Bab 6 Tuntutan Pembajak
Bab 6 Tuntutan Pembajak
Rain masih berada di dalam toilet ketika kelompok penyusup mulai melancarkan aksinya. Dua orang pria dan satu orang wanita sudah ada di bagian depan kabin, di mana Presiden berada bersama sepuluh orang lainnya, berada.
Mendahului paspamres yang berusaha mencegah kekerasan berikut, salah satu pembajak memaksa masuk ke dalam kokpit. “Kalian tetap pada posisi masing-masing!” salah seorang dari pembajak, yang sepertinya adalah pemimpin mereka berbicara pada seluruh penumpang.
“Kumpulkan semua ponsel dan peralatan komunikasi kalian atau tanggung resikonya,” ia berkata sebelum kemudian melangkah menuju kokpit. Melewati Menteri Pertahanan yang berusaha melepaskan diri. Sementara pembajak yang berdiri diantara ruangan Presiden dengan penumpang lain bergerak merampas semua alat komunikasi tanpa kecuali.
Pilot dan co-pilot terkejut ketika orang itu masuk dan menodongkan senjata. Semua penumpang dalam pesawat terlihat panik dengan suara-suara protes yang tertahan terkecuali para Paspampres, dan Menteri Pertahanan.
Di dalam ruang kabin utama, Presiden memandang lekat pada Ibu Negara yang duduk sejauh dua bangku darinya. Memberikan tatapan menenangkan walaupun ia sendiri sedang cemas mengetahui pesawat mereka telah dimasuki oleh sekelompok pembajak. Presiden membuang pandangan pada Komandan Paspampres, pria itu terlihat malu dan seperti ingin bunuh diri.
Kebodohan dan kecerobohannya yang membuat para penyusup ini bisa masuk ke pesawat. Meski demikian, ia berusaha terlihat tenang dan menyiratkan bahwa semua akan baik-baik saja pada Presiden. Menteri Pertahanan yang berada di bawah ancaman senjata pun terlihat berusaha untuk tenang. Ia menatap Presiden dengan pandangan meminta maaf sekaligus menenangkan.
Rain keluar dari kamar mandi saat pembajak menyita barang milik penumpang. Keluar dengan tanpa beban Rain terkejut ketika ia membuka pintu kamar mandi dan mendapati salah satu pembajak menodongkan senjata padanya.
Seketika Rain merasa bingung dengan apa yang terjadi sampai ia melihat sekelilingnya. Suasana sangat mencekam dan semua orang duduk dengan tegang dan beberapa diantaranya ada yang menangis. Sepertinya istri para menteri.
‘Brengsek, ada penyusup dalam pesawat ini. Apa yang dilakukan para Paspamres itu? Bagaimana mereka tidak bisa mendeteksi adanya bahaya? Betapa longgarnya pertahanan mereka sampai bisa ada kejadian seperti ini,’ batin Rain.
Ia meletakkan tangannya di belakang kepala dan membiarkan dirinya digiring dengan laras panjang senjata berjalan kembali ke tempat duduk. Dalam kesempatan itu Rain mengenali jika tempat duduk dari enam orang yang tadi ia perhatikan telah kosong menandakan merekalah kelompok penyusup yang sekarang sedang berbuat onar.
Rain tidak mengingat semua wajah mereka kecuali yang wanita karena ia duduk diantara lima orang pria. Rain tidak berhenti di tempatnya di samping Guntur tapi ia terus menuju kabin depan dan mencari kursi kosong yang tepat berada di depan Komandan Paspampres dan salah satu stafnya yang ia temui di pintu pesawat ratusan detik sebelumnya. Mengeluarkan semua gadgetnya dan ia masukkan ke dalam kantong yang disodorkan dengan kasar begitu ia duduk.
Rain tersenyum dingin ketika pembajak tidak mengenali smartwatch yang ia gunakan. Pria itu langsung berbalik setelah ponsel Rain meluncur bebas masuk ke dalam wadah hitam di tangannya.
Rain menatap wajah Presiden yang tetap terlihat tenang walaupun Rain bisa melihat kalau rahang pria setengah paruh baya itu terlihat mengencang. Ada kemarahan dalam matanya yang teduh. Dan Rain memindahkan pandangannya pada Ibu Negara, yang terlihat sangat cemas.
Wanita anggun itu berusaha untuk tetap tenang dengan menarik dan menghembuskan nafasnya dari mulut dengan tangan bersedekap di dadanya. Rain melihat wanita dengan potongan rambut pendek ala Demi Moore memegang pundak Ibu Negara. Perhatian gadis itu terusik ketika seseorang berbicara dengan lantang.
Pemimpin pembajak yang keluar dari kokpit setelah memaksa pilot mengubah jalur pesawat dan meninggalkan salah satu anak buahnya di dalam untuk memastikan pilot tidak mengirimkan sinyal untuk meminta bantuan dari bandara terdekat.
Karena wajah mereka sudah tidak terlihat lagi maka Rain hanya bisa menebak manakah yang berjenis kelamin sama dengannya.
“Tuan Presiden, Anda adalah orang baru dan tentunya Anda tidak harus terlibat dengan masalah politik masa lalu. Kami ingin Anda membebaskan teman-teman kami yang dicurigai sebagai penyebar paham komunisme di negara Anda.”
“Apa yang kau bicarakan?” sanggah Menteri Pertahanan.
“Diam!” si pemimpin pembajak menoleh sengit padarnya. Sang Menteri yang tiba-tiba didorong oleh orang yang menyanderanya terdiam. “Saya tidak bicara dengan Anda. Kalau ada lagi yang bersuara tanpa perintah dari saya, maka satu per satu dari kalian akan menghadap Pencipta Anda lebih cepat dari yang semestinya.”
“Saya masih baru di jabatan ini. Bisa Anda perjelas apa tuntutan Anda dan saya harus melakukan apa?” tanya Presiden begitu si pembajak mengalihkan tatapannya kembali fokus padanya.
“Tuan hanya perlu membebaskan teman-teman kami yang sudah divonis tiga puluh enam bulan menjadi tahanan politik karena dituduh menyesatkan dengan mengajarkan tentang paham komunis.”
Terdengar helaan napas sang Presiden. Ia menatap Menteri Pertahanan yang terlihat begitu nelangsa. “Anda menyita semua peralatan komunikasi kami, saya tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun di luar pesawat ini untuk memenuhi permintaan Anda.”
Pria itu tertawa. “Anda jangan bersikap pilon. Kami bisa menghubungkan Anda kemana pun saat ini,” ujarnya kasar. “Dan bukankah Anda bisa langsung berbicara dengan dia,” pria itu menunjuk Menteri Pertahanan. “Kami tidak meminta banyak, hanya ingin Anda membebaskan Yung Khalid dan para pengikutnya,” tambah si pembajak.
“Berapa waktu yang saya punya?” tanya Presiden.
“Waktu Anda hanya dua puluh empat jam dari sekarang. Setiap jam sangat berharga, dan saya akan mengambil satu orang setiap jam jika Anda berniat mengulur waktu.”
Kepanikan sesungguhnya meraja dalam pesawat berbadan besar itu. Para perempuan bahkan pramugari yang sejatinya sudah terlatih untuk keadaan ini terlihat panik.
“Mohon maaf tetapi bahan bakar pesawat ini tidak mungkin mencukupi penerbangan selama itu,” sambung Komandan Paspampres yang langsung disambut suara tembakan yang mengenai punggung kursi di belakangnya. Suara desing peluru begitu dekat di telinga pengawal tersebut sebelum menancap masuk ke dalam dinding tempat duduk membuat hampir semua penumpang dalam pesawat menjerit.
“M4!” sang pemimpin pembajak berteriak pada anak buahnya yang berada di kokpit. “Periksa ketersediaan avtur,” sambungnya.
