Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3. Pendekatan

“Aku lelah, Venny. Berkeliling hanya untuk mencari baju yang bahkan tidak kau tahu bagaimana modelnya,” sungut Alea sambil menarik lengan Venny untuk berhenti sejenak.

Venny menghela napas pelan sambil berkacak pinggang. “Bukan tidak tahu. Aku hanya bingung baju yang bagaimana yang sesuai dengan selera Willy.”

“Willy? Without Sir, heh?” tanya Alea sembari tersenyum miring. “Ternyata kau cepat juga, Darla.”

Godaan Alea ternyata mampu memancing rona merah di pipi Venny. Gadis itu lantas salah tingkah sambil mendelik tajam. “Kau—” Venny menghentikan ucapannya kala melihat sosok yang tidak asing sedang makan siang bersama seorang anak kecil. “Bukankah itu Willy?”

Mata Alea bergerak cepat menoleh ke arah yang Venny tunjuk. Ia mengangguk cepat, “Kau benar. Itu Pak Willy.”

“Ayo, kita kesana!” Venny segera menarik lengan Alea tanpa memperdulikan protes-annya.

“W-wait! Ven—”

Telat! Dosen menyebalkannya itu sudah lebih dulu sadar dan menoleh ke arah mereka. Dalam hati, Alea hanya mampu mengumpat kesal.

“Siang, Pak,” Venny menyapa halus sambil tersenyum manis. Dia merasa sedikit gugup sehingga lupa untuk memanggil Willy tanpa embel-embel ‘Pak’.

“Siang. Belanja?” tanyanya sambil melirik beberapa kantung belanjaan yang ada di tangan calon tunangannya tersebut.

Venny tersenyum manis sambil mengangguk tipis. Lalu, matanya melihat sosok anak kecil di sebelah dosennya. “Apakah ini Keylo?”

Merasa namanya dipanggil, Keylo yang sedang bermain dengan pesawat barunya langsung menoleh dan memperhatikan Venny lekat sebelum kembali pada mainannya. Ia bahkan tidak peduli sama sekali.

“Ya, dia anakku,” jawabnya pelan saat melihat puteranya sama sekali tak membalas pertanyaan Venny. “Maaf, dia sulit berdekatan dengan orang baru.” Willy tersenyum sebelum menyuruh keduanya untuk duduk bersama. “Duduklah. Saya akan mentraktir kalian makan.”

Alea yang sedari tadi diam langsung menarik lengan Venny yang hendak duduk. Ia mendelik sambil menggeleng seakan memberi kode untuk menolak penawaran dosen yang selalu dianggap sebagai musuhnya itu.

Melihat salah satu mahasiswa yang dikenalnya begitu enggan bergabung, Willy segera menyela. “Alea, kalau kau tidak ingin bergabung, aku akan menurunkan nilaimu.”

What the hell?!

Tentu saja Alea tidak tinggal diam. Dengan cepat ia memprotes, “Apa maksud anda? Saya bahkan tidak telat dan ini adalah hari libur yang mana saya tidak memiliki mata kuliah apapun! Jadi, kenapa Bapak menurunkan nilai saya?” tanyanya menggebu-gebu seolah pria dihadapannya ini adalah obat dari penyakit anemianya.

“Lea,” tegur Venny pelan merasa malu ketika para pengunjung mulai memperhatikan mereka.

Willy tersenyum miring, sikapnya terlalu tenang untuk menghadapi seorang gadis bar-bar seperti Alea walau sadar mereka berada di tempat umum. “Saya bisa melakukan apapun sesuka saya, Alea. Jadi, bergabung atau tidak pilihannya ada padamu.”

“What the—” Alea memejamkan matanya erat sambil berupaya menghembuskan napasnya untuk menetralkan emosinya yang siap meledak. Tanpa berpikir dua kali ia segera duduk di hadapan Keylo. Sedangkan, Venny duduk di hadapan Willy.

“Pesanlah makanan apapun. Saya akan membayarnya.” Sambil menahan tawa dengan memasang wajah datarnya, Willy menyodorkan buku menu ke depan mahasiswanya.

Sementara Alea berniat untuk memesan makanan yang paling mahal agar bisa membuat dosennya ini bangkrut, Venny justru mencuri kesempatan mendekati Keylo yang asik bermain. “Halo sayang, boleh kenalan?”

Keylo menatap bingung pada sosok Venny. Ia melirik ayahnya sekilas dan kembali menatap sosok Venny yang masih mempertahankan senyumnya. “Kakak siapa?”

“Venny, sayang. Nama kakak, Venny.” Ia mengulurkan tangannya agar dijabat oleh lelaki kecil tampan itu.

Willy yang menatap puteranya enggan berjabat segera bergumam, “Sayang, Daddy tidak pernah mengajarkan untuk bersikap sombong sama orang lain.”

Keylo merengut tidak suka. “Daddy bilang kita harus hati-hati dengan orang tidak dikenal,” gumamnya pelan.

