Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Kebaikan Yang Tak Berbuah

     Edzard langsung menahan Gensi sekuat tenaga yang menyongsong Soa penuh murka. “Tahan sayang ... sabar.”

     Soa tak berkutik sama sekali, bahkan tak berusaha menghindar apa lagi membantu perjuangan Edzard menahan Gensi. Ia cuek, membisu tenggelam dalam pikirannya.

     “Kau lihat, kalau tidak ada kakak iparmu rambutmu sudah habis kujambak!” Gensi berusaha mengendalikan diri dan mencoba mengatur nafas kembali. Ia pijat kepalanya yang mulai terasa pening. 

     “Aku yang akan menafkahi Ken,” Soa berkata tiba-tiba.

     Gensi dan Edzard saling memandang heran. Seketika saja tawa Gensi pecah, sementara Edzard memilih tersenyum sembunyi-sembunyi, mereka memang kompak untuk meremehkan. “Usahamu akan sia-sia. Kau bisa apa? Memberi dia sekolah yang bagus? Guru biola yang hebat? Mainan yang banyak? Pakaian indah? Fasilitas apa yang bisa kau beri?”

     Soa terperangah mendengar pertanyaan Gensi. Ia tak percaya, kakaknya meremehkan niat baik adiknya sendiri.

     “Oo ... restoran ini. Apa kau mengharapkan kesejahteraan dari restoran ini?! Hah, Itu pengharapan yang sangat konyol!” Gensi masih ingin menyepelekan.

     “Tidak. Aku bisa mencari pekerjaan di tempat lain!”

     “Dengan mengandalkan ijazahmu yang hanya tamatan SMA?! Paling-paling kau hanya menjadi pelayan kafe. Apa kau lupa kau tinggal di mana? Dengan gaji sebagai pelayan, untuk semua kebutuhan dirimu saja sulit terpenuhi apa lagi untuk menanggung kesejahteraan Ken.”

     “Kau tidak akan bisa tahu nasib orang di masa depan, Gensi!”

     “Aku hanya sedang membicarakan nasib orang-orang yang telah melewati jalan yang kau inginkan lebih dulu. Sebelum kau sama kecewanya dengan mereka!”

     Soa mendadak hening.  

     “Jangan kau bohongi Ken dan dirimu sendiri, Soa. Anak itu harus mendapatkan sekolah terbaik untuk masa depannya. Memang ia akan memulai semua ini dengan tangisan, tapi percayalah padaku kalau semua itu akan berlalu dan kemudian Ken akan tersadar dengan sendirinya, bahwa dia adalah anak yang sangat beruntung di dunia ini.”

     Soa mendadak gentar, ia tak mampu menampik kata-kata Gensi. Kondisinya lebih sulit dari yang ia bayangkan. Benaknya digelayut ragu, ingin rasanya menarik tangan orang yang ia sayangi dari tepi lubang yang dilihatnya hanya gelap, tetapi apakah uluran tangannya itu tepat? Atau benar yang Gensi bilang, itu bukanlah lubang yang mengantar pada kegelapan, melainkan taman surga yang belum ia kenali?

      “Kita sudah merasakan betapa sulitnya Ayah Ibu membesarkan kita, Soa. Apa kau juga ingin Ken merasakan hal yang sama?”

     Soa masih terpaku pada hening.

     “Oh ya, jangan lupa. – Ini juga menyangkut tentang hutang Ayah kepada bibi Molly. Itulah akar masalahnya!”

***

          Kini giliran Felix yang meninggalkan rumahnya. Pagi ini hatinya sudah menggebu-gebu oleh keyakinan bahwa ia akan mengubah nasib keluarga. Tidak ada lagi keraguan tersisa, Felix terpikat pada keberuntungan yang ditawarkan.

     Tak jauh beda dengan putrinya, Soa Mannaf. Sepanjang jalan jika ia bertemu tetangga yang dikenal, ia akan menyapa seraya melempar senyuman. Termasuk menyapa Paman Jun yang tidak lagi sibuk dengan sepedanya, kali ini ia sedang asyik memangkas daun-daun rusak pada tanaman hias.

     “Hoi Jun ... “

     “Oh Felix, kau akan ke restoran?”

     “Tidak, aku harus menemui temanku hari ini.”

     “Baiklah, hati-hati. Ingat! Kau sudah tua, jangan sampai lupa jalan pulang,” lalu Jun tertawa terbahak-bahak.

     Felix turut tertawa menikmati candanya, bahkan ia membalas, “Kau juga harus ingat. Kau lebih tua dariku, jangan sampai salah memotong daun yang rusak.”

     “Hahaha kau benar.”

     Begitulah kelakar antar tetangga yang terjadi. Felix kemudian melanjutkan perjalanannya. Hingga pada satu titik, ia sempatkan lagi berhenti di sebuah rumah tua yang lama tak berpenghuni. Ia mengeluarkan sesuatu dari tas, lantas memutuskan mendekati pagar rumah itu. Tidak terlalu tinggi, hanya sedada orang dewasa, jadi ia bisa melihat halaman rumah itu tanpa harus masuk.

     “Ah, itu dia,” ujarnya setelah matanya mencari-cari. “Hei Plato ....” Dilihatnya seorang pria terbaring lelap di pojok halaman depan. Berkali-kali dipanggil tapi tidak menjawab, baru Felix tersadar kalau orang itu memiliki kemiripan dengan Soa. Susah dibangunkan jika sudah pulas.

     Dari tangannya, dua bungkus roti sudah ia siapkan untuk dibagi kepada Plato yang dikenal masyarakat berpenyakit jiwa. Felix lempar dengan keras roti itu ke arahnya. Maksud hati sekaligus ingin membangunkan dari kejauhan, padahal roti terakhir sudah tepat menimpa muka, namun sayang Plato tetap tak berkutik. “Astaga, kau tidur atau mati!” gerutu Felix. 

     Sejenak Felix mengamati Plato yang tidur nyenyak dengan tubuh kotor dan pakaian lusuh. Ada rasa yang muncul di balik tatapannya. Ia menghela nafas dalam-dalam, lantas berujar seorang diri. “Kadang aku merasa hidupmu lebih beruntung dari pada aku yang masih waras.”  

     Pria paruh baya itu bernama Felix Mannaf, berusia 52 tahun. Felix tak tertarik dengan nasibnya, belakangan usaha yang ia perjuangkan mati-matian menemui jalan buntu. Penambahan modal yang dilakukannya tidak berbanding lurus dengan keuntungan yang ia harapkan. Felix tergerus kompetisi, hutang dan bunganya menumpuk tidak mampu terbayar. Padahal belum sempat ia merasa puas atas hasil yang dicapai selama ini, ia sudah dihadapkan lagi pada rintangan yang membuatnya harus turun bahkan hingga ke dasar. “Tuhan tidak peduli,” selalu itu yang menjadi kalimat penghakiman Felix.

     Kiri kanan meminta pertolongan, namun tak seorang pun yang mau membantunya. Felix marah dan hatinya penuh caci maki terhadap mereka yang dianggapnya enggan peduli. Ia ingat lagi kebaikan-kebaikannya yang pernah dilakukan untuk teman-temannya agar mereka tidak jatuh seperti yang ia rasakan sekarang. Kini Felix mengerti, kebaikannya tidak terbalas sempurna.

     Sekitar satu jam setengah Felix dalam perjalanan. Hingga akhirnya sampai seorang diri ke rumah megah temannya itu.

     Pintu gerbang besar terbuka otomatis, dan membiarkannya masuk tanpa perlu melapor lagi kepada penjaga, terasa sekali Felix memang sudah ditunggu. Dari kejauhan Felix melihat sebuah rumah menjulang tinggi, bergaya Eropa klasik yang didominasi warna putih. Tak lupa pilar-pilar kokoh dengan ukiran detail menghiasi bangunan tiga lantai itu. Butuh berjalan kaki sekitar 300 meter untuk bisa tiba di pintunya. Sambil berjalan melewati taman luas dipenuhi bunga-bunga dan pepohonan rindang, Felix tersenyum menikmati khayalan. “Sebentar lagi aku akan memiliki rumah seluas ini,” begitu tekadnya di dalam hati.

     Seketika telepon genggam Felix berdering, dilihatnya ada nama Hector di layar. Langkahnya sejenak terhenti, dan untuk sesaat panggilan itu berhasil mengaburkan bayang-bayang keindahan masa depan.

     Felix ingin menemui pemilik rumah, yang ia pikir bukan saja bisa membantu melunasi hutangnya tetapi juga mengabulkan banyak impiannya. Siapa lagi kalau bukan seseorang yang tak ia sadari telah mencekiknya dengan bunga pinjaman, seseorang yang bisa membunuhnya atau bahkan membiarkannya hidup. Seorang pria yang lima tahun lebih tua darinya, bergelimang kekayaan dan kekuasaan. Tuan Daiva, begitu biasa dipanggil, sangat lihai dalam memainkan perannya sebagai penolong.

 

 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel