DN 2
Sepertinya kak Lisa merasakan ketika aku menggesekkan lenganku di dadanya.
Sampai - sampai dia melenguh, dan menutup matanya.
"Kak boleh pegang ini ngga ?" tanyaku.
Entah keberanian dari mana aku bisa meminta hal yang pastinya di tolak mentah - mentah olehnya. Tapi reaksinya membuatku tidak jadi dilema, dia mendorong tubuhku, lalu dengan santainya dia menarik tanganku sampai aku ikut denganya.
Setelah memasuki kamar kak Lisa, dia langsung menguncinya dari dalam.
"Dek, tadi kakak ngerasain punya kamu berdiri! "
Degg!
"Iya kak, tiba - tiba aja berdiri, tapi sekarang udah ngga kok !" jawabku.
Aku kemudian kepikiran dengan kelainan yang aku miliki, sepertinya kak Lisa bisa memberiku jawaban yang lebih tepat.
"Kak, aku mau nunjukin sesuatu tapi kakak jangan ngejekin Rizal yah ?" kataku dengan perasaan deg degan.
Dia kembali berpikir, namun dia segera menjawabnya dengan saling menyatukan jari kami, seolah setuju denganku.
Akupun langsung membuka lilitan sarungku, namun tidak aku tanggalkan, sementara itu kak Lisa mengintipnya dari atas.
Setelah memastikan dia sudah melihatnya aku kembali melilitkan sarungku di pinggang.
"Astaga dekk, itu kok, itu bahaya tuhh !" jawabnya, aku melihat ekspresi wajahnya seketika berubah bersemu merah, dan cara menjawabnya sedikit gelagapan.
Mendengar jawaban yang sama sekali tidak aku harapkan, aku langsung berlari ke kasur lalu menangis sejadi - jadinya.
"Hikssss, hikss, huaaaaaaa, kakak, gimana ini, apakah aku bukan laki - laki normal.?"
"Tunggu, sepertinya kakak belum memperhatikannya cukup jelas, apakah kakak boleh melihatnya lebih jelas, lebih lama, dan lebih dekat ?" tanya kakakku.
"Heeggg, heegg, boleh kak, tapi aku ngga mau dengar jawaban itu lagi, Rizal takutt, !" kataku.
Kak Lisa langsung menghampiriku, di peluknya diriku dari arah samping, lalu perlahan dia memberikan dorongan perlahan hingga tubuhku merapat dengan kasur.
Dia kemudian menyingkap sarungku, otomatis lututku tertekuk naik, hingga kini kepala kak Lisa ada di dalam sarungku.
"Aduhh, kakak kok enak ?" sahutku, rasanya geli, aneh dan nikmat.
Kak Lisa tidak menimpalinya, melainkan dia mulai meremas milikku.
Aku yang penasaran menyaksikan apa yang sebenarnya di lakukan kak Lisa , segera aku singkap naik sarungku.
Dia mengangkat wajahnya sejenak, sembari melempar senyuman.
"Dek, ini gawatt nihh!" sahutnya.
"Kak, bantu Rizal, apapun Rizal lakukan yang penting bisa sembuh !" kataku.
"Baik dek, kebetulan kakak sangat menyayangimu, jadi akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhanmu !" jawab kak Lisa.
"Hufft, makasih kak, nanti uang jajanku aku kasih ke kakak, yang penting aku bisa sembuh total, anggap saja itu sebagai iuaran pembayaranku!" kataku.
"Hahha, hahaha, !" dia tertawa sejenak.
"Ada yang lucu kak?"
"Punya kamu harus segera di kurangin isinya !"
"Maksudnya harus di lakukan operasi kak ?"
"Tenang kakak punya solusi tanpa operasi, tapi kamu harus janji jangan ngomong kepada siapapun, dan kakak harap hal ini menjadi rahasia kita berdua !"
"Pasti, kak, aku janji !" jawabku semangat.
Remasan kak Lisa berubah menjadi pegangan, tanganya yang lentik melingkar full di pertemuan jari jempol dan jari telunjuknya.
"Kak, !" hanya itu suara aku katakan.
Entah mengapa aku merasa senang ketika kak Lisa mulai mengocoknya pelan, ada rasa nikmat, dan geli.
Dan kocokan tangannya semakin membuat torpedoku membengkak, keras dan mengencang.
"Dek, apa yang kamu rasakan ?" tanyanya.
"Enak, kakkk!" jawabku tertahan.
"Oke, berarti uji coba pertama sukses, namun masih perlu melakukan uji coba sampai teruji klinis. " timpalnya.
"Terserah kakak, intinya Rizal ngikut apa kata kakak !" jawabku.
Kak Lisa meneruskan aksi tangannya untuk menaik turun di torpedoku, sampai aku mulai mendesah, melenguh dan mendesis.
"Aahhh, ssshhtt, aahhh kak, kok bisa enak gini rasanya !" ungkapku.
Mendengarku, kak Lisa semakin bersemangat.
Sluuuurrrppp, sluuuurrrppp, sluuuurrrppp!
Astaga, aku seolah tidak percaya apa yang di lakukan kak Lisa saat ini, dia tiba - tiba memasukkan kepala milikku ke mulutnya.
Aku yang merasakan semakin nikmat, tanpa terasa aku memegang sisi samping kepalanya, dan dengan spontan pinggulku malah naik turun.
Glock, glock, glock!
"Aaakkk, aakkk, aakkk!" suara pekikan tertahan dari kak Lisa.
Inilah rasa ternikmat yang pernah aku rasakan di umurku saat itu, anganku melayang ketika mulut kak Lisa, mengulum dan menjilati sisi torpedoku.
Tubuhku mengejang, aku tidak lagi memegang kepalanya, kedua tanganku berpindah mencengkram sprai kasur. Kak Lisa mencabut mulutnya dari torpedoku, lalu tersenyum sambil menengadah menatapku.
"Enakk ?" dia bertanya, dan aku hanya bisa menjawabnya dengan anggukan.
Dia kembali lanjut, menaik turunkan kepalanya, menarik keluarkan torpedoku, kali ini semakin cepat.
Tiba - tiba aku merasakan ada yang hendak keluar, dengan cepat memegang kepala kak Lisa, untuk menghentikan aksinya.
"Aaaccchh, aaakkk, kak awas, aku mau pip!!sss!" teriakku.
Bukannya berhenti kak Lisa semakin mempercepatnya, kepalanya semakin mangut - mangut dan akupun mendesis, tubuhku kelonjotan tak karuan.
"Kakkkk, cukup, aaahhh, aahh, taaillasssoo, enakkk sekali, aaaahhh!" ungkapku.
Saking kenikmatannya, mulutku spontan berkata kasar, dan biasanya aku mengungkapkan kata kasar itu jika emosiku meluap. Tapi kali ini beda, tiba - tiba aku merasa ada yang mau keluar mendesak dari dalam torpedoku.
"Aaahhh, oiihhh, aaahhh, ssshhhtt, uhhhh !" desahku tidak karuan, tubuhku menggeliat bagaikan cacing kepanasan.
Aku merasa mengeluarkan cairan putus - putus, setiap kali semburannya membuatku menghentak, namun aku bingung, kak Lisa seolah menanti cairan itu, dia lahap dan telan semua cairan yang memenuhi mulutnya.
Gleeekkk!
"Kak, maaf aku keluar di mulut kakak. Aku ngga bisa nahan soalnya, lagi pula tadi aku udah tahan kakak, tapi malah semakin mempercepatnya !" ujarku.
Kak Lisa dengan pelan - pelan melepas torpedoku, dia kembali menatapku sambil membersihkan sisa cairan yang meluber keluar dari bibirnya.
Aku sempat melihat cairan yang baru saja di lahapnya. Warnanya hampir sama dengan air keruh, namun teksturnya kental.
Setelah menelannya, kak Lisa kemudian rebahan di sampingku.
"Dek, sepertinya penyakit kamu agak parah, jadi mungkin kita harus melakukannya secara rutin dan teratur!" kata kakakku.
"Hehe, ngga papa deh, kalau rasanya seperti tadi, aku ngga bakalan keberatan kok. Tapi kenapa kakak menelan airnya ?"
"Dek, itu namanya cairan benih, satu pesan kakak, jangan pernah kamu mengeluarkan cairan itu di dalam kepemilikan teman perempuanmu. Mungkin itu akan menjawab pertanyaan kamu sebelum kita masuk kamar!" jelasnya.
"Wihh, kakak hebat, kakak kok bisa tau itu, sedangkan aku belum ?"
"Kamu akan mengerti, dan mengetahui itu semua seiring bertambahnya umurmu, dek !" jawabnya.
Entah mengapa aku merasa lemas seketika, tubuhku perlahan terasa letih, dan perlahan mataku begitu layu, sayup.
"Kak, aku mau tidur duluan !" kataku.
"Dek, masa kamu ngga mau lanjutin niat kamu, memangnya kamu ngga penasaran liat tubuh, kakak ?" katanya, aku menoleh sejenak, dan dia memainkan alisnya.
"Memangnya boleh, kak ?" tanyaku untuk memastikannya.