Sepersekian detik tanpa jeda saat ketua pembajak berbicara dan menoleh ke kokpit, memberi Rain kesempatan menatap Komandan Paspampres yang juga sedang menatapnya. Rain memutus pandangannya dan bersitatap dengan staf pengawal presiden lainnya yang tadi membuat Rain jengah. Pria itu memberikan kode dengan dua kali lirikan mata ke kiri namun Rain tidak paham kalau itu adalah sebuah tanda.
Rain menunduk dan naluri mendorongnya untuk kembali menatap Komandan Paspampres yang kali ini melakukan hal yang sama yaitu dua kali lirikan mata ke kiri. Rain lalu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan menunggu salah satu pembajak melihatnya.
“Ada apa?” tanya si ketua pembajak tadi menatap Rain dengan menodongkan senjatanya tepat pada dahi dari Rain.
“Saya mabuk udara jika tidak duduk dekat jendela. Apakah saya bisa pindah posisi diantara pria di sana?” tanya Rain sambil menunjuk Paspampres dan pengawalnya.
Sejenak si pembajak menatap gadis yang terlihat lemah dan manis itu, melirik pada arah yang ditunjuk Rain. “Sana!” bentaknya kemudian seraya menunjuk tempat yang diinginkan Rain dengan ujung senapannya.
Rain bangkit dan menarik sudut bibirnya dengan tidak ikhlas pada sang pemimpin pembajak. Pria itu menyeringai kesal padanya dan mengalihkan pandangan kembali pada Presiden. Menganggap gangguan yang baru saja dilakukan Rain tidak pernah terjadi.
“Kita akan mendarat di Bandara Internasional Baiyun Guangzhou untuk mengisi bahan bakar lalu kita akan mengudara lagi. Saya akan menghubungi Kedutaan Republik Rakyat Tiongkok agar Anda bisa dihubungkan dengan pihak-pihak terkait yang bisa membebaskan Yung Khalid dan pengikutnya.”
“Negara kami memiliki sistem hukum yang tidak bisa diintervensi oleh Presiden. Kalaupun saya berhasil membujuk mereka karena nyawa saya, tetapi tidak mungkin bisa membebaskan lebih dari satu orang. Oleh karena itu tentukan satu nama yang menjadi prioritas dalam proses negosiasi ini. Satu nyawa presiden diganti dengan satu nyawa tahanan politik,” ucap Presiden dengan suara yang tegas.
Sempat merasa khawatir, tapi mengingat tugasnya membuat ia menjadi lebih tegas dan geram dengan ancaman dari si pembajak. Pemimpin pembajak menatap Presiden dengan tatapan merendahkan.
“Anda sungguh tidak bisa mempelajari situasi,” ketusnya dengan nada menghina. “Anda tidak dalam posisi bisa bernegosiasi dengan saya. Anda hanya punya pilihan mengikuti semua perintah saya,” ujarnya kasar.
Prabu menghempas napas kesal. Matanya menatap Menteri Pertahanan tajam dan mengeluh dalam hati. Sedikit bertanya-tanya bagaimana para pembajak ini bisa menyusup dalam pesawat yang seharusnya steril sebelum dimasuki rombongan Presiden. Sang Menteri yang merasakan tatapan penuh tanya sang Presiden hanya bisa menunduk.
Sambil menyimak percakapan presiden dan pembajak, dua orang Paspampres yang duduk dekat dengan Rain mulai mencari cara untuk saling berbicara. Mereka berniat melibatkan Rain dalam misi mengambil alih pesawat karena mereka tahu kalau perempuan itu punya keahlian karena telah dilatih khusus.
Rain sendiri sengaja mendekati mereka karena ingin tahu apa maksud lirikan mata mereka beberapa menit sebelumnya tanpa paham kalau kedua pengawal presiden itu menaruh harapan besar padanya. Gadis itu masih mempelajari ekspresi setiap orang yang bisa ia tangkap dengan netranya.
*Bersambung*