Bab 8 Persiapan Paspampres
Bab 8 Persiapan Paspampres
Salah satu Paspampres yang duduk dekat dengan Rain berusaha bicara pada gadis itu. “Kau harus membantu kami,” ujarnya dalam bisikan yang nyaris tak bisa didengar dengan benar oleh Rain.
Gadis itu hanya menatap heran, “Saya? Anda gila,” kutuknya pada sang prajurit. Pria muda itu hanya mendengus dan berkata bahwa sudah seharusnya Rain melaksanakan tugasnya, sebagai warga negara maupun sebagai jurnalis.
Menyesal karena sudah pindah ke tempat duduk ini, Rain mendesis dan memutar otak untuk bisa membantu mereka. Gadis itu melepaskan jam pintarnya, memberikan pada sang prajurit. “Gunakan itu untuk menghubungi siapa saja yang bisa membantu kalian,” ujarnya. Pria itu justru menatapnya cukup lama.
“Apalagi? Bergegaslah!” desis Rain kesal. Pria itu bangkit dan berpura-pura ingin ke toilet setelah menyimpan jam pintar Rain dalam kantong celananya. Diberikan waktu yang sangat singkat, ia bergegas menuju kamar kecil.
Ia mengeluarkan jam tangan milik Rain dan menelitinya sesaat. Ia baru mengerti bahwa gadis itu ternyata memberinya sebuah jam pintar yang bisa ia gunakan untuk berkomunikasi. Tapi setiap komunikasi akan tercatat dan para pembajak pasti mengetahuinya. Karena itu ia menggunakan waktunya yang sangat terbatas untuk mengirim pesan.
Dua menit sekian detik yang berharga itu digunakan si pengawal untuk mengirimkan pesan sandi darurat pengamanan kepala negara. Pesannya berisi tentang posisi mereka dan keberadaan dari kelompok penyusup dalam pesawat kepresidenan. Tak lupa ia kirimkan pesan khusus untuk pengawal wakil presiden bahwa apa yang disampaikan Presiden sebelumnya, tetap dilaksanakan tetapi perlu mengulur waktu karena sebenarnya perintah itu dikeluarkan presiden dalam posisi nyawa yang terancam.
Ia mematikan jam itu setelah selesai melakukan komunikasi singkat. Sang pengawal masih ingin mengutak atik jam serbaguna tersebut tetapi gedoran di pintu toilet membuatnya mengurungkan niat itu. Akhirnya ia pakai jam tersebut dengan rapi untuk nanti ia akan gunakan lagi saat sudah kembali ke tempat duduknya semula. Lalu keluar dari kamar kecil dengan dada berdentum dalam harapan bahwa pesan daruratnya akan dibaca secepat mungkin dan para pembajak tidak mendeteksi komunikasi itu.
Sang pengawal tidak peduli pada si pembajak yang seperti ingin menelannya hidup-hidup karena sepertinya lewat dari tiga menit yang sudah disepakati. Lagipula mata si pembajak tertutup kacamata hitam sehingga tidak terlihat arah tatapannya. Dengan langkah santai, ia kembali ke tempat duduk sementara pembajak di belakangnya ingin sekali menyarangkan popor senapan di tengkuk pria itu.
Komandan Paspampres sebenarnya masih bingung bagaimana mungkin bisa ada penyusup pesawat mereka sedangkan ia sudah melakukan pemeriksaan di setiap lapisan pintu masuk. Memastikan ia semua orang yang masuk ke pesawat menggunakan identitas yang sudah mereka verifikasi sebelumnya.
‘Apa mungkin awak kabin?’ pikirnya, menatap para gadis berseragam dengan tubuh menjulang yang bersusun ketakutan ruangan awak kabin.
Atau mungkin salah satu prajuritnya yang berkhianat? Sekali lagi ia menebarkan pandangan pada anak buahnya. Mereka terlihat tenang tapi menyimpan kekhawatiran akan keselamatan Presiden. Semua orang bisa menjadi tersangka saat ini, nalurinya sebagai prajurit membuatnya sulit untuk mempercayai orang secara utuh. Jika mereka berhasil melewati ini, maka ia akan mendiskusikan apa yang saat ini ada dalam kepalanya kepada Menteri Pertahanan.
Ia ingin kembali duduk di tempatnya tapi ternyata formasi tempat duduk telah berubah. Semua penumpang termasuk presiden sudah dibawa ke ruang kabin belakang yang lebih luas sehingga semua pembajak bisa mengelilingi semua penumpang. Tujuannya adalah agar gerakan sekecil apapun yang mencurigakan, tidak akan luput dari tatapan mata mereka.
Para perempuan sudah digabung di satu tempat di bagian kanan sedangkan laki-laki di sebelah kiri. Komandan Paspampres duduk dekat tujuh orang stafnya, Menteri Pertahanan dan staf menteri. Presiden juga di antara mereka bersama beberapa penumpang lainnya termasuk Guntur. Di hadapan mereka ada dua orang awak, Menteri Luar Negeri, Ibu Negara dan ajudan serta Rain.
Para anggota Paspampres memberikan tempat pada komandan mereka di bagian tengah. Lalu semua mereka menutup mata seolah sedang tertidur sementara sang komandan menunduk. Namun yang sedang terjadi sebenarnya sang komandan sedang berbicara dengan sangat pelan agar tidak diketahui oleh para pembajak dan penumpang lainnya dengan menggunakan sandi rahasia yang hanya diketahui oleh tim mereka.
Teknik ini cukup baru bagi tim mereka, karena baru mereka latih tiga bulan terakhir. Dan saat ini mereka akan menggunakannya untuk pertama kali, tanpa aba-aba sama sekali. Kode rahasianya berupa dua puluh tujuh kata kiasan yang jika dirangkai akan memberikan arti tersendiri.
“Apa yang kalian lakukan!” pemimpin pembajak menghardik, tapi para pengawal itu hanya membuka mata sedikit.
“Apalagi yang bisa kami lakukan saat ini selain berdoa?” ujar Komandan Paspampres yang disambut tawa menggelegar seluruh pasukan pembajak.
“Ya, ya. Banyak-banyaklah kalian berdoa,” kekehnya. Tidak peduli ketika pasukan kecil itu kembali merapat.
Format informasinya berupa keadaan dari musuh atau situasi bahaya yang mereka hadapi dan rencana untuk mengatasi masalah yang ada. Jika didengarkan oleh orang lain, Komandan Paspamresnya seperti sedang berdoa padahal ia sebenarnya sedang memberikan petunjuk bagi semua anak buahnya.
Di akhir instruksinya, setiap anggota tim yang paham akan apa yang dikatakan oleh pimpinannya maka harus mengucapkan kata terakhir ‘Amin’. Sang pemimpin akan mengulang perintah bagi anak buahnya yang belum menyebutkan kata penutup tersebut. Semuanya mereka lakukan dengan suara yang pelan, cukup untuk didengar oleh satu sama yang lain dalam kelompok mereka.
Apa yang telah mereka rencanakan adalah dalam tiga puluh menit ke depan mereka akan mencoba melumpuhkan para pembajak. Mereka cuma berenam sedangkan ada delapan pengawal presiden. Setelah rapat kecil yang penuh rahasia itu selesai, sang komandan mengangkat kepalanya. Tak sengaja matanya bertemu dengan Rain.
Ia menganggukkan kepala pada Rain satu kali berharap jurnalis itu paham kalau ia ingin menyampaikan bahwa semuanya sudah ia coba atur dan akan kendalikan. Gadis itu hanya mendesis tidak jelas, karena sama sekali tidak paham apa yang mereka bicarakan dan inginkan.
Di saat suasana hening, dering dari kantong hitam di mana semua gadget tersimpan membuat bising sehingga kepala pembajak menolehkan kepala pada salah satu temannya yang langsung menuju kantong hitam dan berusaha memadamkan suara yang menggema. Para penumpang saling memandang berusaha menebak gawai milik siapa yang berbunyi.
Sebagian dari mereka mungkin berharap jika panggilan tersebut untuk mengetahui keadaan mereka. Namun sang pemilik telepon tahu persis kalau itu hanya bunyi alarm rutin yang mengingatkan jadwal kerjanya.
Presiden di tempatnya terus melihat jam karena sudah ada perjanjian dalam dua jam ia akan berbicara lagi dengan wakilnya untuk mengetahui perkembangan proses menyiapkan dokumen pembebasan. Tiga puluh menit lagi akan tepat pada waktu yang sudah disepakati.
Rain sendiri mengambil kesempatan berada dekat dengan Ibu Negara untuk menatap lekat raut dari wanita tersebut. Walaupun ia sudah tidak terlihat pucat, tapi ia terus mengucapkan sesuatu, mungkin berdoa, karena bibirnya tidak berhenti komat kamit dengan menghitung biji rantai tasbih yang digenggamnya.
Ibu negara sambil menutup matanya sehingga Rain tidak bisa membaca makna dari tatapan matanya. Rain memindahkan netranya pada Presiden dan di saat bersamaan pria separuh baya yang gagah itu juga melihatnya. Pandangan mereka saling beradu untuk beberapa detik sampai Rain jengah dan memindahkan netranya ke tempat lain.
Awalnya Rain yang berencana untuk menodong Presiden dan meminta penjelasan untuk masa lalu pahit yang ia hadapi setelah mengusir semua orang keluar dari kabin utama. Ia hanya ingin berbicara langsung dengan sang penguasa dan istrinya. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia sampaikan pada mereka berdua untuk menuntaskan rasa ingin tahunya.
Jika misinya sudah bisa terpenuhi maka ia bisa memilih untuk menetap atau tidak akan kembali ke tanah air untuk selamanya, dan menghabiskan sisa hidupnya di London. Semua kalimat untuk percakapan sudah ia simpan dengan rapi di dalam memorinya dan ia coba praktikkan semalam sebelum ia tertidur.
Rain mempunyai harapan anggota keluarga istana negara mau meladeni permintaan darinya. Rain tidak butuh pengakuan dan penghormatan tetapi ia ingin mengetahui alasan atas tindakan masa lalu yang menyebabkan ia terdampar di luar negeri, sangat jauh dari tanah kelahirannya.
Apa yang masih tidak bisa Rain kendalikan adalah rasa amarah yang telah ia timbun sejak usia lima tahun. Saat usia tersebut, teman sekolahnya di London mengoloknya karena memiliki warna kulit sawo matang yang sangat berbeda dengan ayahnya yang tulen anglo-saxon. Ibunya memang memiliki turunan Asia dan ayahnya dari Eropa.
Sejak itulah mereka selalu mengejek Rain sehingga sedikit demi sedikit bibit benci mulai tumbuh dalam hati dan merasuk dalam kehidupannya, membuatnya mudah marah. Dalam kondisi di bawah tekanan seperti sekarang, Rain mencoba untuk bersikap santai namun tetap waspada. Ia memang ingin menuntut pertanggungjawaban dari keluarga Prabu tapi ia masih harus menundanya karena halangan tak terduga untuk yang ke sekian kalinya
*Bersambung*