“Kau benar, Son. Tapi, mereka mengenal Daddy jadi, tidak apa-apa jika kau berteman dengan Kakak Venny ataupun Kakak Alea.”

Keylo mengangguk lalu membalas uluran tangan Venny. “Keylo,” sahutnya singkat sebelum kembali pada mainannya.

Terlihat wajah Venny begitu kecewa saat ia mendapatkan sambutan dingin dari putera calon suaminya itu. Jika begini, apa mungkin Venny mampu mengambil hati Keylo dalam waktu tiga bulan?

“Aku sudah memutuskan!” sela Alea sambil meletakkan buku menu dengan sedikit membanting. Membuat perhatian ketiga orang itu teralihkan.

“Pesan apa?” tanya Willy sambil memperhatikan buku menu tersebut.

Pertanyaan ini takkan pernah Alea sia-siakan. Ia benar-benar akan membuat dosennya ini bangkrut! Kapan lagi ia bisa membalas dendam dengan mengenyangkan perut seperti ini coba? Nasibnya benar-benar beruntung hari ini.

“Saya pesan ini, ini, ini, ini, dan ini,” tunjuknya pada lima gambar di buku menu dengan harga yang tidak terjangkau.

Hahaha, rasakan itu, Pak!

“Woahh...,” gumaman yang berasal dari bibir kecil Keylo membuat Alea menoleh pada lelaki kecil itu. “Apa kau bisa menghabiskan semuanya?” tanyanya serius.

“Tentu saja! Jika tidak, hanya tinggal dibungkus dan akan kujadikan cemilan nanti di apartemen.” Alea mengendikkan bahunya tidak acuh. Sebelum tersenyum puas dan menatap dosennya itu dengan pandangan menantang. “Boleh ‘kan, Pak?”

Jelas Willy tahu bahwa Alea berniat untuk menghabiskan isi dompetnya. Tapi, hal ini bukanlah apa-apa baginya dan jika Alea meminta ingin membeli restauran pun Willy akan mengabulkannya untuk memuaskan hasrat dendam yang ada di hati gadis itu. Ia tahu seberapa besarnya keinginan Alea untuk membalasnya mengingat selama ini ia selalu memberi hukuman karena ketidakdisiplinan Alea dalam masuk kuliah pagi.

“Itu saja?” pertanyaan balik itu nyaris saja menjatuhkan rahang Alea. Ia tidak mengerti kenapa dosen satu ini selalu berhasil menjatuhkan moodnya. Niatnya ingin membalas dendam justru membuat semuanya menjadi tak berharga di mata seorang William.

Memangnya seberapa kaya lelaki ini? Tanya batin Alea dan menyerah. Ia tidak akan pernah melawan dosennya ini. “Tidak jadi. Saya hanya mau secangkir espresso saja, Pak.” Dan pada akhirnya, ia memilih minuman yang paling murah.

Venny nyaris saja menyemburkan tawanya jika tidak ada Willy. Ia hanya bisa menepuk pundak Alea pelan untuk menjaga sikap.

“Daddy,” seruan Keylo membuat Willy menoleh ke sampingnya.

“Ya, Son?”

Keylo tampak ragu. Menatap Alea dan Venny bergantian sebelum kembali melihat sang ayah. “Aku ingin berteman dengan Kakak itu. Apakah boleh?” Tangan kecilnya bergerak menunjuk Alea.

Baik Willy, Venny dan Alea yang mendengarnya mendadak bungkam. Tidak tahu harus merespon bagaimana karena tujuan mereka bergabung adalah ingin mendekatkan Venny dengan Keylo.

“Boleh, Son.”

Dan jawaban tak terduga Willy membuat mata kedua gadis itu langsung menatapnya bingung.

“Kau boleh berteman dengan siapapun yang Daddy kenal.”

Keylo berteriak senang. Ia merasa bahagia karena bisa memiliki kawan untuk bercakap-cakap mengingat selama ini ayahnya membatasi pergaulannya. Hanya saja, Keylo memilih Alea karena merasa akrab dengan sosoknya. Mungkin karena sifat mereka yang sama. Sama-sama pemilih dalam hal apapun dan juga memiliki tempramen yang berubah-ubah setiap saat.

Tiba-tiba saja, deringan ponsel berbunyi. Venny merogoh saku handbagnya. Menatap sang dialler sebelum permisi kepada Willy dan Alea untuk menjauh mengangkat telepon dari orang tuanya.

“Kak Lea,” tegur Keylo kembali agar memusatkan atensi padanya seorang sambil tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang tersusun rapi. “Would you like to be my mom? Jadilah pasangan Daddy. Mommy aku?”

Alea tersedak.

Willy dengan cepat bertindak. Ia membuka dan menyodorkan sebotol air mineral baru untuk mahasiswanya tersebut.

“Aku harus pul- Alea? Kau kenapa?” tanya Venny yang sudah kembali sambil menepuk pundak sahabatnya yang masih terbatuk-batuk.

Alea mengibaskan tangannya. Menandakan bahwa ia tidak apa-apa. Setelah tenggorokannya bisa diajak kerja sama barulah ia menoleh pada Venny dan bertanya, “Ada apa? Siapa yang menelepon?”

“Ah, ibuku. Aku harus pulang sekarang karena dia akan berkunjung ke apartemenku. Kau bisa pulang naik taksi, ‘kan?”

“Hm. Aku bisa pulang sendiri, Ven.”

Venny menatap Alea tidak enak karena keduanya berangkat menggunakan roda empat miliknya. Akhirnya, ia meminta maaf pada Alea sebelum meminta izin pada Willy untuk pamit lebih dulu.

“See ya at apart.” Venny melambaikan tangannya dan berjalan menjauh. Meninggalkan Alea yang kini merasa canggung ditinggal bersama dosen serta anaknya ini.

Alea hendak pamit pulang, namun ucapan Keylo lebih dulu terdengar yang justru mampu menohok hati dan perasaannya.

“Tidak boleh ya?” tanyanya sambil menunduk lemah. Wajahnya terlihat begitu sedih. Tatapannya kian nanar ketika melihat pesawat yang dibelikan oleh ayahnya tak lagi berharga. Ia kecewa karena tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaannya tadi. Ia kecewa karena merasa diabaikan. “Don’t be mad at me. I just want you to be my mom, that’s all,” sahutnya sedih diiringi dengan getaran pada bahu kecil tersebut.

Ya Tuhan...

Kenapa bisa serumit ini?

Dan seorang Keylo berhasil membuat Alea kembali mengeluarkan air matanya setelah sekian lama. Mengingatkannya pada seorang anak yang ia tinggalkan sendirian di rumah sakit selama setahun lamanya. Alea berdiri dan berjalan setengah memutar. Lalu, ia memilih berjongkok di hadapan lelaki itu. Tangannya bergerak mengusap air mata Keylo yang mengalir.

Ia jelas tahu seperti apa rasanya hidup tanpa seorang ibu. Ia jelas tahu bagaimana irinya ketika melihat teman-temannya mampu bermanja-manja dengan sosok ibu disaat ia telah ditinggalkan untuk selama-lamanya. Dan hal yang dialaminya ini terjadi pula pada anak kecil yang nyaris berumur enam tahun.

“Keylo,” panggil Alea selembut mungkin. Berusaha untuk tidak kembali menangis karena iba sekaligus prihatin. “Keylo ingin punya ibu?”

Perlahan, Keylo mengangguk. Alea tersenyum sambil menangkup wajah tampan itu.

“Keylo boleh panggil Kakak Mommy, tapi, yang akan menjadi Mommy Keylo itu bukan kakak.” Mata Alea bergerak melirik pria yang sedari tadi memperhatikan keduanya tanpa berniat untuk membantu menjelaskan.

“Tapi, siapa?” tanyanya dengan wajah murung.

Alea memejamkan matanya singkat saat tidak mendapatkan bantuan apapun dari kode mata yang digunakan untuk dosen tidak peka itu. “Kakak yang tadi, Venny. Dia akan menjadi Mommy yang baik buat Keylo. Dia akan—”

Dengan cepat Keylo menggeleng. “Keylo tidak mau! Keylo maunya Kak Alea!” Lelaki kecil itu melirik Daddynya seakan meminta persetujuan. “Daddy setuju ‘kan kalau Kak Alea jadi Mommy Keylo?”

Oh Tuhan... Alea rasanya ingin bunuh diri saat ini juga. Kenapa semuanya jadi begini? Belum lagi tatapan nanar Keylo yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Persis seperti anak kucing yang kelaparan meminta makan.

“Apapun yang membuatmu bahagia, Son,” jawabnya mantap sambil mengusap puncak kepala puteranya. Karena prioritas utamanya adalah membahagiakan sang anak.

“Pak—” Alea hendak melayangkan protes, namun entah mengapa tatapan tajam Willy justru membuatnya bungkam? Tidak biasanya ia merasa terintimidasi seperti ini.

“Jadi, sekarang Kak Alea menjadi Mommy Keylo? Keylo panggil Kak Alea Mommy? Iya ‘kan, Dad?” tanyanya beruntun sambil menatap Willy dan Alea bergantian.

Astaga... Bagaimana ini? Bagaimana dengan Venny? Apakah ia harus jujur kepada Venny atau justru menyimpannya sendiri? Lalu, bagaimana dengan perasaan Venny ketika ia jujur?

“Mommy,” dan panggilan itu membuat Alea menyerah. Tidak tahan melihat anak kecil seusia Keylo kembali bersedih karena hanya menolak dipanggil Mommy. Lagipula, ini hanya panggilan saja. Ya, ini hanya sebuah panggilan dan takkan ada yang berubah dari itu.

“Hm. Mommy, Sayang.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel