6. Yang Tak Selalu akur
Tidak perlu mandi agar menghemat waktu, begitu pikir Soa. Ia putuskan hanya mencuci muka dan menggosok gigi. Omelan Gensi karena keterlambatannya bisa lebih mengganggu dari pada bau badannya sendiri.
Ia tidak sempat berlama-lama mempertimbangkan setelan apa yang sangat ingin ia kenakan untuk memulai Senin di awal bulan. Langsung saja tangannya meraih celana jeans dan jaket Hoodie berwarna putih. Bahkan ia tidak mengambil roti untuk mengganjal perut. Sepatu kets yang baru dicuci sudah menanti di depan pintu, segera ia tancapkan kaki, mengikat tali sepatu kuat-kuat, takut kalau berlari kencang sepatu itu akan terbang.
“Ayah, Ibu, aku berangkat ... ” teriaknya sambil menggantungkan tas selempang di bahu. Gadis itu bergegas mengambil seribu langkah menuju halte bus.
Di sepanjang jalan keluar dari pemukiman rumahnya, beberapa kali ia menyapa tetangga yang dikenal. “Kau terlambat lagi, Soa?” paman Jun yang asyik mengelap sepeda melihat Soa melewati depan rumahnya.
“Begitulah, Paman. Dah Paman,” balas Soa singkat. Sesingkat itu juga yang ia katakan kepada tetangga lainnya jika mereka bertanya.
***
Setibanya di restoran.
“Kau terlambat lagi!” Gensi langsung menyambutnya dengan keluhan. Tersembunyi kebosanan di benak Soa mendengar kata-kata itu. Karena sepanjang perjalanan bukan hanya Gensi yang berseru begitu kepadanya.
“Maaf,” hanya itu yang Soa utarakan. Ia tidak ingin membahas lebih lanjut. Segera ia menyimpan tasnya di loker lalu menuju dapur dan menggunakan celemek.
Restoran sederhana milik mereka belum dibuka, tentu saja suasana sangat mendukung untuk Gensi meluapkan amarah, tidak ada pelanggan yang akan mendengar. Jadi itu tidak akan mempengaruhi citra restoran mereka. Soa tahu ini sudah menjadi risiko keterlambatannya, hanya perlu memberi beberapa menit untuk Gensi mengomel dan setelahnya mereka akan kembali normal, begitu pikirnya. Namun hari itu berbeda dari hari sebelumnya yang pernah terjadi, ada sederet persoalan lain yang turut Gensi kaitkan bersama keterlambatan adiknya.
“Itu, restoran baru itu! Kau tahu kan yang ada di perempatan jalan?” Gensi melanjutkan. Tangannya sibuk mengaduk-aduk campuran tepung dengan bumbu. “Kudengar selain enak, harga mereka lebih murah. Kita mana mungkin bisa menurunkan harga lagi. Kalau begini terus semua pelanggan kita akan beralih ke sana, restoran kita bisa tutup. Ya ampun! Aku berharap bisa bertukar pikiran dengan adikku untuk bisa memajukan restoran ini. Tapi bertanggung jawab atas waktu saja dia tidak mampu!”
Soa yang sibuk memotong sayuran lebih memilih untuk menggembok mulutnya. Sadar tidak akan habis pembicaraan jika ia menyahut, seolah itu hanya akan menjadi bensin yang bisa mengobarkan api lebih besar. Namun bukan berarti benaknya ikut terkunci. “Bahkan meski aku disiplin sesuai keinginanmu kau tetap akan menyudutkanku,” gerutunya dalam diam.
“Kalau kita sampai bangkrut, bagaimana kita mampu membayar hutang pada bibi Molly? Kau masih ingat kan apa yang dia katakan saat pertemuan kalian. Ia tidak mau memberi waktu lagi!” suara Gensi semakin nyaring.
“Ingatanku tidak seburuk dirimu,” Soa masih membalas dalam hati.
“Kalau kau tidak ingin membantu di sini, pergilah mencari pekerjaan pada orang lain!”
“Betulkan aku bilang, ingatanmu buruk! Sudah kukatakan kalau Ayah melarangku.”
“Aku dan Edzard masih mampu memajukan restoran ini.”
“Apa sih! Kau betul-betul menggelikan. Kalau kau merasa mampu kenapa dari dulu restoran ini belum berubah nasibnya?! Sekarang malah menyudutkanku. Ucapanmu semakin memperbesar kecurigaanku kalau kalian ingin aku menyingkir agar kalian bisa menguasainya!”
“Sudahlah,” tiba-tiba Edzard masuk sambil membawa satu kotak besar sayuran yang sudah dicuci. “Suara ocehanmu itu sampai ke halaman belakang, bagaimana kalau ada yang dengar? Lagi pula rasa masakanmu bisa tidak enak kalau kau masak sambil marah-marah begitu.” Edzard berusaha menenangkan seraya meletakkan sayuran itu di dekat Soa.
Namun bukannya tenang Gensi malah semakin panas. “Biar saja aku marah-marah begini! Harusnya ini membuatnya bisa berpikir untuk tidak bersikap seenaknya!” begitu omelannya. “Hei, kenapa kau sejak tadi hanya diam?” Gensi kembali mengarah kepada Soa.
Soa meletakkan pisau di tangannya, berbalik badan, dan tajam memandang Gensi. Begitu santai ia bersandar di tepi meja, tangannya menyilang tak menyiratkan ketakutan. “Sejak tadi sudah aku jawab,” ucapnya mulai terpancing.
Mata Gensi menyipit penuh curiga. “Aku tahu, pasti kau sudah memberiku sumpah serapah .”
Soa tertawa mengejek. “Kau selalu menilaiku buruk.”
Gensi ikut menyilangkan tangannya, raut muka balas menantang ia beri tanpa ragu. “Aku bisa membaca isi kepalamu.”
Sangat sulit berada di antara mereka dengan situasi yang ingin meledak begitu. Edzard mulai merasa panik, tidak ingin dapur menjadi berantakan karena percekcokan. “Sudahlah sayang, bukan hal yang mudah untuk mengelola restoran ini, adikmu pun masuk kesini dalam kondisi yang sedang sulit. Dia masih terlalu dini untuk kau tuntut terlibat banyak.” Edzard terkesan membela Soa, matanya melirik kepada gadis itu, senyumnya langsung melingkar.
Sayang ia tak mendapat sambutan baik, Soa membalas dengan senyuman sinis. “Oh, jadi sekarang kau berusaha mengambil hatiku. Semanis apa pun sikapmu, aku tidak akan pernah menganggapmu ada.” Soa terdengar tenang namun tetap menusuk. Membuat senyuman ramah yang diberikan Edzard sirna seketika. Gadis itu berhasil menyiram bensin lebih banyak, dan api pun menyembul tinggi.
“Kau lihat, dia tidak pernah bisa menghargai orang lain! Bagaimana aku bisa tahan punya adik seperti ini!” Gensi mengamuk. “Andai saja ada orang yang mau mengangkat dirimu menjadi anak pasti aku tidak perlu berpikir panjang untuk setuju, meskipun aku sudah kaya!” Bentaknya lagi sambil menunjuk-nunjuk wajah Soa. “Astaga, dia membuatku selalu sakit kepala, kenapa Ken bisa sangat dekat dengannya padahal dia membawa pengaruh buruk!”
Mata Soa terbuka lebar mendengar Gensi menyebut nama Ken, ia langsung teringat sesuatu. “Baguslah, kau mengingatkanku tentangnya. Kau yang sudah mempengaruhinya dengan sangat buruk.”
Gensi dan suaminya saling melempar pandangan. “Apa maksudmu?” tanya Gensi kebingungan.
“Yeah, aku tahu kau tidak akan pernah menyadarinya. Hei, kuperingatkan kau! Berhentilah membujuk Ken agar mau diasuh oleh bibi Molly. Jangan menggunakan kesulitan Ayah Ibu untuk membebani batinnya agar ia mau diasuh orang lain!”
“Itu kenyataan!” Gensi tak mau kalah.
“Dia tidak menginginkannya! Itu sama saja kita mengorbankannya! Dan aku sudah berjanji akan membatalkan itu semua!”
Gensi tercengang. “Itu karena dia belum memahaminya! Kau seharusnya tidak menahan dia. Berhenti membodohinya dengan berjanji akan mengubah keadaan!” Tangan Soa mengepal kuat, menyusup keinginan di hatinya untuk meremas mulut kakaknya itu. “Kenapa? Aku benar, kan! Jangan buang waktu dan pikirkan saja nasibmu. Mengubah nasib sendiri saja kau tidak mampu, bagaimana kau bisa mengubah nasibnya. Itu sangat mengenaskan!”
“Ken adikku. Aku tidak akan membiarkan dia sedih sendiri!”
“Apa kau lupa aku juga kakaknya!”
“Lebih tepatnya kau kakak yang ingin membuang adiknya!”
“BERANINYA KAU BERKATA BEGITU.”
