Bab 5 Kelompok Penyusup
Bab 5 Kelompok Penyusup
Entah apa yang membuatnya gelisah, Rain menatap orang-orang di sekitarnya dan mendapati seseorang yang duduk di sebelah kirinya menatap jurnalis tersebut dengan tatapan curiga. Rain berusaha tersenyum tapi orang itu tidak memberikan ekspresi yang bersahabat. Merasa jengah dengan pandangan tersebut membuat Rain harus mengganggu temannya dan memaksa Guntur untuk bertukar tempat duduk.
“Ada apa denganmu?” herannya ketika Rain bersikeras mereka untuk bertukar tempat duduk. “Kita tidak boleh berpindah posisi. Semuanya sudah masuk dalam protokol perjalanan bersama kepala negara,” geram Guntur saat Rain tetap bersikeras untuk duduk di dekat sisi Guntur sehingga tidak harus bersitatap dengan orang yang ia hindari.
“Saya tahu, tapi saya tetap tidak bisa duduk di sini,” bisik Rain sambil berdiri dari duduknya dan menatap memohon pada rekan jurnalisnya tersebut.
Guntur dengan terpaksa mengikuti kemauan Rain karena ia tidak mau menjadi pusat perhatian. Tapi pemuda itu tetap menatap Rain dengan mata bertanya, memaksa gadis itu menjelaskan alasannya.
“Saya tidak suka pria di samping kiri itu yang terus menatap, seolah saya adalah seorang buronan,” bisik Rain setelah Guntur berpindah dari tempat duduknya.
“Dia adalah salah satu staf yang mendampingi Menteri Pertahanan,” Guntur balas berbisik. Rain mengedikkan bahunya.
“Saya tidak begitu hafal dengan setiap anggota dalam rombongan kita,” jawabnya dengan raut kembali seperti biasa. Datar dan dingin.
“Sebaiknya saya tidur saja. Jangan bangunkan saya sebelum kita sampai. Kalau ada yang bertanya, katakan kalau saya harus duduk dekat jendela biar tidak mabuk. Saya akan berperilaku sangat menyebalkan jika dalam keadaan mabuk,” pintanya.
Guntur hanya bisa menggeleng melihat sikap rekan kerjanya sambil berbisik, “Itu lebih baik, biar tidak ada yang curiga dengan apa yang baru saja kita lakukan.”
Tak lama kemudian pintu pesawat terdengar ditutup. Awak kabin menjalankan tugas mereka untuk mengingatkan para penumpang untuk siap siaga karena sebentar lagi pesawat akan tinggal landas.
Rain sedang mengatup matanya namun ia bisa merasakan pesawat mulai bergerak menuju landasan pacu. Ia tahu kalau ia tidak akan tertidur di pesawat namun ia menanti agar kendaraan ini mengudara barulah ia kembali mengawasi keadaan di sekitarnya.
Lima belas menit kemudian pesawat sudah membubung naik menuju ketinggian. Pramugari juga menyampaikan posisi mereka di udara dan menyambut kedatangan semua penumpang. Para penumpang mulai santai untuk menikmati penerbangan begitu pula Rain dan Guntur.
Di kabin depan, Presiden dan para menterinya sedang melakukan perbincangan serius. Ibu Cantika didampingi oleh seorang wanita muda yang terlihat sangat energik. Jika dilihat dari penampilannya seperti seorang polisi wanita. Ia adalah orang kepercayaan ibu negara yang juga selalu berada di dekat Ibu Cantika dalam semua kegiatannya. Tugasnya sebagai pelindung sekaligus berperan sebagai ajudan. Keduanya sedang menyimak percakapan para pria bersama Presiden.
“Apakah kita akan berkunjung ke kota lain setelah Beijing?” tanya Presiden pada ajudannya.
“Tidak Pak. Semua pertemuan hanya dilakukan di pusat ibu kota.”
“Pak Darul,” Presiden menoleh kepada Menteri Ekonomi yang seketika mengangguk takzim. “Saya harap semua data yang kita butuhkan sudah ada padanya,” sambungnya seraya menoleh kepada ajudannya.
“Siap Pak Presiden. Semua bentuk kerja sama yang telah kita jalin dengan Republik Rakyat Tiongkok dalam dua tahun terakhir dan capaiannya telah saya rincikan dan saya serahkan laporannya. Hal yang perlu kita perhatikan nanti adalah bentuk investasi dari para pengusaha Cina di negara kita dan kebijakan melibatkan para tenaga kerja yang dimiliki para investor.”
“Bagaimana dengan sektor pertahanan dan suasana politik luar negeri?” sekarang Presiden menatap Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri. Rain yang menatap mereka dari jarak cukup jauh terlihat bosan.
Kedua menteri yang baru saja disapa Presiden itu saling menatap, seolah saling bertanya siapa yang akan berbicara lebih dahulu. Akhirnya Menteri Luar Negeri, seorang perempuan anggun yang sanggulnya membuat Rain mengusap rambutnya, menjawab lebih dahulu.
“Suasana politik sangat kondusif walaupun kita perlu siaga jika memang Presiden Tiongkok bertanya tentang lima orang tahanan politik yang masih kita tahan karena dicurigai menyebarkan paham komunisme dalam dua tahun terakhir ini.”
“Seberapa berat kasus itu?” tanya Presiden, terdengar desahan pendek sebelum ia menoleh pada Menteri Pertahanan.
“Masa tahanan mereka akan segera selesai delapan belas bulan lagi. Mereka memang terbukti merekrut dua ratus kaum muda usia 18 – 25 tahun yang diberikan iming-iming bekerja di sebuah perusahaan di Cina. Pada masa pelatihan untuk persiapan kerja tersebut itulah mereka menyampaikan ajaran yang terkait dengan paham komunisme.”
“Apakah anak-anak itu berhasil mereka bawa ke Cina?”
“Gelombang pertama sekitar dua puluh lima orang sudah berhasil diberangkatkan dan sekarang dalam pantauan atase kita di sana. Kalau mereka sudah berganti kewarganegaraan kita tidak bisa lagi melakukan intervensi. Namun praktik mereka sudah kita hentikan dan izin lembaga mereka juga sudah kita cabut.”
“Saya pikir cukup untuk saat ini. Kita bisa adakan pertemuan singkat lagi besok pagi jika saya butuhkan. Silakan menikmati penerbangan ini. Terima kasih.”
Semua mengangguk dan mulai rileks. Mereka mencari posisi duduk yang lebih santai setelah sebelumnya harus serius menanggapi perintah dari atasan mereka.
Di kabin belakang, Rain dan Guntur duduk berdampingan tetapi tidak saling ngobrol. Guntur bolak balik menatap gadis yang masih memejamkan matanya, ingin memancing perbincangan. Rain yang tahu ia sedang diperhatikan akhirnya membuka mata dan menoleh pada rekannya.
“Ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?” ucapnya begitu membuka mata. Guntur menggeleng tergesa dan sedikit menyeringai. Ia berusaha mengajak Rain berbincang tentang apa saja setelah itu namun Rain hanya menjawab ala kadarnya karena ia tidak ingin membuat keributan.
Rain karena panggilan alam harus meninggalkan tempat duduknya. Dengan awas matanya menatap sekeliling ruang kabin yang terbatas luasnya untuk menemukan tanda toilet. Letaknya ke arah ekor pesawat membuat Rain harus membelok ke kiri. Sambil berjalan perlahan Rain menghitung jumlah kursi yang terisi penumpang.
Di belakang tempat duduknya dan Guntur tidak ada penumpang lainnya kecuali tiga orang staf paspampres terlihat dari seragam yang mereka kenakan. Orang-orang yang berbeda dari yang menatapnya tajam saat ia naik tadi, dan bukan juga sang koordinator yang ditemuinya pagi buta di Istana Negara.
Sementara di deretan sebelah kanannya ada sekitar enam orang dengan pakaian bebas non angkatan yang tidak Rain kenal satupun. Lima orang laki-laki dan satu orang perempuan. Mereka duduk setelah tiga deret kursi yang kosong di belakang dari staf menteri yang duduk di sebelah kiri dari Guntur.
Rain bertemu dengan seorang pramugari yang tersenyum padanya ketika mendekati pintu kamar mandi. Jika perhitungan Rain benar maka ada dua puluh empat kursi di bagian yang mereka duduki, dengan tujuh belas kursi yang dipakai penumpang.
Sementara Rain berada di dalam toilet, enam orang yang barusan ia lewati, dengan sigap menyarungkan baju kaos hitam berleher kura-kura, mengenakan penutup wajah dengan kaca mata hitam sehingga wajah mereka benar-benar tertutupi. Secara serentak mereka bangkit dari duduk dan, membawa senjata api jenis AK 47 dan G2 Combat Kal. 9 mm yang mereka sembunyikan di sisi tubuh masing-masing.
Begitu mereka berdiri, terlihat semuanya mengutak atik senjata tersebut dan dalam hitungan detik menyebar ke semua penjuru pesawat. Pergerakan mereka menimbulkan pekikan tertahan dari semua penumpang di dekat mereka. Para pasukan paspampres bergerak cepat memberi perlindungan pada Presiden dan istrinya.
Tapi pergerakan itu kurang cepat, tiga dari para pembajak lebih dahulu mencapai Menteri Pertahanan. Mengancam pria berusia 52 tahun itu dengan senjata dan memaksanya berjalan ke bagian depan kabin. Salah satu Paspampres yang berusaha menahan mereka, terpaksa menerima pukulan dengan popor senjata.
Tiga orang lainnya berdiri siaga di kabin belakang. Satu orang bediri di ambang pembatas antara kabin depan dan belakang, satu orang di bagian tengah dan salah satunya di dekat pintu kamar mandi.
Rain sama sekali tidak menyadari akan situasi yang sedang terjadi karena ia masih berada di dalam kamar mandi. Ia tidak tahu kalau akan ada kejutan menantinya setelah ia keluar nanti yang tentu saja akan merusak agenda pribadinya.
*Bersambung*