Bab 4 Tugas Kenegaraan
Bab 4 Tugas Kenegaraan
Dua minggu kemudian Rain dan salah satu rekannya sedang berada dalam ruang kerja mereka. Sejak pagi mereka berdua sudah meninggalkan kantor dan baru saja tiba setelah selesai melakukan liputan berita di Kedutaan Inggris. Keduanya sedang melengkapi berita yang hampir rampung, menyisakan dua paragraf terakhir ketika atasan mereka masuk kedalam ruang kerja.
“Wah, kebetulan sekali kalian berdua sedang berada di sini. Humas Istana mengirimkan surat tadi pagi, Presiden akan melawat ke Cina. Redaksi sudah menunjuk kalian untuk ikut dalam kunjungan kenegaraan itu,” ujarnya dengan wajah ceria. Entah apa yang ada di benak sang redaktur, tapi Rain merasa ada yang tidak nyaman dalam hatinya. Ia ingin menolak tugas ini.
“Apakah ada yang perlu kami siapkan Pak?” tanya Guntur menatap atasan mereka.
“Memangnya apa yang dibutuhkan Gun? Kalian hanya perlu tetap sehat selama berada di sana karena agendanya sangat padat,” ia kemudian meletakkan surat dari Istana itu di hadapan keduanya. “Ah, iya. Yang pasti siapkan kamera dan rekaman kalian,” kekehnya sebelum berlalu.
“Jadwalnya, jangan lupa kalian pelajari ya,” laki-laki setengah baya berwajah teduh itu menoleh sebelum ia sampai di mejanya sendiri. Rain dan Guntur mengacungkan jempol, setengah tidak ikhlas.
“Sudah pernah ikut kunjungan kenegaraan sebelumnya?” tanya Rain, Guntur menoleh padanya. Untuk pertama kali menyadari bahwa gadis itu tengah bicara padanya dan ia sedikit terkejut. Apalagi mata indah itu menatapnya sekarang.
“Pernah satu kali tapi sudah lama sekali saat kepemimpinan presiden sebelumnya,” balas Guntur. Rain membulatkan bibirnya membentuk huruf O
“Berapa orang biasanya dalam rombongan itu?” lanjut Rain.
“Tergantung rencana pembahasan biasanya. Tapi yang pasti para ajudan, Menteri Luar Negeri, dan menteri yang terkait di dalamnya,” jawab Guntur. “Kita harus mencari tahu apa yang akan dibahas di sana nanti,” ia mengambil jadwal yang ditinggalkan redaktur mereka.
“Sepertinya, Menteri Pertahanan juga akan ikut,” ujarnya seraya memberikan kertas itu pada Rain. Gadis itu mengambil kertasnya tapi tak membaca. Ia menatap Guntur dengan rasa ingin tahu yang berbeda.
“Bagaimana dengan anggota keluarga presiden?” selidik Rain.
“Ibu Negara pasti mendampingi Presiden. Itu suatu keharusan,” kekehnya. “Mereka punya agenda sendiri, kau tahu?”
“Baiklah,” jawab Rain acuh. Guntur meringis melihat betapa cueknya gadis ini.
“Memangnya ada apa? Kamu sepertinya sangat tertarik untuk mengetahui tentang setiap anggota keluarga Presiden,” tanya Guntur mengernyitkan dahinya.
Rain melengak, apa ia terlihat seperti itu? bertanya dalam hatinya, gadis itu menggeleng serius dan menoleh pada Guntur.
“Biasa saja. Saya perlu tahu untuk bisa mempersiapkan diri dan seperti apa harus bersikap nanti. Takutnya nanti saya salah dalam bertutur atau berbuat.”
Guntur tertawa. “Santai sajalah, kita tidak akan berinteraksi dengan Presiden atau keluarganya di sana. Kita hanya perlu mengikuti semua kegiatan mereka dan selesai. Laporan perjalanan akan diselesaikan setelah sampai di hotel,” kekeh Guntur.
“Terima kasih Gun.”
“Apakah besok kamu butuh dijemput?” tawar Gun.
“Tidak, terima kasih tapi aku bisa sendiri.”
Rain mempersiapkan diri dengan sangat baik untuk bisa menjalankan tugasnya. Ia sudah merencanakan untuk kesempatan kali ini, jati dirinya tidak akan ia sembunyikan lagi. Ia akan menunjukkan siapa ia sebenarnya pada anggota keluarga presiden. Bukan hal yang mudah tetapi ia harus melakukannya.
Ia harus meminta pertanggungjawaban atas semua yang telah terjadi di masa lalu. Sudah lama Rain menunggu kesempatan seperti ini dan waktunya sudah datang. Ia tidak boleh lengah karena tidak mudah untuk bisa berada dalam jarak begitu dekat dengan semua penghuni Istana Negara.
Rain mengeluarkan smartwatch yang jarang ia gunakan. Memastikan semuanya berfungsi, walaupun hanya tersimpan rapi di kotaknya setahun terakhir. Rain mengisi dayanya sampai penuh untuk dipakai dalam perjalanan besok. Benda itu tidak pernah Rain gunakan dalam kegiatan sehari-hari, tetapi untuk momen khusus saja.
Setelah mempersiapkan semua kebutuhannya, sebelum terlelap Rain membaca kembali agenda Presiden. Kunjungan kali ini merupakan kepergian pertama ke Cina dalam masa kepemimpinan Presiden Prabu. Tujuannya hanyalah memperkenalkan diri sekaligus memperkuat peluang kerjasama bilateral antara bangsa Indonesia dan rakyat Tiongkok.
Bidang yang disasar antara lain memperluas kerja sama di sektor ekonomi, politik dan pertahanan keamanan. Presiden masih ingin melihat peluang kolaborasi dalam aspek lainnya seperti budaya, sehingga butuh pertemuan tatap muka langsung antara kedua pimpinan negara, sebelum Presiden Prabu merancang strategi selanjutnya demi peningkatan pembangunan skala nasional dan daerah.
Rencananya rombongan delegasi akan berada di Beijing selama empat hari tidak termasuk jadwal perjalanan pulang dan pergi. Rain dan Guntur sudah berada di istana presiden sejak pagi hari. Guntur melaporkan diri kepada koordinator perjalanan untuk dirinya dan Rain.
Mereka secara bergiliran menunjukkan tanda pengenalnya. Pria yang menjadi koordinator tersebut menatap Rain dari ujung kepala sehingga ujung kaki dan mengamati tanda pengenalnya beberapa saat setelah ia mengecek Guntur. Keheningan diantara mereka membuat Rain menahan gemuruh dalam dadanya.
Dalam benaknya Rain berpikir bahwa ia tidak akan membiarkan seorang pengawal presiden merusak rencananya. Guntur berdehem membuat pria yang memeriksa mereka mengembalikan tanda pengenal Rain dan mempersilakan mereka untuk menunggu di ruang tunggu, bergabung dengan peserta rombongan delegasi lainnya. Ada Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, dan Menteri Pemberdayaan Ekonomi.
Lima belas menit sebelum jam delapan, Presiden keluar dari Ruang Oval (ruangan yang biasanya digunakan Presiden untuk menandatangani beberapa berkas sambil sarapan) bersama Ibu Negara dan para ajudan. Rombongan peserta yang menunggu segera digiring untuk mengikuti pimpinan negara tersebut.
Mereka masuk ke mobil masing-masing untuk diantar ke lapangan terbang di mana pesawat kepresidenan sudah menanti. Rombongan tersebut akhirnya tiba di pelataran pesawat di mana burung besi kepresidenan sudah siap siaga. Paspampres mengatur dengan rapi setiap orang yang naik ke pesawat. Apa yang sudah diatur oleh koordinator tim delegasi tidak boleh diubah oleh siapa pun. Bahkan sudah ditentukan secara cermat posisi tempat duduk dari setiap pribadi.
Mereka dipersilahkan naik sementara Presiden masih di ruang tunggu. Dia hanya akan masuk ke pesawat setelah semua anggota rombongannya siap. Presiden selalu menjadi yang paling terakhir naik ke dalam pesawat. Bangku Rain sebenarnya di bagian pinggir tapi saat ini ia duduk di dekat jendela menatap pasangan suami istri itu tajam saat mereka berjalan menuju pesawat. Ia tidak menemukan wajah yang mirip dengan anak laki-laki Presiden, sehingga ia menyimpulkan Wisnu tidak ikut dalam perjalanan ini.
Saat Rain menapaki tangga pesawat yang teratas dan menapakkan kakinya di karpet lantai pesawat, matanya bersirobok dengan salah satu anggota paspampres yang sudah terlebih dahulu tiba. Tatapan tajamnya membuat Rain kesal tapi ia dia memilih diam dan menghindari mata elang itu. Guntur yang datang sedikit di belakangnya meminta Rain pindah ke tempat duduknya sendiri dan ia duduk di sisi dekat jendela.
Rain menatap tajam saat sosok Ibu Negara yang berjalan anggun menuju tempat duduknya. Ada desiran rasa kecewa yang sudah menebal dan membeku dalam hati Rain. Membuatnya menampilkan wajah tak bersahabat bagi orang yang memandang.
Sementara pandangannya pada Presiden masih sama. Tidak ada rasa kagum atau bangga seperti yang selalu digaungkan oleh setiap penggemar fanatik Prabu. Hanya tersimpan amarah dan rencana untuk membalas dendam yang ada dalam benaknya Rain.
Setelah Presiden masuk, para pengawalnya mengambil posisi masing-masing. Pengawal yang tadi menatap tajam pada Rain duduk di seberang, sesekali matanya masih menangkap gadis itu dengan tatapan yang membuat Rain semakin tidak nyaman.
‘Dia kenapa?’ pikir Rain dalam hati. ‘Lebih baik menjauh saja, tapi sepertinya aku harus waspada terhadap pria ini.’
Rain sempat tak percaya kalau begitu sekali saja bertatap muka, ia sudah merasa seperti akan mengalami hal buruk yang ada kaitannya dengan penumpang tersebut. Guntur yang duduk di sisinya memperhatikan raut Rain yang mengeras. Ia ingin bertanya tapi sulit baginya untuk membuka pembicaran dengan Rain.
Rain menoleh ke bagian belakangnya, dan menemukan seseorang yang ia masih belum paham dengan benar jabatan sesungguhnya. Ia semalam sudah menelusuri dunia maya untuk mencari tahu sosok dari setiap orang yang namanya tertera di agenda namun Rain butuh waktu untuk mengenali setiap anggota delegasi. Hanya saja ia memilik firasat kalau akan terjadi sesuatu namun ia masih diam dan meyakinkan dirinya agar tidak perlu terlalu khawatir.
*Bersambung*