8 || Pedangku Meminum Darah.
Bulan menggantung di cakrawala. Sinarnya tampak malu bagai gadis muda bertemu pujangga cinta. Awan kelabu tipis menghalau. Sinar terangnya tidak menarik hanya sedikit menerangi.
Saat itu, Hao Yang berjalan cepat ke halaman belakang sembari menyingsing gaunnya. Kaki lincahnya menapaki batu kerikil tertata sebelum sampai di bawah pohon prem bertanda khusus.
Kemudian wanita itu berjongkok untuk menggali tanah di bawah pohon yang sudah tertutup rapat dengan rumput menggunakan pisau dapur.
Tokk tokk
Setelah sedalam dua jengkal, ujung pisau sepertinya mengenai sesuatu. Senyum wanita itu mengembang sempurna, jadi dia lebih bersemangat menggali hingga tampaklah tutup guci tanah liat yang dibalut semen.
Tidak sampai 15 menit, guci tanah liat itu diangkut ke permukaan. Dan masih di bawah pohon serupa, semen penghalau dihancurkan dilanjut membuka daun pelapis juga penutup guci tanah liat itu sendiri.
Aroma khas arak yang dipendam bermusim-musim serta merta menguar.
Hao Yang bergegas membawa Arak dalam guci tanah liat itu ke dalam kediaman melalui pintu belakang.
Di tengah memperhatikan para pekerja, Yu Li terkejut pada Hao Yang yang datang-datang membawa guci arak. "Nyonya, guci arak ini …"
Hao Yang mengiyakan. "Iya, ini guci arak yang pernah kita tanam di bawah pohon prem."
Yu Li tidak puas. "Nyonya berkata akan membukanya setelah lima tahun supaya rasanya lebih enak tapi kenapa belum dua tahun saja sudah diambil?"
Hao Yang mengusap pundak Yu Li. "Aku penasaran pada rasanya. Aku khawatir tidak bisa menikmati ini bersamamu. Jadi aku membukanya lebih cepat. Lagi pula malam ini tampak suram, cocok sekali kalau memperpanjang malam dengan minum."
Kata-kata Hao Yang mengandung rasa sakit yang tertoreh. Pasalnya pada tahun keempat di bulan kedua kehidupan sebelumnya, Yu Li mendapat pelecehan dari anak buah Tuan muda keluarga Jin. Namun sebagai Nyonya gadis muda itu, Hao Yang tidak bisa memberikan bantuan apapun selain menangis bersama di sepanjang tujuh hari tujuh malam.
Lalu di bulan sembilan di tahun yang sama, Yu Li izin pulang ke kampung halaman tapi hingga kematian Hao Yang datang, gadis muda itu tidak pernah kembali. Oleh karena itu, di kehidupan sebelumnya, Hao Yang tidak memiliki kesempatan meminum arak tersebut bersamanya.
"Nyonya benar. Malam ini tampak suram. Apakah karena musim dingin akan berakhir?"
Musim dingin memang berada di penghujung akhir. Akan tetapi, Hao Yang bukan ahli perbintangan yang lihai memperhitungkan jatuhnya musim.
"Entahlah."
Sambil menduduki kursi di tepi jendela, Hao Yang memusatkan pandangannya pada para pekerja yang masih sibuk tapi sudah terlihat letih. "Aku ingin berbagi kenikmatan. Bisakah kamu menyajikan arak ini pada mereka juga?"
Yu Li pelayan Hao Yang, tentu gadis muda itu setuju. "Baik, Nyonya."
"Setelah selesai, mari duduk bersama dan nikmati arak ini disini. Kantuk tidak akan sudi singgah, nanti kuminta kamu nyanyikan lagu-lagu kampung halaman kita menggunakan Pipa itu."
"Baik, Nyonya."
Sesuai perintah, Yu Li pergi menghampiri para Pekerja dengan membawa beberapa kendi arak. Kemudian menyajikan semuanya meski menahan takut sekaligus malu. "Tuan tuan sekalian, Nyonya punya arak bagus, silahkan kalian ikut cicipi."
Anak buah Tuan muda Jin yang sekarang diperhatikan Hao Yang dari jauh tersenyum penuh arti ke arah gadis muda itu. Bahkan ketika Yu Li lengah, dia berani menyentuh tangan Yu Li!
"Ah." Yu Li tersentak kaget lantas spontan melangkah mundur.
Para pekerja lain menertawakan Yu Li sambil melontari godaan demi godaan.
Selesai menyerahkan kendi arak, Yu Li bergegas kembali ke kediaman. Dan Hao Yang perhatikan, anak buah Tuan muda Jin masih menatapnya dengan pandangan tergiur.
Hingga detik ini, Hao Yang terlihat tenang. Termasuk ketika dia beranjak mengeluarkan Pipa miliknya dari lemari tua.
Tatkala lemari ditutup, saat itu juga Yu Li masuk dengan wajah pucat tapi dia berusaha mengukir senyum.
Hao Yang tahu alasannya, tetapi wanita itu tersenyum lebar serta mempersilahkan Yu Li duduk.
"Terima kasih, Nyonya."
Mereka duduk berhadap-hadapan di tepi jendela sambil menikmati arak di poci yang sama lalu menyanyikan lagu kampung halaman diiringi petikan Pipa milik Hao Yang.
Bulan sabit menggantung malu-malu, anak gadis berjalan di bawah payung hitam …
Angin bergulung-gulung mengantarkan nyanyian dan suara Pipa sampai ke telinga para Pekerja.
Ditemani arak, mereka akhirnya bersenang-senang tanpa ingat besok pekerjaan harus beres.
Lantas, satu shichen tanpa terasa berlalu. Meski sudah meneguk beberapa gelas, kesadaran Hao Yang masih terjaga, sementara Yu Li bersama para pekerja telah terseret kemabukan.
"Yu Li, aku ingin tidur tapi aku belum terlalu mengantuk. Bisakah kamu menggantikan bermain Pipa dan menyanyikan lagu yang sama?" Minta Hao Yang.
Kendati dalam keadaan mabuk, Yu Li dapat menangkap perintah Hao Yang. Gadis itu segera menerima Pipanya, sedang Hao Yang beranjak ke tempat tidur tanpa lupa menurunkan kelambu.
Yu Li mulai menyanyi. Suaranya jauh lebih indah dan lembut daripada suara Hao Yang.
Di kehidupan sebelumnya, nyanyian Yu Li bagai obat tenang yang dapat membuat Hao Yang tidur cepat. Namun sekarang, Hao Yang harus melakukan sesuatu.
Jadi setelah lebih dari satu dupa, Hao Yang mengendap-endap meninggalkan kamar melalui jendela berlawanan, tanpa lupa membawa pedang yang sudah dia siapkan di bawah selimut.
Wanita itu melangkah hati-hati lalu pada tempat legam tanpa bayangan, dia berhenti memperhatikan para pekerja yang sudah terkapar mabuk.
Satu-satunya tujuan Hao Yang saat ini menjadi fokusnya, sekaligus menuntun langkahnya membelah kegelapan.
Begitu sampai, Hao Yang menghunus pedangnya secara hati-hati. Lantas, berjongkok tanpa ragu menurunkan celana hitam berdebu milik anak buah Tuan muda keluarga Jin tersebut.
Ular kecil milik pria itu tertidur lelap. Hao Yang berkata dalam hati, 'Benda perusak masa depan Yu Li ini harus dimusnahkan!'
Rasa sakit yang menyiksa Hao Yang di kehidupan sebelumnya, membuat wanita itu tanpa ragu meraih ular kecil tertidur tadi lalu memotongnya menggunakan pedang dalam sekali gerakan.
Syattt
Anak buah Tuan muda keluarga Jin terbangun. Sekelebat bayangan hitam melintas bagai kilat petir. Dia tidak bisa berpikir jauh, dia spontan melihat ke arah seharusnya burung bersarang.
"Aaaaa!" Sakit seketika mencekik luar biasa hebat. "Burungku! Burungku!" Teriakannya otomatis memecah keheningan malam.
Para pekerja lain terbangun dengan kesadaran di antara angka satu dan dua. Sambil mengucek mata masing-masing, mereka saling bertanya tapi setelah melihat apa yang terjadi, mereka langsung melompat kaget seolah melihat setan.
"Burungku! Tolong burungku!" erang anak buah keluarga Jin seraya menunjuk-nunjuk burungnya.
Suasana menjadi kacau!
Para pekerja seolah-olah lupa tujuan mereka di tempat ini. Bukannya menyelesaikan, mereka melainkan berbondong-bondong membawa pria itu meninggalkan halaman.
"Panggil Tabib! Panggil Tabib!"
"Burungku, tidak!!!"