Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4. Elgina Renfrew

Alea memakai liptint sebagai sentuhan terakhir untuk bibirnya. Ia tidak mengenakan make-up apapun selain daripada itu. Pagi ini adalah jadwal kunjungannya kepada David. Tidak rutin memang mengingat kesibukannya disela kuliahnya yang berjadwal lumayan padat.

"Bolehkah aku ikut?" Venny yang sudah sejak pagi berada di kamar Alea, turut meminta pergi. Ia tahu bahwa Alea akan mengunjungi sepupunya, maka itu ia bergegas untuk ikut ke rumah sakit menemui calon masa depannya. "Sudah 3 hari aku tidak berjumpa dengannya. Rasanya seperti 3 tahun."

Seketika, mata Alea berputar jengah. Venny terlalu berlebihan jika itu sudah menyangkut tentang Willy. Tidak tahu, apakah gadis itu benar-benar mencintai atau hanya terobsesi semata?

"Jadi boleh ya aku ikut denganmu?" desaknya kembali sambil mengeluarkan jurus mata puppy eyes yang justru terlihat seperti anak kucing. Dan hal itu membuat Alea menggeram tidak suka karena sudah dipastikan, ia tak akan bisa menolak.

"Terserah kau."

Mata Venny berbinar senang. Ia segera meraih alat make-up yang ada di dalam tasnya. Memberikan polesan pada wajah cantiknya sebelum keduanya berangkat ke rumah sakit menggunakan sedan milik Alea.

Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke Henderson Hospital. Baik Alea dan Venny langsung melangkah menuju ke ruangan David. Alea tahu, bahwa David sekarang sedang tidak ada pasien ataupun operasi, sehingga dia memutuskan untuk menemuinya langsung di ruangan.

"Hai, Dav." Alea membuka sedikit pintu ruangan David dan setengah mengintip sebelum membukanya lebar.

"Hai, Sweety," balas David seraya tersenyum kecil. Menutup berkas apapun yang baru saja ditandatangani olehnya sebelum matanya menangkap sosok gadis dengan bingung. Ia kembali melihat sepupu keras kepala yang duduk di hadapannya. "Tidak jadi pergi sendiri?"

"Ah, perkenalkan. Ve, ini sepupuku David. David, ini sahabatku Venny." Alea memperkenalkan keduanya.

"Venny."

"David."

Mereka berjabat tangan. Sebelum otak David mengingat sesuatu, ia bertanya ragu. "Apakah kau yang dijodohkan bersama Willy?"

Venny terkesiap. Beritanya tersebar begitu cepat. Namun, bagaimanapun ia harus siap apalagi jika sampai seisi kampus tahu. Maka Venny harus bersiap-siap mengingat bagaimana para teman-temannya begitu mengidolakan dosen yang satu itu.

"Maaf jika kesannya aku terlalu ingin tahu," lanjut David saat tak mendengar jawaban apapun dari Venny.

"Ah, tidak apa-apa, Dav." Berusaha untuk tersenyum walau sejujurnya ia sedikit malu. "Ya, aku memang akan bertunangan dengannya."

David mengangguk mengerti sebelum mempersilahkan tamunya duduk. "Mari duduk dulu."

"Telat!" sahut Alea ketus. "Kenapa tidak dari tadi kau mempersilahkan kami?" tanyanya sebelum tiba-tiba pintu ruangan kerja David terbuka lebar.

Brak!

Baik Alea, David, dan Venny dengan kompak menoleh ke arah pintu yang dibuka secara tidak manusiawi. Sosok Willy dengan penampilan yang tak bisa dibilang rapi berdiri dengan wajah menahan amarah sekaligus kesal. Bahkan, ia tak sadar jika ada calon tunangannya beserta temannya disana.

"Sampai berapa lama lagi aku menunggumu, sialan!" Dan kini seakan menyadari bahwa tidak hanya David yang berada di dalam ruangan itu, Willy mengumpat pelan. "Damn!" Setelahnya, ia kembali meninggalkan ruangan David dengan perasaan yang semakin memburuk.

Melihat tingkah kesal sang sahabat, David justru terkekeh kecil. Ia tahu bahwa Willy sedang menyumpah serapah untuk dirinya. Tapi, yang sebenarnya David inginkan adalah mengerjai lelaki itu sesekali.

“Ada apa dengannya?” Alea membuka suara lebih dulu kala melihat cengiran jahil milik sepupunya. "Kau mengerjainya, Dav?”

Kekehan David berhenti, berdeham pelan mengingat Alea tahu persis tingkah lakunya. "Aku menyuruhnya untuk menjaga pasienku yang baru siap operasi kemarin. Pasien yang sangat cerewet. Aku pastikan dia tidak tahan dengan wanita itu," lanjutnya disertai kekehannya kembali tanpa memperdulikan tatapan tajam milik Alea.

"Ah, Venny, kau pergilah mengejarnya. Aku akan mengurus pasien itu." David mengedipkan sebelah matanya, bermaksud menggoda Venny. Alea yang melihat itu tak segan menginjak kuat kaki David yang dibalut sepatu sport.

"Auchh!"

"Rasakan." Alea mendelikkan matanya sebelum mendengus dan memperhatikan sekeliling.

"Thanks, Dav. Kita bertemu lagi nanti, Al." Venny bergumam pelan sambil menepuk pundak Alea.

Gadis itu hanya mengangguk. Membiarkan sahabatnya mengejar calon tunangannya.

"Mm, Dav," panggil Alea pelan. Merasa sedikit ragu ingin bertanya sesuatu.

David menolehkan kepalanya seolah bertanya 'ada apa?' dengan isyarat. Karena sejujurnya, ia masih kesal dengan Alea yang menginjak kakinya dan membuat sepatu putih mahalnya menjadi kotor.

"Aku merindukannya." Alea berujar pelan, lalu menunduk sedih. "Apakah dia sehat? Apakah dia baik-baik saja?" tanyanya yang membuat Alea semakin merasa terluka. "Masih adakah kesempatan aku menemuinya, Dav? Masikah ingin dia bertemu denganku?" Pertanyaan beruntun dari sepupunya itu membuat David langsung menatap Alea iba. Karena ia tahu seberapa besar Alea menahan diri untuk tidak merasa bersalah.

"Sudah waktunya untukmu melihatnya, Al. Ini hampir dua tahun. Sampai kapan kau ingin menghindarinya seperti ini?" David menatap lurus pada sosok gadis yang terlihat rapuh.

"A-aku tidak sanggup."

David menggeleng tegas. Tidak setuju dengan ucapan yang baru saja keluar dari bibir tipis itu. "Tidak! Kau pasti sanggup."

"But, Dav-"

"Alea!" David menyela tegas dan cepat. "Apa kau tahu keadaannya akhir-akhir ini?"

Alea menggeleng kuat. "Aku tidak sanggup mendengarnya."

"Kau harus!" sela David dengan mata menatap tajam. "Aku tidak akan membiarkanmu menghindar lagi kali ini, Al. Kau harus mendengar penjelasanku!"

Alea terus menggeleng. Matanya menatap David nanar, "Dav, please..."

"Setahun lalu, dia masih dalam tahap stadium II, Alea. Selama itu, dia terus menanyakan keadaanmu! Dia mencarimu bahkan dia sampai pingsan karena rindu padamu. Lalu, beberapa bulan lalu perkembangannya semakin memburuk. Tiba-tiba saja, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kini dia sudah dalam tahap stadium IV! Dimana disana tidak hanya terdapat beberapa tumor yang berukuran 5 cm, tapi juga kanker yang telah menyebar ke kelenjar getah bening serta organ lain di dekatnya." David menatap lekat sosok Alea dihadapannya. "Apa kau masih ingin menghindarinya?"

"Orang tuanya meninggal, Dav! Dan aku menyembunyikan itu darinya," seru Alea saat rasa sedihnya tak tertahankan.

"Damn, Alea! She's just a kid with five years old. All she needs is you!"

Alea benar-benar tak bisa menahan tangisnya. Dadanya terasa sesak seakan ada yang memukul dari dalam. Alea telah melakukan kesalahan besar dengan menyembunyikan kematian orang tua dari seorang anak di bawah umur. Sejujurnya, ia melakukan itu karena tidak tega untuk membuat gadis kecil itu kembali terbebani. Ia takut kalau berita itu hanya membuat gadis manis itu semakin sakit.

"Waktunya tidak akan lama lagi, Alea. We both know that!" David menghela napas pelan. Perjuangan gadis kecil yang berusia lima tahun itu begitu gigih sehingga David sendiri merasa senang sekaligus sedih. Disaat gadis kecil itu berusaha untuk hidup, namun nasib justru sudah memilih takdirnya. Takdirnya yang tidak akan lama lagi hidup di dunia ini agar ia bisa bersama kedua orang tuanya yang sudah berada di atas sana.

Alea menghapus air matanya walau sia-sia. Menatap David memohon dan bergumam pelan, "Help me, Dav."

"Aku akan membantumu. Kita akan menjelaskan secara perlahan padanya, Okay?"

Alea mengangguk perlahan. Merasa sedikit tenang walau memang hatinya masih cemas. "Dimana ruangannya?"

"Vanilla 06."

"Take me there, Dav," pintanya kembali memohon.

David mengangguk. Memakai snelli miliknya sebelum mengajak Alea untuk pergi bersama, "Ayo."

•••

Alea berdiri tepat di depan sebuah ruangan yang sudah lama tidak ia kunjungi lagi. Tangannya bahkan sudah berkeringat dingin, namun ia memberanikan diri membuka handle pintu sambil melirik ke dalam. Dan saat itu pula, rasa penyesalan yang ada di dalam diri Alea seketika menyeruak ke permukaan.

Melihat sosok anak kecil, kurus, terbaring tak berdaya di atas brankar yang bertuliskan nama Elgina Renfrew. Gina yang sudah ia anggap sebagai adik kandungnya kala melihat gadis kecil itu hidup sebatangkara dengan penyakit yang menjadi temannya sejak lahir. Gina yang mengajarkannya untuk tetap bertahan hidup walau mereka sama-sama hidup sebatangkara. Kesamaan inilah yang membuat Alea dan Gina berteman baik.

Alea dengan perlahan masuk ke dalam ward yang mana ditempati Gina saat ini. Hampir dua tahun lamanya ia tak pernah bersihadap langsung dengan sosok mungil ini karena Alea selalu merasa bersalah telah menyembunyikan kematian orang tua Gina. Alea bahkan tidak sadar jika David sudah tidak mengikutinya lagi.

Air matanya kembali mengalir kala ia lihat betapa kurusnya sosok ini sekarang dibandingkan setahun lalu. Astaga... Kenapa baru sekarang Alea tersadar bahwa Gina membutuhkannya? Kenapa baru saat ini?

Perlahan, mata kecil yang dihiasi dengan bulu lentik itu mengerjap beberapa kali. Ia memastikan bahwa ada orang yang sedang menantinya untuk benar-benar sadar. Setelah sadar sepenuhnya, mata Gina membelalak lebar melihat sosok yang kini sedang menangis deras.

"Kakak?"

Alea mengalihkan tatapannya sejenak ke arah lain sebelum mengangguk dan menjawab serak, "Ya, Sayang. Ini aku, Alea."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel