Bab 1. Perjodohan
Empat tahun kemudian…
Bayi mungil itu telah hidup selama empat tahun tanpa sosok ibu disampingnya. Wajahnya yang tampan merupakan turunan sang ayah, namun memiliki rambut pirang seperti ibunya. Ia berlari kesana kemari hanya untuk menerbangkan pesawat mainan miliknya walau tahu ada remot yang dapat menerbangkan pesawat itu, namun Keylo masih tetap ingin menerbangkan dengan kedua tangannya sendiri.
Bahkan, ketika Eliza bertanya pada cucunya itu tentang cita-cita, maka Keylo akan menyahut tegas, “Aku ingin menerbangkan pesawat, Grandma.”
Hingga saking sibuknya ia bermain, tanpa sadar Keylo tersandung oleh sebuah bola mainan yang di letaknya sembarangan. Dahinya langsung menyentuh ubin granit raksasa tersebut. Membuat memar dan benjolan tersendiri disana. Lelaki kecil itu menangis kuat hingga terdengar ke penjuru ruangan.
Eliza yang tengah membaca majalah di ruang tengah berlari tergopoh-gopoh menghampiri cucunya tersebut. Ia berdecak pelan sebelum menyuruh para pelayan mengambilkan obat. “Bukankah sudah Grandma bilang, tidak boleh lari-lari di dalam rumah?”
Keylo sesenggukan. Menatap Grandmanya sedih, sambil mengelus dahinya yang terdapat benjolan kecil. “I’m sorry, Grandma.”
Wanita tua itu mendesah pelan, menerima obat yang diulurkan oleh pelayan rumahnya. Lalu, mengolesinya pada dahi Keylo. “Sayang, Grandma tidak pernah melarangmu untuk bermain, tapi jangan berlari. Lihat ini akibatnya.”
Satu hal yang membuat Keylo sangat mirip dengan Keeyna adalah Keylo setia mendengarkan nasihat orang lain. Dia tidak membantah melainkan diam dan mencerna. Tapi, bagaimana lagi? Lari adalah hal yang disukainya. Ia tidak bisa jika tidak berlari barang sehari saja.
Tak lama, terdengar suara sepatu memasuki kediaman Henderson. Lelaki itu tampak sangat lelah. Matanya menghitam mengingat beberapa hari ini ia terus bergadang karena memiliki dua pekerjaan sekaligus. Dokter dan dosen.
“Daddy!” Keylo berseru senang. Dan satu lagi sifat Keylo yang sangat mirip dengan Keeyna adalah moodnya yang berubah dengan sangat cepat. “Daddy, where are you?” tanyanya sedikit cadel karena belum mampu melafalkan huruf R dengan baik.
Willy tersenyum dan membuka kedua tangannya lebar-lebar. Ia mengangkat puteranya lalu menggendongnya. Memperhatikan wajah Keylo yang tampak basah, “Kau menangis, Son?”
“Ya, dia berlari dan kembali terjatuh,” sahut Eliza disertai dengan senyuman kecilnya.
“Son,” tegur Willy tidak suka saat Keylo masih tidak mendengarkan untuk tidak berlari.
Lelaki kecil itu mencebikkan bibirnya, mengalungi leher Willy dengan kedu tangannya sambil berujar pelan, “I’m sorry, Daddy.”
Baik Willy maupun ibunya terdiam mendengar ucapan bernada sedih tersebut. Willy menghela napas pelan sambil menepuk punggung anaknya. “It’s okay, Son. Jangan pernah mengulanginya lagi, paham?!”
“Got it, Daddy.”
“Good!”
•••
“Sampai kapan kau akan seperti ini, Nak?” Eliza menatap puteranya sendu. Ia sama sekali tak bisa menebak apa yang ada di pikiran anaknya. Padahal, ini adalah masa-masanya Keylo membutuhkan kasih sayang dari seorang Ibu. Tapi, Willy justru menutup akses untuk wanita manapun yang mendekatinya. “Keylo membutuhkan seorang ibu, William.”
Willy meninggalkan kecupan di dahi anak tunggalnya yang sudah terlelap nyaman dalam tidurnya. Matanya melirik sang ibu dan menarik lembut lengan Eliza untuk berbicara di luar.
“William!”
“Mom, aku tidak bisa menikah dengan asal perempuan hanya untuk menjaga dan mendidik Keylo,” serunya frustasi karena tak hentinya Eliza mendesaknya untuk menikah lagi. “Apalagi setelah mereka tahu dengan gelar yang kupakai sekarang.”
“Ada apa dengan gelar dosen dan doktermu? Bukankah seharusnya mereka—”
“Gelar duda, Mommy,” selanya cepat membuat Eliza terkekeh kecil.
“Mommy yakin bahwa itu bukanlah salah satu yang menjadi penghalangmu untuk menikah, bukan?” tanyanya sambil menatap lekat wajah tampan puteranya. “Bagaimana jika Mommy yang mencarikan isteri untukmu dan Keylo?”
“Mom—”
“Mommy tidak ingin mendengar apapun, William. Kali ini kau harus menuruti Mommy.”
Willy mengusap wajahnya kasar. “Mom, mencari isteri itu tidak mudah! Jika Mommy mencari isteri hanya untuk menjaga dan mendidik Keylo, lalu bagaimana denganku, hm? Apa sudah tentu dia bisa melayaniku dengan baik seperti yang pernah dilakukan Keeyna dulu?”
Seakan tak kenal kata menyerah, Eliza justru tersenyum lebar. “Kau tenang saja, Son. Dia adalah gadis yang cantik, baik, dan tentu saja dia akan melayanimu dengan baik.”
Willy menyerah. Ia mengangkat kedua tangannya sambil membuka tiga kancing teratas kemejanya karena merasa sesak. “Terserah, Mommy. Aku hanya akan melihat dan menantikan wanita itu! Tapi, aku akan membuat persyaratan padanya. Dan jika dia tak mampu memenuhinya, maka aku akan mencari calon isteriku sendiri!” putusnya segera pergi dari hadapan sang ibu yang hanya bisa mendesah lega karena Willy mau menerima perjodohan yang ia rencanakan. Berharap bahwa gadis itu mampu memenuhi syarat yang Willy utarakan.
Seketika, jari-jarinya bergerak mengambil ponsel yang terletak di atas meja. Mencari kontak seseorang sebelum mendialnya dengan penuh semangat. Dan ketika teleponnya di angkat, Eliza segera mengutarakan maksudnya tanpa berbasa-basi.
•••
“Sifat biologi tumor itu ada tiga, yakni jinak, ganas, dan intermediate.” Alea menjelaskan kepada Venny mengenai komponen dasar tumor. “Jika jinak, perkembangannya akan lambat, berkapsul dan tidak infiltratif. Sebar negatif, kerusakan jaringan juga negatif. Umumnya masih dapat disembuhkan,” imbuhnya saat melihat temannya itu mencatat sungguh-sungguh apapun yang baru saja dijelaskan olehnya. “Jika ganas, perkembangannya cepat, infiltratif, anak sebar positif, kerusakan jaringan juga positif dan tentu saja sering menimbulkan kematian.”
“God!” pekik Alea kesal. “Ini adalah pelajaran dasar, Venny. Kenapa kau tak bisa menangkapnya sedikitpun?” Matanya menatap sang sahabat jengkel. “Apa yang kau lakukan ketika dosen menerangkan pelajaran, hm?”
Venny menempatkan ujung pulpen pada bibirnya sembari berpikir, “Hanya memikirkan Pak Willy,” sahutnya tanpa merasa bersalah sedikitpun sambil tersenyum kecil. “Kapan dia melamarku?”
Bolehkah jika Alea memukul kepala sahabatnya ini? “Kau terlalu banyak bermimpi. Sekarang interme—”
“Kau tahu, Alea. Aku mengenal ibu mertuaku itu. Ibu mertuaku berteman dengan ibuku. Jadi, mereka sering mengadakan jamuan bersama.” Ceritanya panjang lebar sambil mendesah, “Tapi sayang, Pak Willy tak pernah hadir setiap acara yang ada.”
