Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Lela Mata Mata Belanda

'Jij Lela, waar denk je dat deze oorlog in moet eindigen?'

"U, meneer, moet een dialoog met Diponegoro hebben, hij zal het tenslotte moeilijk vinden zich over te geven tenzij u een dialoog voert"

"Oké, ik zal de oorlog stoppen en ik zal je sturen om vrede met Diponegoro te bespreken"

"Tenslotte zal oorlog het probleem niet oplossen, ben je er trots op veel mensen te hebben gedood."

("Kamu Lela, kira kira apa menurut kamu peperangan ini harus diselesaikan secara apa?"

"Kamu Tuan harus berdialog dengan Diponegoro, bagaimanapun dia akan sulit menyerahkan diri kecuali kamu berdialog"

"Baiklah aku akan menghentikan peperangan dan kamu aku kirimkan untuk membicarakan perdamaian dengan Diponegoro"

"Bagaimanapun peperangan tidak akan menyelesaikan masalah, apakah kamu bangga sudah membunuh banyak orang"

Perang Diponegoro meletus pada 20 Juli 1825, ketika pasukan Belanda datang ke Tegalrejo untuk menangkap Pangeran Diponegoro.

Meski sempat mendapatkan perlawanan dari pendukung Pangeran Diponegoro, Belanda berhasil membumihanguskan Tegalrejo.

Sementara itu, Pangeran Diponegoro berhasil menyingkir ke Desa Selarong, di mana ia menyusun strategi perang.

Lalu dikirim Lela lagi oleh Hendrik Merkus de Kock agar Lela mencari tahu strategi apa yang dilakukan Diponegoro dan kawan kawannya.

Setelah Lela dikirimkan, akhirnya Lela kembali memberitahukan segala apa yang dilakukan Diponegoro dan kawanannya tapi dengan syarat tertentu.

"Lela wat weet je van Diponegoro"

"Ik weet veel over Diponegoro, maar op één nieuwe voorwaarde zal ik zeggen"

"Ok, wat zijn de voorwaarden?"

'Ik zal uitleggen wat Diponegoro heeft gedaan en voorbereid, maar u mag Diponegoro niet doden, meneer.'

"Huh, waarom kun je hem niet doden?"

"Nee, ik heb ook Javaanse afkomst. Diponegoro mag je dus niet doden"

"Ok, ik zal Diponegoro niet doden"

"Ik geloof u op uw woord meneer, als u het ontkent, bedenk dan dat ik 10 Nederlandse soldaten heb gedood en dat ik u had kunnen doden"

"Je bent inderdaad een buitengewone vrouw, daar hou ik van. Ik beloof Diponegoro niet te vermoorden"

("Lela apa yang kamu ketahui dari Diponegoro"

"Saya tahu banyak tentang Diponegoro tapi dengan satu syarat baru saya akan bilang"

"Baik apa syaratnya?"

"Saya akan menjelaskan apa apa yang dilakukan dan dipersiapkan oleh Diponegoro tapi anda tuan tidak boleh membunuh Diponegoro"

"Hah mengapa tidak boleh membunuhnya?"

"Tidak, saya juga ada keturunan jawa. Jadi anda tidak boleh membunuh Diponegoro"

"Baiklah saya tidak akan membunuh Diponegoro"

"Saya pegang kata kata anda Tuan, kalau anda mengingkarinya, ingat saya sudah membunuh 10 serdadu belanda, dan saya bisa saja membunuh anda"

"Kamu memang wanita luar biasa, saya suka itu. Saya berjanji tidak akan membunuh Diponegoro")

"Hier zijn enkele Diponegoro-oorlogsstrategieën. Een aanval plannen op het Yogyakarta-paleis door Nederlandse troepen te isoleren en de toegang van hulp van buitenaf te voorkomen Gezanten naar de regenten en geleerden sturen om zich voor te bereiden op de strijd tegen de Nederlanders Sorteren van aristocraten beoordeeld als vijanden en kameraden Verdeel de oorlogs- en verdedigingsgebieden"

"Goed goed, je hebt me belangrijke dingen verteld, ik beloof Dipomegoro niet te doden, maar ik zal hem naar Makassar gooien"

"Waarom moet je het weggooien?"

"Want als hij hier was, zouden er meer slachtoffers vallen. En het Javaanse volk zou tevergeefs sterven omdat onze uitrusting compleet is"

("Berikut ini beberapa strategi Perang Diponegoro.

Merencanakan serangan ke keraton Yogyakarta dengan mengisolasi pasukan Belanda dan mencegah masuknya bantuan dari luar

Mengirim utusan kepada para bupati dan ulama agar bersiap melawan Belanda

Memilah bangsawan yang dinilai sebagai lawan dan kawan

Membagi wilayah perang dan pertahanan"

"Bagus bagus, kamu sudah memberitahukan hal hal penting, saya berjanji untuk tidak membunuh Diponegoro, tapi saya akan membuangnya ke Makassar"

"Mengapa anda harus membuangnya?"

"Karena kalau dia ada disini maka akan timbul korban jiwa lebih banyak lagi. Dan orang orang jawa akan mati sia sia karena peralatan kami lengkap"

Perang Diponegoro dipimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro, yang didampingi pamannya, Pangeran Mangkubumi, Ali Basyah Sentot Prawirodirjo sebagai panglima muda, dan Kiai Mojo bersama murid-muridnya.

Perluasan Perang di berbagai daerah

Tiga minggu setelah penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro menyerang dan keraton Yogyakarta dan berhasil mendudukinya.

Keberhasilan ini kemudian disusul dengan kemenangan di beberapa daerah pada tahun-tahun awal berkobarnya Perang Diponegoro.

Pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro pun meluas ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang, dan Rembang.

Kemudian ke arah timur mencapai Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitarnya, hingga disebut mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa.

Selain itu, semua kekuatan dari rakyat, bangsawan, dan ulama bersatu untuk melawan kekejaman Belanda.

Selama perang, Pangeran Diponegoro menerapkan strategi perang gerilya dan perang atrisi (penjemuan).

Strategi Benteng Stelsel Belanda

Menghadapi perlawanan Diponegoro yang terus meluas, Jenderal de Kock sebagai pemimpin perang Belanda memutuskan untuk mengubah strategi, yaitu dengan sistem Benteng Stelsel.

Dengan strategi ini, perlawanan Diponegoro di berbagai tempat berhasil dilumpuhkan Belanda hingga ruang geraknya menjadi semakin sempit.

Selain itu, para pemimpin yang membantu Pangeran Diponegoro banyak yang tertangkap.

Kendati demikian, belum ada tanda-tanda bahwa perlawanan Diponegoro akan berakhir

Akhir dan hasil Perang Diponegoro

Pertempuran sengit antara Belanda dan Pangeran Diponegoro baru berakhir pada 28 Maret 1830.

Kala itu, pasukan Pangeran Diponegoro dijepit di Magelang oleh Jenderal de Kock.

"Jij Diponegoro geeft het op, waarom doe je het steeds weer. Later zullen er meer slachtoffers vallen. Je houdt niet van het Javaanse volk. Je komt alleen in opstand en veroorzaakt oorlog, je zult niet tegen mij winnen. Er zijn er maar een paar resterende troepen, als je van je troepen houdt. Je kunt jezelf maar beter aangeven.'

("Kamu Diponegoro menyerahlah, buat apa kamu melakukannya lagi dan lagi. Nanti akan timbul korban jiwa lagi. Kamu tidak sayang rakyat jawa. Kamu hanya memberontak dan menimbulkan peperangan, kamu tidak akan menang melawan saya. Sisa pasukanmu tinggal sedikit, kalau kamu mencintai pasukan kamu. Lebih baik kamu menyerahkan diri")

Demi membebaskan sisa pasukannya, Pangeran Diponegoro rela menyerahkan diri.

Pangeran Diponegoro kemudian ditangkap dan diasingkan ke Makassar hingga akhir hidupnya.

Perang Diponegoro terjadi selama lima tahun dan menimbulkan dampak yang sangat besar

Berikut ini beberapa dampak Perang Diponegoro bagi Indonesia.

Menelan korban tewas sebanyak 200.00 jiwa penduduk Jawa

Kekalahan Pangeran Diponegoro menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa

Raja dan bupati Jawa tunduk kepada Belanda

Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatra Barat. Penyebab Perang Paderi adalah perselisihan antara Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Adat (orang adat) yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk- mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi yang belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: babak I antara 1821-1825, dan babak II.

Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatra Barat untuk menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari Sumatra Barat dialihkan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir (1830), kertas perjanjian gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri babak kedua. Pada tahun 1837 pemimpin Perang Paderi, Tuanku Imam Bonjol akhirnya ditangkap. Berakhirlah Perang Padri.

Setelah perang Diponegoro, pada tahun 1832 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang seluruh kantor belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di jawa tengah seperti Wonogori, karanganyar yang banyak di huni oleh Warok.

Dalam catatan Belanda, para Warok yang memiliki skill berperang sangat tangguh bagi pasukan Belanda. Maka dari itu untuk menghindari yang merugikan pihak Belanda, terjadi sebuah kesepakatan untuk di buatkanlah kantor Bupati di pusat Kota Ponorogo, serta fasilatas penunjang seperti jalan beraspal, rel kereta api, kendaran langsung dari Eropa seperti Mobil, motor hingga sepeda angin berbagai merek, maka tidak heran hingga saat ini kota dengan jumlah sepeda tua terbanyak berada di ponorogo yang kala itu di gunakan oleh para Warok juga.

Sinofobia

Masyarakat Tionghoa yang dipandang sebagai sekutu oleh Raden Ronggo dalam pemberontakannya berubah menjadi musuh dalam peperangan Diponegoro. Hal tersebut disebabkan mencuatnya sikap anti-tionghoa oleh masyarakat Jawa yang disebabkan oleh beberapa hal berikut:

Kebijakan ekonomi yang memberatkan rakyat oleh Keraton Yogyakarta akibat intervensi pemerintah Belanda dijalankan melalui perantaraan etnis Tionghoa

Monopoli perdagangan kayu jati yang dipaksakan oleh Daendels (1809) menyebabkan bupati-bupati lokal kehilangan pemasukannya yang jatuh ke tangan pengusaha-pengusaha Tionghoa.

Bantuan yang diberikan Kapitan Tionghoa di Yogyakarta, Tan Jin Sing, saat penyerbuan tentara Inggris, sepoy, dan pasukan Notokusumo ke Keraton Yogyakarta (Juni 1812).

Kebijakan pajak Raffles (1812-1813) agar petani membayar pajak tanah dalam bentuk uang tunai dan menghilangkan kerja rodi tidak tepat sasaran karena para petani Jawa pada saat itu terbiasa dengan barter. Akibatnya, mereka terjerumus hutang kepada para renternir Tionghoa setempat yang diberi wewenang dalam mengurus pajak.

Kebijakan monopoli gerbang cukai (bandar) oleh Belanda (1816) menyebabkan biaya fiskal yang harus dikeluarkan pengusaha Tionghoa meningkat tajam dan berdampak pada para petani Jawa yang mereka pekerjakan.

Larangan Pangeran Diponegoro untuk menjalin relasi politik dengan etnis Tionghoa sesuai peringatan leluhurnya yaitu Sultan Mangkubumi.

Kekalahan Tumenggung Sosrodilogo, bupati Bojonegoro sekaligus saudara ipar pangeran, pada bulan Januari 1828 dianggap Diponegoro disebabkan Sosrodilogo telah menjamahi seorang peranakan Tionghoa di Lasem.

Penyerangan terhadap etnis Tionghoa di Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi semenjak awal peperangan. Catatan Payen, seorang arsitek di Yogyakarta, menyebutkan bahwa komunitas Tionghoa di Yogyakarta dibantai tanpa mempedulikan wanita maupun anak-anak. Komunitas Tionghoa di Bagelen sempat bertahan hingga tahun 1827 sebelum akhirnya diungsikan ke Wonosobo. Meskipun demikian, masyarakat Tionghoa di pesisir pantai utara (sekitar Tuban dan Lasem) ikut memasok pasukan Diponegoro dengan senjata, uang, dan opium (pada masa tersebut penduduk Jawa banyak yang kecanduan opium, termasuk pasukan Diponegoro). Setelah perang berakhir, kerukunan antara komunitas Tionghoa dan masyarakat lain di Jawa tidak dapat kembali seperti semula karena timbulnya rasa saling curiga akibat trauma selama perang, misalnya peristiwa di Bagelen saat penduduk Jawa lokal meminta komunitas Tionghoa yang mengungsi agar kembali.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel