Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. AYAH TIRI MULAI NAKAL

Amira benar-benar dibuat kaget dengan penjelasan ayah tirinya yang mengaku bahwa uang itu digunakan untuk biaya pemakaman istrinya, yang tidak lain ibu kandung Amira sendiri.

"Bapak ini punya hutang sama orang itu sepuluh juta! Dan dia minta minggu depan harus lunas semuanya. Jika tidak, bapak dan bahkan kamu sama adik kmu juga akan mendapat hukuman!"

Degup jantung Amira sudah tidak karuan lagi ketika ayah tirinya berkata seperti itu.

"Tapi, Pak. Gaji aku kerja itu cuma 1,5 juta. Bagaimana mungkin bisa buat melunasi hutang sebanyak itu? Terus juga bagaimana dengan kebutuhan kita sehari-hari, Pak?" Amira terlihat berkaca-kaca.

"Sudah lah kamu jangan banyak omong! Intinya besok kamu harus kasih semua gaji kamu sama bapak, urusan itu biar nanti bapak yang bilang sama orangnya! Apa kamu mau orang itu datang terus, dan bahkan sampai melakukan tindakan kasar? Jadi turuti sja apa yang bapak katakan tadi!" Pak Wanto dengan tegas menekankan.

Amira hanya bisa diam, dia sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Amira yang berniat ingin keluar dari rumah itu malah harus mendapat cobaan lagi. Tapi Amira berusaha untuk tetap nekad dengan apa yang sudah direncanakannya. Dia mencari waktu yang pas untuk bisa keluar dari ruang itu. Karena Amira yakin, hutang ayah tirinya itu bukan untuk biaya pemakaman ibunya, melainkan habis buat mabuk dan berjudi. Karena Amira paham betul ayah tirinya tidak pernah bekerja, tapi dia selalu membeli minum minuman keras dan berjudi. Sehingga hal itu lah yang Amira pastikan ayahnya dengan meminjam uang untuk kesenangannya sendiri tanpa memikirkan Amira dan adiknya.

"Ya sudah, Pak. Besok yah," ucap Amira mencoba meyakinkan ayah tirinya itu.

"Iya, ingat semuanya harus bapak yang pegang!" Pak Wanto kembali mengancam. Tatapan matanya sangat tajam menatap anak tirinya itu.

Yang akhirnya Amira beranjak dari kursi itu untuk segera masuk kedalam kamar. Amira tidak bisa istirahat dengan tenang, dia menunggu situasi yang pas agar bisa kabur dari rumah itu. Tapi posisinya sulit, ayah tirinya selalu ada di ruang tamu. Amira menunggu kesempatan ayah tirinya tidur, biar dia bisa leluasa membawa adiknya pulang ke kampung halaman.

Keadaan keluarganya semakin kacau, Amira merasa sangat keberatan dengan apa yang dikatakan oleh ayah tirinya itu, dia tidak mau mengurusi hutang sebanyak itu yang tidak jelas tadinya. Karena sepengetahuan Amira, biaya pemakaman ibunya itu dari keluarganya juga, sehingga menurut Amira semua itu hanyalah kelakukan ayah tirinya saja yang memang selalu ingin mabuk dan berjudi.

Amira hanya membaringkan tubuhnya di sebelah adiknya, dia menunggu ayah tirinya tertidur pulas agar bisa membawa adiknya keluar dari rumah itu. Akan tetapi, disatu sisi Amira sangat takut jika sampai diketahui, yang pastinya ayah tirinya akan lebih marah dan menghukumnya.

Setelah cukup lama dan malam pun semakin larut, Amira masih mendengar suara ayah tirinya yang masih nyanyi-nyanyi sendiri. Sementara aroma alkohol tercium sampai kedalam kamar.

"Ya tuhan ... Aku ingin keluar dari sini, aku sudah tidak kuat lagi hidup dengan ayah tiriku. Dia sudah berubah, dia tidak menyayangi aku dan adikku." Amira hanya bisa berkata dalam hati.

Tapi Amira mencoba tetap tenang, dia mencari waktu lengah. Amira sangat berharap ayah tirinya itu cepat teler biar dia bisa secepatnya keluar dari rumah dan terbebas dari penderitaan. Namun tidak lama kemudian hujan turun dengan sangat lebat, di saat itu Amira hanya bisa menghela nafas dalam-dalam.

Dia merasa kasihan juga terhadap adiknya yang sudah tertidur pulas, namun jika diam dan tinggal di rumah itu terus, justru akan semakin parah, meski Amira masih berumur cukup muda, tapi pemikirannya sudah cukup dewasa, dia sangat sayang terhadap adiknya, dan dia tidak mau terus-terusan hidup dalam tekanan ayah tirinya yang sudah berubah.

"Aku enggak boleh tidur. Mudah-mudahan aja ayah tiriku itu cepat pulas, aku tidak perduli dengan pakaianku di sini, yang penting aku sama adikku bisa keluar dari rumah ini, aku ingin pulang ke Surabaya," ucapnya pelan.

Pada saat Amira tengah terdiam, tiba-tiba saja dia mendengar suara ayah tirinya yang memanggil.

"Amira ... Amira!"

Suara itu terdengar keras, sontak Amira membuka matanya lebar-lebar. Dia heran dengan ayah tirinya itu yang tidak juga tidur, padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Lagi-lagi ayah tirinya memanggil, yang akhirnya Amira segera menghampirinya meskipun sebenarnya malas.

"Eh, ke sini cepat," ucap pak Wanto dengan mata melotot.

Amira terlihat gugup, dia juga tidak kuat dengan aroma alkohol yang begitu menyengat. Namun Amira terpaksa harus menuruti perkataan ayah tirinya.

"Ada apa sih, Pak? Ini udah malam," ucap Amira pelan.

"Pijitin bapak," perintah pak Wanto dengan nada keras.

Tanpa bicara lagi, Amira hanya menuruti permintaan ayah tirinya itu. Amira merasa benar-benar capek, dia bekerja di luar, ketika pulang ke rumah malah disuruh ini dan itu. Amira merasa tidak apa-apa jika ayah tirinya itu berprilaku baik, dia juga pasti akan nurut. Satu hal yang Amira tidak suka, ayah tirinya itu selalu mabuk tiap hari.

"Ambil minyak urut sana, bapak pegel-pegel, cepat!" bentaknya.

Sontak Amira kaget. Yang akhirnya Amira langsung bergegas mengambilkan minyak urut.

Tanpa bicara lagi pak Wanto langsung merebahkan tubuhnya di lantai ruangan itu dan meminta anak tirinya itu untuk mengurut tubuhnya yang terasa pegal-pegal.

"Cepat kamu urut bapak," pinta pak Wanto.

"Tapi, Pak. Aku enggak bisa ngurut," ucap Amira.

"Sudah lah, tinggal ngolesin minyak terus pijat aja!" bentaknya lagi.

Yang akhirnya Amira yang memang tidak bisa mengurut, dia hanya mengoleskan minyak itu sembari memijat-mijat. Terlihat pak Wanto menikmati pijatan anak tirinya. Posisi pak Wanto saat itu terlentang dengan tubuh yang hanya mengenakan celana kolor pendek.

"Di sini, di bagian paha. Ini paha bapak pegel," pinta pak Wanto.

Amira hanya mengangguk, dia tidak banyak bicara. Tanganya yang kecil itu mengusap-usap lembut paha ayah tirinya. Dan pada saat itu pak Wanto sepertinya mengalami ereksi. Terlihat dari celananya yang mulai menyembul. Matanya menatap penuh wajah anak tirinya itu yang terlihat cantik.

"Kamu sambil duduk di sini," pinta pak Wanto.

Amira nampak kaget karena ayah tirinya memintanya untuk duduk di atasnya sambil mengurut.

"Sini." Kedua tangan pak Wanto menarik tubuh Amira kemudian menyuruh anak tirinya untuk menduduki batang kejantanannya yang sudah mengeras.

Hal itu membuat Amira merasa risih dan takut, karena ketika dia duduk, Amira merasakan di bagian belahan bokongnya itu ada benda yang mengganjal. Dan saat itu kedua tangan pak Wanto juga memegangi terus pantatnya. Amira merasakan jika ayah tirinya sengaja menggesekkan batang kejantanan.

"Arhh...." Pak Wanto tiba-tiba aja bangkit dan langsung memeluk tubuh anak tirinya itu.

Sontak hal itu membuat Amira kaget dan ketakutan.

"Kamu harus melayani bapak, bapak sudah lama tidak melakukannya," ucap pak Wanto dengan nafas yang memburu.

Amira benar-benar terlihat ketakutan melihat ayah tirinya yang bertindak kurang ajar. Namun Amira juga tidak bisa berbuat banyak, karena memang tubuh ayah tirinya itu sangat lah besar, sedangkan Amira sendiri bertubuh kecil dan masih berumur 17 tahun, tentunya sangat sulit untuk bisa melepaskan pelukan ayah tirinya yang penuh nafsu.

"Pak jangan, Pak sadar...." Amira sangat ketakutan.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel