Chapter 4
Ini bukan pertama kalinya bagi Humaira menginjakkan kaki di rumah Farid sebagai sahabat dari Ayya. Namun, ini kali pertama dia datang sebagai nyonya rumah di sana.
Saat mobil mereka berhenti di depan pintu gerbang rumahnya, dia merasa gugup.
Humaira terlihat semakin gugup saat melihat Ayya duduk di teras rumahnya bersama Bu Sita, seorang ART, ketika mereka datang.
Bu Sita sudah bekerja sejak Ayya masih bayi sehingga sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh Farid.
Usianya yang tidak lagi muda membuatnya merasa iba dan memintanya untuk melakukan pekerjaan yang ringan-ringan saja. Ada Fitri dan Lia yang juga bekerja di rumah itu untuk membantunya.
"Bik Sita!" panggil Farid setelah dia turun dari mobilnya.
Farid berjalan memutar ke pintu samping lalu membukakannya untuk Humaira.
Ayya yang semula duduk bangkit secara perlahan, wajahnya terlihat bengong seperti orang yang terhipnotis. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia masih terbengong saat keduanya telah berdiri di hadapannya.
"Ayah, ini ... ini Humaira, kan?" tanya Ayya terbata-bata sambil menunjuk ke arah Humaira.
Farid mengangguk lalu berkata, "Mari kita bicara di dalam."
Wajah Humaira tampak pucat karena merasa tegang, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Ayya segera menghampirinya dan menuntunnya masuk ke dalam rumah. Dia tidak banyak bertanya meskipun merasa aneh dengan kedatangan sahabatnya yang membawa banyak barang itu.
Mereka bertiga berjalan menuju ke ruang keluarga dan duduk di sana. Sesaat suasana menjadi hening hingga Farid memulai percakapan.
"Sayang, ayah membawa berita yang mengejutkan untukmu. Kuharap kamu tidak berpikir macam-macam tentang ayah. Semua ini terjadi begitu mendadak. Ayah sendiri juga tidak menyangka jika ini akan terjadi." Farid berbicara lembut pada Ayya yang sedang duduk dan memeluk bahu Humaira.
"Maksud, Ayah?" Ayya menatap Farid dengan tatapan tak mengerti.
Farid pun menceritakan semua yang terjadi mulai dari awal pertemuannya dengan Humaira sore tadi hingga keduanya sampai di rumah ini. Semua dia ceritakan tanpa ada yang terlewat.
Ayya terdiam. Semua yang terjadi begitu mengejutkan baginya. Keadaan yang membuatnya sulit untuk percaya, tetapi ini sebuah kenyataan yang harus dia hadapi.
Dalam situasi ini Humaira tidak berani mengangkat wajahnya. Air matanya terus mengalir tanpa henti. Dia takut jika Ayya tidak bisa menerima semua ini dan menyalahkannya.
Setelah bisa menguasai hatinya, Ayya meraih bahu Humaira dan memeluknya. Perlakuan tak terduga ini membuat tangis Humaira semakin menjadi. Dia meluapkan seluruh kesedihannya dalam tangisnya.
Air mata Ayya pun jatuh tak tertahankan. Kedua sahabat itu menangis bersama beberapa waktu hingga keduanya sama-sama tenang.
Di sudut lain, Farid juga turut merasakan keharuan. Entah bagaimana ke depannya, yang terpenting saat ini Ayya telah menerima kenyataan ini.
Setelah merasa lebih baik, Ayya merenggangkan pelukannya dan menatap Humaira begitu dalam. Tangannya memegang pipi sahabatnya yang beruraian air mata.
"Humaira, aku tahu ini berat bagimu. Aku sendiri mungkin tidak akan sanggup menghadapi hal pahit seperti yang kamu alami, tapi percayalah, ayahku orang yang baik, dia tidak akan menyakitimu." Ayya mencoba menenangkan sahabatnya itu.
Isak Humaira semakin dalam. Tidak pernah terbesit dalam pikirannya jika dia akan menjadi ibu tiri bagi sahabatnya sendiri. Semula dia berpikir Ayya akan marah dan memaki-makinya atas keadaan ini.
Dia tidak menyangka jika tanggapan sahabatnya itu tidak seperti yang ada di pikirannya. Ayya terlihat ikhlas menerima pernikahannya dengan ayahnya.
"Kami terlibat pernikahan tanpa cinta, Ayya. Aku jauh dari kriteria seorang ibu idaman. Aku tidak menyesali pernikahan ini tetapi aku juga siap menerima hal terburuk yang akan terjadi ke depannya." Humaira berbicara dengan suara yang parau.
Ucapan Humaira membuat Ayya terlihat kecewa. Keinginannya yang besar untuk melihat sahabatnya itu bahagia membuatnya harus bertindak.
"Jangan mempermainkan sebuah pernikahan, Humaira. Apakah kamu bisa merubah takdir yang sudah ditetapkan oleh Tuhan? Aku menerimamu sebagai ibu sambungku. Tidak masalah meskipun kita seumuran." Setelah mengatakan itu Ayya berpaling kepada ayahnya. "Aku harap ayah mau bersabar. Aku yakin kalian berdua bisa saling menerima suatu saat nanti."
Farid mengangguk. Semua yang dikatakan oleh Ayya memang benar. Jujur dia tidak tertarik untuk menikahi wanita di bawah umur, tetapi dia tidak bisa mempermainkan sebuah pernikahan meskipun dia tidak menginginkannya.
Setelah semuanya tenang, mereka bertiga pergi ke meja makan. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Mereka tidak akan tidur dengan nyenyak sebelum mengisi perutnya dengan makanan walaupun sedikit.
Humaira dan Ayya memanaskan beberapa makanan. Mereka tidak ingin mengganggu pembantu mereka yang telah beristirahat. Malam sudah larut, mereka harus bangun pagi untuk melakukan pekerjaannya besok.
Malam ini, Humaira tidur bersama Ayya. Sebenarnya sudah ada kamar tamu dan beberapa kamar kosong, tetapi Ayya tidak tega melihat Humaira yang sedang dirundung kesedihan.
Pukul tiga pagi Humaira terbangun untuk melakukan sholat malam. Kebiasaan yang tidak pernah dia tinggalkan. Suara gemericik air itupun terdengar oleh Ayya dan membuatnya terbangun. Dia lupa jika ada Humaira di sana.
"Apakah sudah subuh, Ra? Maksudku Mama." Ayya meralat ucapannya. Dia akan berusaha membiasakan panggilan itu untuk menghormatinya.
"Belum. Tidurlah! Aku sedang menjalankan sholat malam," jawab Humaira sambil mengenakan mukena.
Ayya mengangguk lalu kembali masuk ke dalam selimutnya. Dia masih mengantuk, malam ini mereka tidur terlalu larut.
Pagi hari,
Farid telah siap dengan baju kantornya. Dia sedang membaca koran di ruang makan ketika Ayya dan Humaira datang.
Ayya berjalan cepat menghampiri ayahnya sementara Humaira masih terpaku di belakangnya. Mereka terbiasa untuk sarapan bersama sebelum melakukan aktivitas masing-masing.
Humaira tertegun menatap Farid. Meskipun usianya terbilang dewasa, dia masih terlihat sangat tampan. Dia terlihat jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya, mungkin karena pembawaannya yang santai sehingga membuatnya menjadi awet muda.
"Aku tahu ayahku tampan. Tapi kamu tidak akan kenyang hanya dengan memandanginya saja. Duduklah!" goda Ayya sambil menarik kursi di sampingnya untuk Humaira.
Humaira tersipu malu mendengar candaan Ayya. Dia tidak menjawabnya dan segera duduk di kursi yang diperuntukkan baginya.
"Kamu jangan seperti itu, Ayya." Farid menggeleng sambil menatap lembut putrinya.
"Aku hanya ingin meluapkan kebahagiaanku saja, Ayah. Ayahku sangat tampan dan mamaku sangat cantik, aku merasa menjadi anak yang sangat beruntung di dunia ini." Ayya tersenyum lalu kembali menikmati makanannya.
"Mama?" Farid mengernyitkan keningnya.
"Iya, mama Humaira. Panggilan ibu hanya untuk ibuku yang telah tiada, jadi dia adalah mamaku. Aku tetap akan menghormatinya seperti ibu kandungku meskipun kami seumuran." Ayya terlihat sangat senang.
Humaira masih terlihat canggung. Dia tidak banyak bicara seperti sebelumnya. Meskipun Ayya bisa menerimanya dengan baik, tetapi dia masih belum terbiasa dengan status barunya.
Bu Sita datang menghampiri mereka dan mengatakan jika kamar untuk Humaira telah siap. Sebelumnya Farid memintanya untuk memindahkan barang-barang milik Humaira ke kamar itu.
"Tunggu!" seru Ayya.
Bu Sita pun menghentikan langkahnya dan berputar menghadap mereka lagi.
"Ada apa, Non Ayya?" tanyanya kemudian.
"Bawa barang-barang Mama Humaira ke kamar ayah," ucapnya.
Humaira dan Farid menatap Ayya tak percaya. Mereka tidak menyangka jika Ayya akan mengatakan hal itu.
***