup udara matahari yang telah lama tidak Gina lakukan.
"Kakak ada permen untukmu," ujarnya saat mengingat sebuah permen yang ia beli ketika hendak ke rumah sakit. Karena permen itu mengingatkannya pada Gina.
"Wah, terima kasih kak." Gina tersenyum senang. Bahagia bisa melihat senyuman kembali di wajah cantik adik angkatnya ini. "Aku senang bisa berkenalan dengan kakak selama ini. Kakak selalu menjagaku dengan baik, bahkan saat kedua orang tuaku tak memperdulikanku."
Gina menatap lollipop pemberian Alea sedih. Teringat kembali akan kedua orang tuanya yang tidak pernah memperhatikannya. Bahkan, tidak sekalipun menjenguknya yang sedang berada di rumah sakit. Melihat raut sedih Gina, membuat Alea lagi-lagi dihantam rasa bersalah serta penyesalan. Tanpa sadar, keduanya meneteskan air mata secara bersamaan.
Alea dan David menyembunyikan keadaan orang tua Gina karena tidak ingin gadis kecil ini terguncang jiwanya. Belum lagi sakit yang di derita oleh Gina. Bahkan, mereka tak pernah mengatakan bahwa Gina memiliki kanker yang akan memperburuk keadaan gadis itu. Mereka hanya beralasan bahwa hati Gina sedang bermasalah sehingga harus di rawat.
Alea memilih duduk berjongkok di hadapan Gina. Ia menatap luka pada sosok mungil dan kurus di hadapannya. Bahkan, air matanya tak ingin berhenti.
"Kakak jangan menangis." Gina menatap Alea sambil mengulas senyumannya. Dihapusnya air mata Alea dengan tangan kecilnya. Yang membuat Alea kian terharu dan tak bisa untuk tidak terisak.
"Maafkan kakak, Sayang... Maafkan Kakak," bisiknya lalu memeluk Gina yang duduk di kursi roda. Tak ingin membiarkan Gina mengetahui lebih lanjut bahwa ia benar-benar merasa sedih dan terluka.
"Kakak tidak perlu meminta maaf. Kakak tidak punya salah denganku," sela Gina sambil membalas pelukan Alea. "Asalkan Kakak ada disini, aku baik-baik saja. Aku tidak memerlukan orang tuaku." Dan karena yang Gina tahu adalah Alea bersedih mengingat orang tua Gina yang tidak memperdulikannya.
Tidak! Bukan itu. Alea bersedih karena perasaan bersalahnya menyembunyikan keadaan orang tua Gina. Ia tak mampu berkata jujur dan itulah yang membuat dadanya semakin terasa sesak.
Seketika, Alea menangkup kedua pipi Gina dengan tangannya, "Kakak berjanji, kakak akan selalu ada untukmu. Kakak akan menggantikan posisi orang tuamu untuk menjagamu," ujarnya yakin kepada anak kecil berumur enam jalan tujuh tahun ini. "Kakak juga berjanji, pada saat kamu sembuh nanti, kakak akan membawamu pulang ke rumah kakak." Gina langsung menghambur kembali memeluk Alea. Ia senang, sungguh sangat senang.
Dan tanpa disadari, keduanya telah mencuri perhatian dari sepasang manusia yang tengah melakukan pendekatan diri.
"Alea anak yang baik." Venny berkata seraya tersenyum kecil pada Willy yang ada disebelahnya, tengah memperhatikan Alea dan anak yang di rawat di rumah sakitnya itu beberapa tahun yang lalu. Bukannya ia tidak tahu kondisi anak itu, namun itu bukan bidangnya. Karena ia bekerja sebagai dokter saraf. Maka itulah, Willy jarang sekali berjumpa dengan gadis kecil itu.
"Yah, walaupun dia suka membuat masalah di kampus, sikap yang menjengkelkan, namun ia memiliki hati yang lembut," lanjut Venny sambil tersenyum bangga pada sahabatnya itu.
Willy terus memperhatikan Alea yang sedang memberikan nasihat-nasihat untuk gadis kecil itu hingga suara tak asing menginterupsi mereka, "Daddy," panggil Keylo riang sambil berlari ke arahnya lalu memeluknya erat.
Baik Willy maupun Venny menoleh kaget. Menatap lelaki kecil dengan penampilan yang selalu tampak keren, "Boy?" tanyanya tak percaya. "Kau pergi bersama siapa?"
"Nenek, Daddy," jawabnya yang terlampau riang, membuat Venny tersenyum karena tingkah lucunya.
"Ah, kalian disini ternyata?" Eliza menghampiri puteranya dan calon menantunya. "Jadi, bagaimana hubungan kalian? Sudah sampai mana?" Wanita paruh baya tersebut bertanya seakan tak sabar untuk kembali menimang cucu.
"Mommy!" tegur Willy tegas karena ibunya terlalu memaksakan kehendaknya pada Willy. Namun, beda halnya dengan Venny yang sudah merona karena mendapat pertanyaan menggoda tersebut.
"Baiklah." Eliza memutar bola matanya jengkel. "Mommy tidak akan mengganggu kalian berdua lagi." Ia menarik tangan kecil Keylo. "Yuk sayang, kita pergi," ajaknya pada sang cucu. Namun, Keylo sama sekali tidak beranjak dari tempatnya karena matanya justru terpaku pada satu sosok yang tak jauh di depannya.
"Sayang?" panggil Eliza kembali.
Bukannya membalas panggilan sang nenek, lelaki kecil itu justru berteriak keras memanggil sosok yang dikenalnya, "Mommy!" Keylo berseru keras tanpa memperdulikan tatapan bingung Eliza dan juga Venny. Willy sendiri justru lupa pada puteranya yang begitu lengket dengan Alea. Ia mengumpat dalam hati, takut akan respon sang ibu yang memalukan.
Alea yang mendengar suara yang tak asing itu seketika menoleh dan menatap kaget pada sosok Keylo dengan matanya yang memerah serta sedikit bengkak.
"Mommy," panggil Keylo sekali lagi seolah memastikan bahwa yang dipanggil adalah benar mommynya.
"Keylo?" gumamnya pelan sebelum tatapannya terpaku pada sosok wanita paruh baya yang kini turut menatapnya terkejut. "Mommy?"
Bagaimana mungkin? Setelah sekian lama... Alea kembali bertemu dengan Eliza. Seketika, rasa bersalah kembali terselip di dadanya.
"Mommy...," teriak Gina tiba-tiba memanggil sosok Eliza yang masih terdiam membeku menatap sosok Alea. "Mommy!" Sekali lagi, Gina berteriak sambil melambaikan tangan yang terdapat lolipop disana.
Eliza bergerak perlahan mendekati Alea dan juga Gina. Keylo lebih dulu berlari dan langsung memeluk Alea erat. Membuat Alea secara refleks membalas pelukan lelaki kecil itu.
"I miss you, Mom," bisiknya pelan tak ingin melepaskan pelukannya.
Alea tersenyum. Mengelus punggung Keylo, "I miss you too, handsome.” Dan sejak lelaki kecil ini menjadikan dirinya sebagai ibu angkat Keylo, Alea sebisa mungkin menghindari sosok Willy yang tampak berbeda dan aneh.
Ya, siang itu Willy menawarkan untuk mengantarnya pulang. Membiarkan Keylo duduk di pangkuannya selama perjalanan. Bahkan, Willy berterima kasih karena sudah memperlakukan puteranya sebaik itu. Padahal, Alea hanya merasa bahwa Keylo benar-benar butuh perhatian seorang ibu hingga ia memenuhi keinginan lelaki kecil ini.
Tepat di sebelahnya, Eliza memeluk Gina erat. "Mommy merindukanmu, Nak. Apa kau baik-baik saja?"
Gina mengangguk antusias. "Aku baik-baik saja, Mommy. Apalagi, setelah Kak Lea balik," tunjuk Gina pada sosok Alea yang sedang berpelukan dengan cucunya.
Eliza kaget melihat betapa dekatnya Keylo dan Alea saat ini. Apalagi dengan posisi keduanya yang berpelukan. Ia hendak bersuara, namun Willy lebih dulu berkata penuh rasa khawatir, "Mom, I can explain this."
Mata Eliza menatap puteranya bingung. Sebelum kembali menatap Alea nanar yang sudah lepas dari pelukan cucunya. Dan dengan segera ia memeluk gadis erat.
"Alea... Ini kau 'kan, Nak?" tanyanya sambil menangkup wajah Alea. "Astaga Alea... Mommy merindukanmu, Sayang," lanjutnya kemudian sambil mendekap tubuh Alea erat.
Willy dan Venny yang memperhatikan jelas merasa aneh dan bingung. Namun, keduanya masih tak mengucapkan apapun hingga suara Eliza kembali terdengar khawatir,
"Kemana saja kau selama ini, hah? Kenapa kau tidak memberi kabar pada Mommy ataupun Gina? Oh, Nak... Mommy sangat merindukanmu." Eliza tak membiarkan Alea menjelaskan. Saking rindunya ia pada Alea, Eliza bahkan menangis haru.
Alea tersenyum. Membalas pelukan Eliza yang sudah membantunya merawat Gina selama ia tidak ada. "Maafkan aku, Mom."
"Astaga, Alea... Mommy dan Gina hampir menyerah mencarimu," serunya ketika ia melepaskan pelukannya. "Bahkan Gina hampir menyerah dengan penyakitnya. Tapi, ia masih berharap bahwa suatu saat kau pasti kembali."
Lagi-lagi hatinya terasa sakit. Jika saja ia kembali lebih cepat, maka kebersamaannya dengan Gina pasti akan lebih lama. Oh Tuhan, betapa ia sangat amat menyesal...
Matanya melirik Gina yang justru tersenyum saat melihat dirinya dan juga Eliza. Alea kembali berlutut di hadapan Gina. Mengambil kedua tangan kecil itu, lalu menciumnya. "Maafkan Kakak, Sayang." Alea menunduk dalam, membiarkan air matanya mengalir di atas paha Gina yang dilapisi seragam rumah sakit. "Maafkan Kakak..."