3. DITAGIH HUTANG
"Besok, Pak. Kata si bosnya, ini aku cuma dikasih ini aja," ucap Amira yang terpaksa berbohong.
"Besok-besok terus! Niat gaji kamu tidak sih itu orang! Apa bapak yang ke sana aja samperin buat minta gaji kamu!"
"Aduh jangan, Pak. Besok kok, pasti aku gajian," cegah Amira.
"Udah bapak sekarang makan aja dulu yah, besok janji kalo udah gajian nanti aku kasih," sambungnya mencoba menenangkan ayah tirinya yang mulai marah-marah.
Untungnya saat itu ayahnya tidak sedang mabuk, jadi pak Wanto bisa dengan cepat ditenangkan oleh Amira. Yang kemudian Amira meletakan makanan itu di atas meja, dia juga mengajak adiknya untuk segera makan bareng. Walaupun kedua anak tirinya ikut makan di situ, tapi pak Wanto sepertinya tidak begitu perduli dengan mereka berdua, dia tidak pernah menasihati apa-apa, bahkan terhadap Yeni yang masih kecil dan butuh perhatiannya.
Tapi disitu Amira lah yang bersikap dewasa, dia yang selalu menemani adiknya dan menemaninya belajar. Amira menyadari sikap ayah tirinya yang berubah drastis, dia tidak mau jika sampai ayah tirinya itu berani memukul adiknya. Tekadnya sudah bulat untuk kabur dari rumah itu, dia juga sudah menyimpan uang hasil kerjanya dan juga dikasih pinjaman dari temanya. Namun Amira masih merasa ketakutan. Dia takut jika sampai Aya tirinya menggeledah tas yang dibawanya. Karena sedari tadi ayah tirinya itu selalu melirik ke arah tas yang dibawa Amira.
Sehingga Amira berusaha mengalihkan pandangan ayah tirinya, dia berpura-pura ke ruangan belakang untuk mengambilkan air minum.
"Seret yah, Dek. Sebentar yah, Kaka ambilkan minum dulu."
Dengan alasan seperti itu, Amira lalu segera menuju dapur, tapi dia tida langsung mengambil air minum, melainkan dia buru-buru masuk kedalam kamar dan menyembunyikan tasnya itu di sela-sela lipatan baju yang ada di lemarinya, dengan cepat Amira segera ke dapur lalu bergegas menghampiri adik dan Ayah tirinya yang ada di ruang depan.
Sesampainya di sana Amira berusaha terlihat biasa saja karena takut dicurigai oleh ayah tirinya. Dia kemudian melanjutkan makan sebelum akhirnya dia membereskan semuanya. Saat itu Amira ditemani adiknya di dapur. Sedangkan pak Wanto duduk santai saja di ruangan depan.
Satu hal yang Amira takutkan, jika sampai ayah tirinya masuk ke dalam kamarnya dan mengambil uang simpanannya. Sehingga meski sedang berada di dapur, tengah beres-beres, mata Amira sesekali melihat ke arah ruangan tengah untuk mengawasi ayah tirinya.
Pada saat seperti itu tiba-tiba saja Amira mendengar suara orang lain yang mengucapkan salam. Lantas Amira langsung melihat ke ruang depan, dan ternyata ada seseorang lelaki, Amira menganggap mungkin itu teman ayah tirinya. Tapi setelah mendengarkan obrolannya, terdengar kalau orang yang baru saja datang itu menagih hutang kepada ayah tirinya. Sontak Amira kaget, dia membuka matanya lebar-lebar.
Bagaimana tidak, yang Amira dengar, orang itu menagih hutang ayah tirinya dengan jumlah yang cukup besar, berkisar di angka sepuluh juta. Sedangkan Amira tidak tahu kenapa dan bekas apa ayah tirinya itu meminjam uang sebanyak itu. Amira hanya diam, dia mencoba mendengarkan baik-baik apa yang diobrolkan ayah tirinya dan orang itu.
[Pokonya saya tidak mau tahu, Pak. Minggu depan bapak harus melunasi semua hutangnya. Jika tidak, saya yang akan menjebloskan pak Wanto ke penjara]
Perkataan itu yang terdengar oleh Amira. Kata-kata yang berupa ancaman. Amira hanya bisa diam tertegun dengan degup jantung yang berdetak kencang. Amira tidak mendengar adanya yang keras kepala itu melawan, mungkin dia takut juga berurusan dengan polisi.
Tapi Amira tidak mau tahu dengan situasi yang menimpa ayahnya, karena Amira merasa dia tidak pernah diberi uang buat belanja sehari-hari dan bahkan untuk urusan yang lain. Amira meyakini jika ayah tirinya itu meminjam uang untuk berjudi.
"Aku enggak mau mengurusi urusan itu. Lagipula itu kesalahan ayah tiriku, dan aku sama adik ku juga tidak pernah di kasih uang. Jadi ini saatnya aku harus pergi sama adik ku ini, aku hari pulang. Aku tidak mau menjadi anak dari orang yang enggak bener."
Amira terus bergumam dalam hati. Tekadnya saat itu hanya ingin pulang biar bisa bebas dari penderitaan. Yang akhirnya setelah beres-beres Amira langsung mengajak adiknya segera masuk ke dalam kamar. Sedangkan di ruang tamu, masih saja terdengar ancaman-ancaman orang itu kepada ayah tirinya.
Di kamar itu Amira berusaha menidurkan adiknya, sementara telinganya terus saja mendengarkan obrolan orang itu dan ayah tirinya. Amira juga mencari-cari cara supaya bisa keluar dari rumah itu tanpa diketahui oleh ayahnya. Amira merasa tidak mau jika uang hasil kerjanya yang tidak seberapa harus digunakan untuk membayar hutang ayah tirinya yang entah habis buat apa.
Apalagi Amira tidak merasakan kebahagiaan hidup di rumah itu dengan sikap ayah tirinya yang galak dan berlaku kasar. Tidak lama kemudian Amira tidak lagi mendengar obrolan ayah tirinya. Tapi di situ Amira diam saja, dia pura-pura tidur berbaring di sebelah adiknya. Dia takut dan merasa malas jika harus mengobrol dengan ayah tirinya.
Sedangkan Yeni, adiknya yang masih kecil itu sudah pulas. Di situ Amira mencoba memejamkan matanya, dia berpura-pura tidur. Degup jantungnya berdetak kencang ketika mendengar suara langkah kaki yang memasuki kamarnya. Amira meyakini jika itu pasti ayah tirinya. Karena Amira sudah paham jika Ayah tirinya itu sedang ada masalah, maka dia akan memarahinya dan bahkan suka melakukan kekerasan.
Yang akhirnya, Amira memilih untuk berpura-pura tidur. Di satu sisi Amira juga takut jika sampai ayah tirinya menggeledah lemarinya karena di sana ada uang yang sengaja disiapkannya untuk pulang ke Surabaya. Perasaan Amira sudah tidak karuan lagi ketika mendengar langkah kaki itu semakin dekat, Amira sangat ketakutan jika sampai lemarinya di buka.
"Amira!"
Suara itu seketika mengagetkan. Amira mendengar jelas ayah tirinya memanggil, namun ia berputar tidur dan menutup matanya rapat-rapat. Tapi ternyata ayah tirinya itu malah menepuk-nepuk kakinya dengan keras.
"Heh! Bangun kamu!"
Suaranya terdengar kasar. Meski merasa ketakutan, namun akhirnya Amira membuka matanya karena takut jika ayahnya semakin berlaku kasar.
"Ada apa, Pak?" tanya Amira gugup.
"Bangun, ke sini kamu," jawab pak Wanto yang langsung berjalan keluar kamar.
Amira sangat ketakutan karena melihat ayah tirinya yang sudah terlihat marah. Dengan langkah yang pelan Amira mengikuti ayah tirinya itu yang akhirnya duduk di kursi ruang tamu.
"Duduk sini," perintah pak Wanto.
"Kenapa sih, Pak? Ada apa?" Amira mencoba bertanya baik-baik.
"Bapak minta besok semua gaji kamu kasih ke bapak!"
Sontak Amira kaget mendengar ucapan ayah tirinya itu.
"Pak. Buat apa? Terus kalo di kasih semua sama bapak, nanti kita makan gimana, Pak?"
"Suda lah kamu jangan ngurusin itu! Pokonya besok bapak enggak mau tahu, kamu harus kasih semua uang kamu sama bapak!" Pak Wanto makin ngotot sehingga membuat Amira gemetaran.
"Tapi buat apa, Pak?"
"Eh, apa kamu enggak mendengar tadi? Bapak ini punya hutang sama orang itu. Dulu waktu urus-urus pemakan ibu kamu, bapak pinjam uang sama orang itu. Dan sekarang dia datang buat nagih! Jadi kamu juga sebagai anaknya harus ikut mengurusi uang itu, paham?!" bentaknya lagi
*****