Memutar bola matanya jengkel, Alea menepuk dahi temannya itu, membuat Venny mengeluh sakit. “Kau ingin curhat atau membahas materi ini kembali?”
Venny langsung tersenyum lebar. “Maafkan aku. Aku selalu bersemangat jika membahas tentang dosen satu itu. Baiklah, sekarang kita lanjut....” Dahi gadis berwajah asia itu sedikit berkerut. Ia benar-benar lupa sampai mana pembahasan mereka.
“Astaga, Venny!” decak Alea sebal. Mendengus kesal sebelum kembali bergumam, “Intermediate, remember?”
“Ah, ya... Intermediate. Jadi, bagaimana klasifikasinya?”
Alea kembali memfokuskan dirinya untuk menjelaskan hal-hal dasar parenkim dan stroma pada sahabatnya yang memiliki otak kosong. Tidak! Bukan otak kosong, namun otak yang hanya diisi oleh nama seorang lelaki, William Jordan Henderson.
“Untuk yang satu ini merupakan tumor yang agresif lokal atau tumor ganas berderajat rendah. Invasif lokal dan kemampuan mestasis kecil. Intermediate ini merupakan tumor jinak namun destruktif, ganas tapi mestastasenya lambat. Dan juga—”
Deringan ponsel memotong apapun yang hendak Alea katakan. Ia hanya menatap Venny datar sebelum membiarkan gadis itu mengangkat ponselnya. Sementara ia menyibukkan diri dengan modul kode etik kedokteran.
“Hallo, Bibi?” suara Venny terdengar sangat lembut dan riang. Namun, Alea sama sekali memilih untuk tidak peduli.
“Venny, apa kabar?”
Venny langsung tersenyum lebar. “Baik, Bibi. Bibi bagaimana? Sehat ‘kan? Lama tidak ke rumah.”
“Bibi baik, Sayang. Ah, Bibi ingin mengajakmu dinner nanti malam. Apa kau bisa?”
Tanpa sadar, Venny menendang kaki Alea yang di bawah meja, kemudian ia tersenyum lebar. “Tentu saja saya bisa, Bibi. Saya akan mengatakan ini kepada orang tua sa—”
“Tidak, Nak. Bibi hanya ingin makan malam bersamamu. Bibi akan mengirimkan alamat restaurannya nanti.”
“Baik, Bibi,” jawabnya yang terlampau cepat. Bahkan sangat cepat!
“Ya sudah, Bibi tutup ya, Sayang, see ya later.”
Saat panggilan terputus, Venny memekik girang hingga tanpa sadar ia memeluk Alea erat. “Aaaaaa... Mertuaku menelepon, Alea! She asked me for dinner tonight. God, I’m so nervous!” Ia menarik dan menghela napas berulang kali sebelum memekik girang sekali lagi.
“Sudah?” tanya Alea ketus. Menutup bukunya sedikit kasar membuat Venny tersentak kaget. “Kau tidak membutuhkanku lagi, ‘kan? Karena aku ingin pulang saat ini.”
“Kenapa kau jadi marah?” Tiba-tiba saja, ekspresi wajah Venny berubah menyebalkan. “Ah, apa kau cemburu, hm? Katakan saja kalau kau cemburu, ya ‘kan?”
“Hell, Venny! Aku cemburu?” tanyanya penuh dengan nada penghinaan yang jelas. “Kalau itu kau tanyakan pada teman-teman yang lain mungkin lebih masuk akal.” Alea berdiri sambil membereskan perlengkapannya, “Dan sadarlah Venny, kau hanya bertemu dengan ibunya bukan dengannya.”
“Kau selalu pintar menjatuhkan mood seseorang, Lea,” gerutunya sebal sambil turut mengikuti Alea membereskan buku-bukunya.
Alea tersenyum simpul. Menepuk bahu sahabatnya dengan pelan, “Sorry and good luck, Sis.”
“Thank you,” Venny memeluk Alea erat. “Jika saja kau seperti ini sedari tadi kan aku tidak perlu badmood.”
Alea mengendikkan bahunya tidak peduli. “Sekarang mari kita pulang. Aku akan mendandanimu secantik mungkin.”
“That’s my bestfriend.”