Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 3

Sebagian warga masih berdiri di luar pagar rumah Gading dan Ratih. Mereka merasa iba dengan nasib Humaira. Belum genap setahun dia tinggal di sana, tetapi harus pergi dalam keadaan terhina. Tidak semuanya percaya dengan apa yang dikatakan oleh Reza yang terkenal sangat arogan di kampungnya.

"Humaira!" panggil seorang wanita paruh baya, tetangga samping rumah Humaira yang sering mengobrol dengannya. Humaira menghentikan langkahnya. Saat ini dia adalah tanggung jawab Farid sehingga dia tidak bisa seenaknya. Tanpa seijinnya, dia tidak berani mendekati tetangganya itu.

Farid mengangguk sebagai isyarat jika dia mengijinkannya untuk pergi menemui tetangganya dan ibu-ibu yang berdiri menunggunya. Tangis mereka pecah ketika Humaira sampai di hadapan mereka dan memeluk mereka satu persatu secara bergantian. Mereka tidak sanggup berkata-kata karena tertahan oleh kesedihannya.

"Jaga dirimu baik-baik, Nak. Kamu boleh main ke rumah ibu kalau ada waktu." Wanita itu tidak ingin menahan Humaira lebih lama lagi. Malam sudah larut dan semakin gelap karena mendung yang hampir turun hujan.

"Terima kasih, Bu. Kami mohon pamit!" Humaira dan Farid mencium punggung tangan ibu-ibu itu satu persatu. Mereka berpesan pada Farid agar menjaga Humaira dengan baik dan tidak menyakitinya. Meskipun berat melepaskan gadis yatim piatu itu, tetapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Meskipun baru menikah secara agama, Farid lebih berhak dari siapapun atas diri Humaira.

Farid membukakan pintu mobil untuk Humaira. Mereka tidak bisa lagi berlama-lama di sana karena gerimis mulai turun. Setelah berada di dalam mobil, keduanya terdiam untuk beberapa saat. Farid fokus melihat jalanan sambil mengemudi sedangkan Humaira melihat ke luar jendela sambil bergumam. Dia berdzikir di tengah hatinya yang dilanda kegelisahan.

'Apa yang akan dipikirkan oleh Ayya tentang diriku? Aku tiba-tiba pulang ke rumahnya dan menjadi ibu tirinya. Pasti dia akan sangat marah dan kecewa padaku. Selama ini dia selalu menolak keinginan ayahnya untuk menikahi Bu Anyelir, bawahan ayahnya di kantornya.' Humaira meremas-remas ujung jilbabnya.

Deru mesin mobil dan gemericik hujan di luar menambah suasana hati yang muram. Farid mengamati apa yang dilakukan oleh Humaira. Meskipun hatinya sedang kalut, dia sudah dewasa dan bisa berdamai dengan kenyataan. Dalam hal ini dia harus bersikap layaknya seorang ayah, bukan sebagai suami.

Farid Abdullah adalah seorang duda berusia tiga puluh delapan tahun. Istrinya meninggal ketika melahirkan Ayya. Dia telah menduda selama delapan belas tahun dan membesarkan Ayya seorang diri.

Kedua orang tuanya telah membantunya merawat Ayya sewaktu bayi, tetapi mereka juga dipanggil Sang Khaliq beberapa tahun kemudian. Ayahnya meninggal ketika Ayya masih berusia tujuh tahun dan tiga tahun kemudian ibunya menyusul. Untuk kebutuhan keluarganya, Farid mengelola perusahaan peninggalan ayahnya yang bergerak di bidang properti.

Menikah muda adalah pilihannya, tetapi siapa sangka dia hanya menikmati pernikahan itu selama dua tahun saja. Farid dan Lintang menikah setelah tamat SMA dan berkuliah di universitas yang sama. Setelah menikah Farid membuka sebuah kafe di depan universitas mereka. Dari pendapatannya dia bisa menghidupi istrinya dan membiayai kuliah mereka berdua.

"Humaira!" panggil Farid lembut. Humaira menoleh pada pria yang beberapa menit yang lalu bersaksi kepada Tuhan untuk mengambil tanggung jawab atasnya.

"Iya, Om. Eee ... maaf aku tidak tahu harus memanggil Anda siapa." Humaira terlihat canggung dan salah tingkah.

"Panggil saja seperti biasanya. Aku memang lebih pantas untuk menjadi paman atau ayahmu," ucap Farid dengan ekspresi yang datar.

"Bub-bu-bukan begitu maksudku, Om. Eh, Mas." Humaira meralat ucapannya lalu menutup mulutnya sambil melirik malu ke arah Farid. Bola matanya terlihat begitu indah dengan wajah cantik yang terlihat natural.

"Jangan menjadikan beban hanya untuk sebuah panggilan. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan padamu secara pribadi." Farid membelokkan mobilnya untuk menepi lalu menghentikannya di sebuah tempat yang sepi. Siluet pepohonan terlihat samar di bawah hujan yang semakin deras.

Jantung Humaira berdetak sangat kencang setelah mendengar ucapan Farid. Mobil itu berhenti di sebuah tempat yang gelap. Udara di dalam mobil terasa berat dan dingin. Berbagai pikiran negatif berseliweran di kepalanya, meskipun mereka telah sah sebagai suami istri tidak seharusnya Farid membawanya ke tempat seperti ini.

Farid mengerti ketakutan di wajah Humaira. Gadis lugu sepertinya pasti tidak berpengalaman dalam urusan percintaan.

"Kamu jangan merasa salah paham, Humaira. Aku tidak akan mengambil hakku sebagai seorang suami. Hubungan kita tidak berlandaskan cinta dan rasa saling memiliki. Setelah ini, kamu bisa memilih pria yang kamu sukai. Aku tidak bermaksud untuk mempermainkan sebuah pernikahan. Aku hanya tidak ingin membuat masa depanmu hancur karena keegoisanku." Farid menjelaskan apa yang ada di dalam pikirannya.

Humaira menarik napas lalu menghembuskannya secara perlahan. Sebagai seorang yang mengerti agama, dia tidak lantas senang dengan ucapan Farid. Meskipun belum ada perasaan di hatinya, tetapi dia tidak ingin mempermainkan sebuah pernikahan. Bisa saja apa yang terjadi malam ini memang sudah tertulis di dalam buku takdirnya.

"Apakah, Om, em, Mas akan menceraikan aku malam ini juga? Atau ada seseorang yang sedang menunggu Anda untuk dinikahi?" tanya Humaira setelah hatinya merasa sedikit tenang. Suara gemerisik hujan di luar mobil terdengar menenangkan, tetapi juga menambah kegundahan di hatinya.

Farid menatap Humaira untuk beberapa saat lalu segera menggeleng.

"Aku tidak ada niat untuk mempermainkan sebuah pernikahan, tetapi aku akan melepaskanmu jika kamu menginginkannya. Kamu masih muda, cantik, kamu bisa mendapatkan pria sesuai kriteriamu, Humaira. Sungguh aku tidak bermaksud tidak baik padamu."

Farid tidak ingin Humaira salah paham dengan ucapannya. Dia sendiri merasa bingung dengan kejadian yang mendadak ini.

"Aku tidak memiliki kriteria khusus, Om. Mungkin saat ini aku belum bisa menerima status baruku, tetapi aku tidak berniat untuk melawan takdir yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Bukan hal yang tabu bagi seorang pria dewasa menikahi seorang gadis belia karena dalam Islam itu tidak dilarang. Yang aku pikirkan adalah Ayya dan penilaian orang lain tentang hubungan ini." Humaira menunduk.

Hati Farid menghangat. Rasa hangat itu terus menjalar hingga ke seluruh nadinya. Gadis kecil di hadapannya itu memiliki kedewasaan yang melampaui usianya.

"Kita akan membicarakan ini dengan Ayya setelah tiba di rumah. Mengenai orang lain, sebaiknya kita merahasiakan pernikahan ini sampai kamu lulus. Sebentar lagi kamu akan ujian, lebih baik kamu memikirkan itu dulu dan mengabaikan masalah kita." Farid mencoba mencari jalan tengah untuk permasalahan mereka.

"Terima kasih, Om. Semoga Ayya tidak salah paham dan menyalahkan kita. Jika dia keberatan aku tinggal bersama kalian, aku akan pergi mencari kontrakan saja." Humaira mengatakan apa yang mengganjal di hatinya. Selama ini Ayya memang bersikap baik padanya, bisa dibilang mereka berteman dekat. Namun, dia tidak tahu apakah Ayya masih menganggapnya teman setelah dia menikah dengan ayahnya.

"Ayya anak yang baik. Aku yakin dia akan mengerti." Farid berusaha menenangkan Humaira meskipun dirinya sendiri merasa gamang.

Farid kembali menjalankan mobilnya menuju ke kediamannya yang tidak jauh lagi dari sana. Hanya butuh sekitar lima menit saja untuk sampai.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel