Bab 7 Istri Menangis, Tidak Bisa Dibiarkan
Keluarga...
Jantung Anggun tiba-tiba bergetar, tatapan matanya rumit. Dia bahkan membeku untuk beberapa saat setelah mendengar kata itu.
"Ayo pulang."
Devan menarik Anggun dan berbalik untuk pergi, berjalan ke pintu lobi dan mengatakan sesuatu tanpa melihat ke belakang, "Siapa pun yang menolak untuk menerima, maka hadapi aku. Berani menyentuh istri dan anakku, maka dia akan mati!"
Suaranya seperti lonceng, memekakkan telinga setiap orang yang mendengarnya!
Suasana di lobi hotel sangat mencekam. Devan membuat keributan, perjamuan hari ini benar-benar hancur. Para tamu yang melihat situasinya berkembang ke arah yang tidak baik memutuskan untuk pergi satu demi satu.
Mereka membubarkan diri dengan cepat.
Di lobi hotel yang besar, hanya Yulius, Robi, Darwin dan Excel saja yang tersisa.
"Ayah, ini..."
Wajah Robi terlihat sangat tidak mengenakan.
"Tidak berguna!"
Yulius mengangkat kruk kepala naga di tangannya dan memukulkannya ke tubuh Robi beberapa kali. Dia memukul sambil mengetuk, "Ini semua karenamu! Ini orang yang kamu pekerjakan? Huh, kamu membawa serigala ke dalam ruangan dan mencari masalah!"
Yulius biasanya paling mempedulikan harga dirinya. Namun sekarang yang disebut harga diri itu sudah menghilang entah kemana.
"Ayah, jangan khawatir."
Robi buru-buru berkata, "Anak itu memang urakan dan liar, sama seperti apa yang sudah aku selidiki. Hanya saja tidak disangka jika sikap liarnya itu sangat tidak terkendali sampai seperti ini. Dia seperti anjing, menggigit siapa pun yang dilihatnya."
"Anggun membawanya pulang maka sama saja dengan bom waktu. Begitu meledak, Anggun dan Bianca akan meledak dan hancur tidak tersisa..."
Ini juga hasil yang paling ingin dilihat Robi.
"Dia jelas-jelas melindungi Anggun barusan, apa kamu tidak bisa melihat itu dengan jelas?" Yulius berkata dengan marah.
"Itu semua palsu."
Robi berkata dengan percaya diri, "Seorang pria menjadi bersikap sok hebat di depan seorang wanita tidak lebih hanya karena ingin tidur dengan seorang wanita. Ayah, jangan lupa, dia adalah pemerkosa yang baru saja keluar dari penjara. Jika Anggun tidak patuh, bagaimana mungkin dia akan diam tanpa melakukan apa pun?"
"Ini..."
Yulius berpikir sejenak, lalu mengatakan, "Di pihak perusahaan, proyek yang sedang ditangani Anggun sangat penting. Cepat dan hubungi mereka sesegera mungkin untuk menandatangani kontrak."
"Ya!"
Robi sangat senang.
Meskipun Yulius tidak mengatakannya dengan jelas, orang bodoh bahkan bisa mengetahuinya. Memintanya menghubungi pihak yang bekerja sama dengan Anggun, maka sama saja dengan membuat Anggun kehilangan pekerjaan dan mengusirnya dari Priyanto Grup. Mengeluarkannya dari Keluarga Priyatno bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan.
Tampaknya lelucon hari ini telah memperdalam rasa jijik Yulius terhadap Anggun dan juga membuatnya memutuskan untuk mengusir Anggun dari perusahaan!
Setelah Yulius pergi.
Darwin berkata dengan dingin, "Beruntung sekali orang yang bernama Devan itu! Dengan kecantikan Anggun, dia bahkan berada di deretan atas orang cantik di Kota Q! Jika dia bukan sepupuku, pasti aku sudah menidurinya."
"Aku juga."
Dengan air mata di matanya, Excel berkata dengan galak, "Saat aku dewasa, aku akan meniduri anak haram yang bernama Bianca itu!"
"Diam!"
Robi memarahinya, "Kakekmu itu masih belum mati. Dia sangat memperdulikan harga dirinya daripada hidupnya! Bahkan jika kamu memiliki keinginan itu, tahan saja!"
Intinya adalah... apakah jika orang tua itu sudah meninggal, dia bisa melakukan apa pun yang dia inginkan?
Darwin senang dan tidak sabar untuk mengatakan, "Aku sudah menyiapkan informasi kontak dari klien-klien besar itu. Masih belum terlambat. Aku akan menelepon mereka sekarang untuk membahas penandatanganan kontrak dengan mereka, bukan Anggun."
"Kamu memang pintar."
Robi mengangguk lega...
...
Sedangkan kali ini.
Devan sudah pulang bersama Anggun.
Perumahan Bahagia.
Rumah berusia dua puluh lima tahun itu masih menjadi rumah pernikahan tempat yang Farhan dan Marsela tinggali setelah menikah. Sekarang terlihat sedikit kumuh jika dibandingkan dengan perumahan kelas atas yang baru dibangun di dekatnya.
Rumah dengan dua kamar tidur dan satu ruang tamu ini hanya berukuran delapan puluh meter persegi.
"Paman, ini rumahku."
Begitu dia memasuki pintu, Bianca membawa Devan berkeliling dan memperkenalkan rumahnya kepada Devan, "Ini dapur, ini toilet, ini kamar nenek dan kakek, sedangkan ini... ini kamar ibuku dan aku. Itu semua adalah mainan yang ibu belikan untukku..."
Gadis kecil itu tampak bersemangat saat memperkenalkan semua ini.
Anggun memandangnya dengan perasaan campur aduk di hatinya.
Devan membelanya dan tidak segan-segan menyinggung Keluarga Priyatno, yang membuatnya sangat tersentuh. Namun, tersentuh bukanlah perasaan. Apa dia benar-benar menerima nasibnya, berkompromi dan menjadi istri Devan?
Sejujurnya, dia tidak bisa menerima semua ini.
Kenapa memangnya jika tidak bisa menerima semua ini? Memaksa Devan untuk pergi saat ini pasti akan memancing balas dendam dari Keluarga Priyatno. Bagaimana Devan yang sendirian bisa menahan amarah Keluarga Priyatno!
Anggun tidak bisa membiarkan ini.
Tepat ketika Anggun dalam dilema, suara Bianca terdengar datang dari kamar tidur, "Paman, kamu benar-benar tidak akan menindas ibuku dan bersikeras untuk menjadi ayahku, bukan?"
"Tidak." Devan tertawa.
"Kalau begitu... bisakah kamu tidur di lantai saja ketika malam? Nenek pernah mengatakan jika selain aku, hanya ayahku yang bisa tidur dengan ibuku."
"Ya."
"Kalau begitu paman harus berjanji!"
Bianca berkata dengan gembira, "Berjanji dan jangan pernah mengingkarinya."
Suara itu sangat kecil dan hampir tidak terdengar. Namun ketika melintas di telinga Anggun, itu seperti tangan kecil lembut yang berhasil memetik senar paling sensitif di hatinya. Sebelum dia menyadarinya, air mata sudah jatuh dari kedua matanya.
"Anggun, kenapa kamu menangis?"
Marsela mendorong Farhan masuk dan kebetulan melihat Anggun menangis. Ekspresi di wajahnya tiba-tiba berubah, berkata dengan kaget, "Apa orang gila kejam itu menindasmu dan Caca?"
Memikirkan catatan kriminal Devan membuat hati Marsela merinding.
"Tidak."
Anggun mengulurkan tangannya untuk menyeka air matanya dan memaksakan senyum mengembang di wajahnya, "Dia sangat akrab dengan Caca. Caca sepertinya tidak membencinya."
"Itu juga tidak bisa dibiarkan!"
Marsela khawatir, "Pokoknya dia..."
Dia bahkan tidak berani mengatakan kata pemerkosa yang sangat ingin dia katakan.
Di tengah perjalanan Marsela selalu merasa khawatir. Sekarang setelah Devan dan Anggun bertunangan, mereka tinggal di atap yang sama. Bagaimana jika Devan menggunakan kekerasan saat menghadapi Anggun?
"Bu, dia suamiku sekarang, selama dia tulus dan baik pada Caca, aku ... tidak apa-apa." Anggun menahan air mata dan menggertakan giginya ketika mengatakan itu, seolah-olah dia telah mengambil keputusan dalam benaknya.
"Hanya saja..."
"Aku akan memasak."
Anggun berbalik untuk pergi, tetapi ponsel miliknya tiba-tiba berdering.
"Kamu sudah sampai di rumah, kan?"
Panggilan itu dari Darwin. Perkataannya sangat tidak enak di dengar, "Laki-laki dan perempuan yang sama-sama kesepian. Kalian baru saja menikah dan iparku itu memiliki tubuh yang sangat kuat. Kalian sedang tidak terburu-buru untuk melakukan sesuatu, bukan?"
Suaranya penuh dengan nada sinis!