Bab 2. Pertemuan
Venny melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam restoran berbintang yang terkenal di kota Los Angeles. Ia benar-benar tampil cantik malam ini karena berharap bahwa ibu mertuanya itu membawa anaknya yang tampan. Matanya melirik sekitar sebelum seorang pelayan menegurnya ramah, “Selamat malam, dengan Nona Venny?”
Dahinya berkerut tak lama, lantas mengangguk. “Ya, saya sendiri.”
Pelayan laki-laki bername tag Zack tersenyum simpul. “Mari ikuti saya, Nona. Tuan Henderson sudah menunggu anda di dalam.”
“Tuan Henderson?” tanyanya refleks sebelum ponselnya bergetar menandakan pesan masuk dari orang yang sudah ia anggap sebagai ibu mertuanya.
Mom in Law
Sayang, Bibi tidak bisa hadir malam ini. Sebagai gantinya, Bibi meminta putera Bibi mewakili. Sekali lagi maaf, Sayang.
Benarkah?
Benarkah bahwa Bibi Eliza tidak memenuhi janjinya dan digantikan oleh puteranya? Matanya segera melirik ke arah pelayan laki-laki yang berjalan di depannya. Apakah ini yang dimaksud olehnya tentang Tuan Henderson?
Mata Venny langsung membelalak lebar menyadari bahwa apa yang dikatakannya kepada Alea siang tadi adalah sebuah kenyataan. Kenyataan bahwa sebentar lagi ia akan menjadi menantu keluarga Henderson.
Oh, God!
Keinginannya terpenuhi dengan begitu cepat. Dan Venny hanya bisa berharap bahwa ini bukanlah mimpi semata.
“Nona, Tuan Henderson ada di dalam. Silakan masuk,” tuturnya ramah sambil membuka pintu kaca itu dengan lebar. Membiarkan Venny masuk dengan sendirinya.
Langkah kecilnya menjadi tak terkendali saat ia menatap satu sosok yang duduk dengan santai sambil melirik jam tangannya beberapa kali. Jantungnya berdetak menjadi tak karuan ketika tanpa sadar ia nyaris sampai ke meja dan kursi yang sudah diatur sedemikian rupa.
Astaga... Dia benar-benar disini! batin Venny menjerit senang hingga tanpa sadar ia tersenyum dengan sendirinya sambil memegang dadanya yang seolah terdapat kembang api disana. Meletup-letup tanpa tahu bahwa ia sedang diamati.
“Kau sudah sampai? Duduklah.”
Dan Venny langsung memaki dirinya sendiri karena sudah bertindak konyol. “Ma-maaf, saya terlambat.”
“Tidak apa-apa. Saya juga baru sampai.” Tentu saja itu tidak benar mengingat bagaimana sang ibu terus mendesaknya agar lebih dulu sampai untuk berperilaku seperti seorang pria sejati. “Aku sudah memesankan makanan untukmu. Kuharap kau menyukainya.”
Apapun, Pak. Saya akan menyukainya asalkan Bapak yang pesan!
“Iya, Pak.”
Tidak sampai disitu saja, Willy juga sedang menilai gerak-gerik, tingkah laku, sikap, serta sifat dari seorang mahasiswa di fakultasnya itu. Ya, ia memang mengenal setiap mahasiswanya, namun tidak menyangka jika ibunya menjodohkan dengan perempuan muda seperti ini.
“Panggil saja saya Willy karena saat ini kita berada di luar jam pelajaran,” gumamnya sambil menyesap sedikit kopi hitam yang ia pesan sebelumnya. “Karena kita sudah bertemu, mari kita bahas yang harus di bahas.”
Venny mengerutkan dahinya tidak mengerti, “Apa maksud bap- mu?”
“Kau tentu tahu bahwa kita dipertemukan disini bukan tanpa alasan.” Ke terus terangan Willy yang seperti ini entah kenapa membuat detak jantungnya seakan melemah. Semangatnya yang membara hilang bersamaan perkataan bernada rasial Willy selanjutnya. “Ibuku meminta agar aku mendekatimu dan aku menyetujuinya,” jelasnya secara pelan. “Sebelum pembahasan ini lebih jauh, aku ingin menanyakan satu hal padamu, apa kau setuju dijodohkan denganku? Menjadi isteriku serta menjaga anakku?”
“Saya tidak mengerti, Pak,” gumamnya bernada kecewa yang entah untuk apa. Padahal, kebahagiaan itu sudah di depan mata. Tapi, rasanya ada yang aneh dengan ini semua.
“Okay, begini...” Willy tampaknya membutuhkan kata-kata yang lebih rasional kepada mahasiswanya ini. Dia sudah terlampau berterus terang sehingga tidak memperdulikan kebingungan wanita di depannya. “Aku akan menerima tawarannya untuk mendekatimu tapi bersyarat.”
“Syarat?”
Willy mengangguk tegas dengan tatapan mata yang menajam. “Jika kau berhasil mengambil hati puteraku maka aku akan menikahimu. Namun, jika tidak, aku minta maaf. Aku tidak bisa karena kau tidak hanya melayaniku, tapi juga menjaga dan mendidik puteraku!”
“I-ini tantangan?”
“Bisa dibilang seperti itu,” kedua jemari kokoh itu menyatu di atas meja makan sementara matanya lurus menatap Venny yang terlihat kebingungan. “Jika kau tidak suka, katakan sekarang dan aku bisa menjelaskan pada ibuku bahwa kita tidak coc—”
“Setuju!” sela Venny cepat. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Apapun tantangannya akan
Venny terima. Lagipula, hanya cukup mengambil hati anaknya, bukan? Itu adalah hal yang sangat mudah.
Willy menaikkan sebelah alisnya lalu tersenyum miring, “Well, aku belum selesai bicara, Nona.”
Lagi-lagi Venny merasa seperti dipermainkan oleh lelaki yang sialannya tampan ini. Tapi, apa boleh buat. Dia sudah masuk ke perangkap dan terjebak di dalamnya. Venny tidak akan keluar dengan tangan kosong, melainkan dengan sesuatu yang dapat dinikmati hasilnya nanti. “Jadi?”
“Kuberi waktu untukmu selama tiga bulan. Jika dalam tempo tiga bulan kau tidak bisa memiliki hatinya, maka aku terpaksa memutuskan hubungan kita.”
“Apa?”
Lelaki berjas biru gelap itu kembali menyesap kopi hitamnya. “Tiga bulan atau menyerah sekarang adalah pilihanmu, Nona. Karena aku hanya akan menikah dengan wanita yang mampu mengambil hati puteraku!”
“Aku tidak akan menyerah sekarang!” Entah itu obsesi entah itu cinta yang membuat tekadnya untuk memiliki Willy begitu besar sehingga Venny mengambil resiko tersebut. “Aku akan mencoba untuk mengambil hati anakmu.”
Willy tersenyum simpul melihat kegigihan yang Venny tampilkan. Ia suka dengan wanita percaya diri di hadapannya ini. “Baik, sudah diputuskan. Kau boleh menemui anakku kapanpun asal tidak di jam belajarnya.”
Dan yang bisa Venny lakukan hanya mengangguk lalu pasrah pada takdir yang akan membuatnya untuk terus bertahan atau justru menyerah pada nantinya.
“Let’s have a dinner and take your time, Miss.”
•••
“Fix, kau gila!”
Venny menatap Alea kesal. Tidak adakah kata-kata lain selain daripada itu? Disaat ia bercerita panjang lebar tentang pertemuannya semalam sambil mentraktir Alea makan siang, justru yang didapat hanyalah ungkapan pendek sialan itu. Sangat menyebalkan, bukan?
“Kenapa harus aku yang gila?”
“Kau memang sudah tidak waras, Venny.” Alea melahap burgernya dengan nikmat. Lagipula, makanan gratis mana yang tidak nikmat? “Kenapa kau bisa sebodoh itu? Hell, dia bukan mencari isteri, tapi hanya memanfaatkanmu untuk menjadi babysitter anaknya. Lelaki macam apa itu?!”
Venny akui bahwa Alea adalah satu-satunya perempuan yang tidak menggemari seorang dosen sekaligus dokter yang tampannya kelewatan. Apalagi selama ini Alea selalu diberi hukuman untuk membersihkan ruangannya mengingat keterlambatan Alea untuk masuk kuliah pagi ketika jam lelaki itu sudah tidak bisa ditolerir. Jelas saja, Alea semakin tidak suka. Dan hal tersebut membuat Venny iri.
“Alea...,” rengeknya diikuti dengan gerakan tangannya yang menggoyangkan lengan Alea beberapa kali. “Aku harus bagaimana?”
Alea menyeruput orange juicenya untuk menetralkan tenggorokannya yang kering karena belum tersentuh minuman apapun selain makanan. “Aku tidak tahu, Venny. Kau membuat perangkapmu sendiri jadi jangan membawaku untuk terperangkap bersama. Kau tahu sendiri, bahwa aku tidak ingin berurusan dengannya sama sekali, bukan?”
“But—”
Dengan cepat Alea menggeleng. Membuang kertas yang digunakan untuk melapisi burgernya tadi, “I can’t help you. Kau tahu sendiri hubunganku dengan dosen sombong itu selalu berakhir buruk. Tapi, jika kau memintaku untuk menaikkan tensi darahnya, aku akan berdiri paling depan!” ujarnya dengan semangat yang menggebu-gebu mengingat betapa dendamnya ia pada sosok William Henderson.
“Kalau begitu rugi aku mentraktirmu!” ketus Venny sembari meninggalkan Alea sendirian di kantin. Saat ini ia benar-benar kesal karena tidak seorangpun yang bisa membantunya.
Alea tidak sama sekali berniat untuk menyusul. Ia hanya menatap punggung Venny yang menjauh. Helaan napasnya terdengar begitu pelan. Bagaimana caranya agar ia membantu sahabatnya ini disaat hubungannya dengan dosen itu tidak pernah akur?
Matanya seketika melebar saat mengingat seseorang yang bekerja sebagai dokter kandungan di rumah sakit yang bernaung di bawah perusahaan Henderson.
David!
Ya, mungkin sepupunya itu bisa membantu sahabatnya ini.
•••
Alea memarkirkan mobilnya di basement gedung apartemen yang di huninya sejak kuliah. Ia tinggal sebatang kara. Ibunya lebih dulu menemui ajal, sedangkan ayahnya memilih untuk menikah lagi dengan mantan kekasihnya ketika kuliah dulu. Dan Alea tidak pernah menyukai ibu tirinya itu. Beda halnya dengan Venny yang masih memiliki orang tua lengkap namun memilih tinggal sendiri di apartemen.
Langkahnya terhenti saat tiba-tiba dua orang berbadan tinggi dan berjas hitam menghalangi jalannya.
“Minggir!” serunya datar masih tidak memakai emosi.
“Kami tidak akan pergi sebelum anda mengikuti kami, Nona”
Alea berdecak pelan. Ah sialan! Tampaknya ia harus berdrama kembali. Melirik sekitarnya cukup sepi, Alea kembali berjalan untuk mencari tempat ramai. Ia berpura-pura menjadi makhluk lemah tak berdaya. “Aku tidak mengenal kalian. Bagaimana mungkin aku mengikuti kalian?”
Kedua lelaki berkaca mata hitam itu hanya diam tak menjawab. Mengikuti langkah kaki Alea yang sangat kecil.
“Kenapa kalian tidak menjawabku?” tanyanya bingung dan memilih berhenti saat mereka berada di depan gedung apartemen. Alea mengangguk pelan saat menyadari bahwa ini sudah cukup ramai sehingga ia bisa kabur. Gadis itu berbalik sambil berkacak pinggang menatap dua manusia kaku di depannya. “Lupakan! Kalau begitu aku akan berteriak TOLONG!!! PENCULIK... TOLONG...”
Security yang berjaga segera berlari ke asal teriakan.
Alea langsung bersembunyi dibalik pilar besar. Ia tertawa terbahak-bahak melihat bagaimana dua manusia kaku itu terkejut saat orang-orang sudah mulai berkumpul mengerumuni mereka.
Kedua lelaki itu langsung berlari ke dalam mobil dan mengumpat pelan.
“Lagi-lagi kita dikerjai!”
Osvald tak menjawab apapun yang Philip katakan. Ia hanya menatap tajam gedung apartemen yang di huni oleh gadis kecil tadi sebelum menyuruh Philip mengendarainya cepat. “Masih ada waktu lain kali.”
“Bagaimana ini? Apa yang akan kita katakan pada Mr. McRich?”
“Itu akan menjadi urusanku.” Osvald menyahut yakin karena tahu bahwa ia bisa memberi alasan untuk bos mereka.