5. Rasa Ingin Membahagiakan
“Kakak, kalau nanti aku sudah tinggal dengan bibi Molly jangan selalu membuat ibu marah.”
Soa tertegun mendengar ucapan Ken.
“Wah, kau terlihat manis ketika mengkhawatirkanku, Ken.” Soa masih menganggap pembicaraan itu hal yang ringan.
“Aku sungguh-sungguh tidak ingin kakak di pukul ibu,” suara Ken terdengar lesu.
Soa lantas mengangkat tubuh Ken yang terbaring di pangkuan untuk duduk menghadapnya. Sorot mata mereka saling bertemu, mencari sebuah kepastian bahwa kehidupan mereka akan berlanjut baik-baik saja meski perpisahan menjadi sebuah takdir yang tak dapat dilawan.
“Aku akan baik-baik saja,” Soa berusaha menenangkan. Sayangnya, itu tak mengubah sedikit pun raut muka Ken yang masih terlihat tak berseri.
Tidak mau adiknya sendu begitu, Soa mencondongkan diri mendekati telinga Ken. “Kau mau kuberitahu rahasia?”
Dahi Ken terangkat. “Apa itu?”
Soa merasa harus berhati-hati, pandangannya mengedar memastikan tak ada seorang pun selain mereka berdua. Ia melanjutkan bisikannya, meski akan terdengar sangat pelan namun kedua tangannya spontan tetap menjaga suara yang keluar dari mulutnya agar dinding tak sedikit pun merekam. “Sebetulnya pukulan ibu itu lemah,” lanjutnya. “Rasanya hanya seperti ketika ... oh ya! perutmu digigit semut. Iya, seperti itu rasanya. Aku hanya berpura-pura kesakitan agar ibu tidak membuang-buang tenaga saja.”
“Hah?!” Ken terheran-heran. Ia tidak mengira kakaknya akan bertindak dramatis begitu, namun ia tetap lanjut menyelidik. “Tapi pernah kulihat badanmu memar?”
Soa tampak sudah siap dengan rasa penasaran Ken. “Itu bukan apa-apa, hanya sebuah reaksi kulit. Kau mengerti kan reaksi kulit? Seperti nyamuk yang meninggalkan bentol.” Soa masih terus mencari alasan agar tak ada lagi kekhawatiran. “Maka pukulan itu sangat wajar meninggalkan memar.”
Dahi Ken mengerut berusaha mencerna perkataan kakaknya. Soa berharap kalau penjelasan itu sudah cukup. “Hmm, nyamuk meninggalkan bentol dan rasanya gatal. Pukulan meninggalkan memar dan rasanya bukankah berarti sangat sakit?”
Soa mendesah, ia mengakui memang adiknya lebih cerdas dari padanya. “Sudah kubilang hanya sekelas semut. Sudahlah, kau belum bisa mengerti. Aku ini kebal!”
“Kebal? Apa lagi itu?”
Begitulah terus, apa pun yang menjadi jawaban Soa selalu melahirkan pertanyaan baru dari Ken. “Kebal itu ...” Soa menggaruk-garuk kepalanya. “Kau tidak akan merasa sakit jika dilukai orang lain. Tahan banting, tahan pukulan, dan tahan benturan.”
“Oh, itu seperti Logan,” terka Ken lugu.
“Logan? Oh ya, seperti Logan jagoan kesukaanmu itu.”
“Ajari aku Soa, ajari aku ...” Ken mendadak antusias, rautnya terlihat semakin penasaran.
Lagi-lagi Soa harus mencari alasan, sekarang ia merasa harus lebih berhati-hati memberi jawaban agar keingintahuan bocah itu berhenti. “Tidak bisa Ken.”
“Kenapa?”
“Karena kau tidak membutuhkannya. Kau anak baik yang penurut, bukan pembangkang sepertiku. Jadi, ibu tidak perlu memukulmu, bahkan siapa pun tidak ada yang ingin memukulmu. Lupakan saja, kekuatan itu tidak akan keluar jika kau tidak membutuhkannya. Kau paham kan maksudku?”
Ken hanya mengangguk-angguk tanpa kata. Soa mulai merasa lega melihat respons adiknya yang lebih tenang. Menandaskan lagi dirinya, “Bersenang-senanglah dengan keluarga barumu nanti.”
Ucapan Soa mendadak buat Ken tertunduk kembali suram. Soa semakin curiga, ada raut kesedihan bercampur penolakan yang ia tangkap. Beberapa hari belakangan ia melihat ekspresi seperti itu dari adiknya. Ia pikir Ken tak menyukai rencana ayah dan ibunya. Tetapi kecurigaannya selalu mudah di tepis karena bila Ken ditanya, anak itu pasti akan menjawab bahwa ia mau jika harus tinggal dengan bibi Molly.
“Katakan padaku, kau sungguh-sungguh ingin diasuh oleh bibi Molly?” tanya Soa sekali lagi, seraya menggenggam tangan adiknya. Kali ini Ken tak berkutik, hanya kesenyapan yang hadir, bahkan ia tidak berani melihat wajah kakak keduanya. “Ini kesempatan terakhirmu, jujur saja kepadaku. Kau tidak akan pindah jika tidak menginginkannya.”
Kata-kata terakhir Soa bagai sebuah magnet, Ken mengangkat kepalanya. “Betulkah?” tanyanya ragu.
Soa berhasil mendapati keinginan tersembunyi adiknya. Tak ingin melihat Ken di rundung sendu sedan, Ia mulai berlaga seperti seorang dewa penolong bagi Ken. “Aku bisa mengubah nasibmu,” ucapnya sambil menyilangkan tangan.
“Oh ya? Dengan cara apa?” Ken lagi-lagi penasaran. “Apa kau bisa memberikan ayah dan ibu uang agar mereka tidak keberatan merawatku?”
Soa dibuat kaget dengan pertanyaan Ken, Kalimat itu tidak ada dalam perkiraannya sedikit pun. “Bagaimana bisa kau berpikir begitu?”
Ken mengangguk penuh keyakinan, “Gensi yang bilang begitu padaku.”
“Gensi?”
“Ya, dia bilang ayah dan ibu ingin aku diasuh oleh bibi Molly bukan saja hanya karena bakatku, tetapi karena mereka tidak punya cukup uang saat ini. Kalau aku tinggal dengan bibi Molly, suatu saat jika uang mereka sudah terkumpul mereka akan datang menebusku dan kita bisa berkumpul kembali. Ayah dan ibu juga tidak akan melepaskanku lagi, karena biaya hidupku hingga lulus kuliah sudah mampu mereka jamin.”
“Dia bilang menebus? Apa dia pikir kau barang gadai,” gerutu Soa. Ia menarik nafasnya dalam-dalam, merasa geram dengan ucapan kakak tertuanya kepada Ken yang masih kecil dan tak mengerti apa-apa. Meski maksud dari ucapan itu memang benar adanya.
“Eh, kenapa Gensi sampai berkata begitu? Apa yang sebelumnya kalian bicarakan?” tanya Soa baru tersadar.
Ken menunduk seraya mengakui, “Aku sempat bilang pada Gensi, bahwa aku membatalkan keinginanku untuk diasuh bibi Molly.”
“Jadi sekarang kau berubah pikiran?”
Ken mengangguk-angguk pelan.
“Kenapa? Bukankah sebelumnya kau tertarik?”
“Bisa terus sekolah dan bermain biola memang sangat menarik. Tetapi –“ kata-kata Ken mendadak terhenti.
“Tetapi apa?”
“Aku merasa takut, Soa. Aku memang beberapa kali bertemu bibi Molly, dia wanita yang baik. Hanya saja, aku merasa takut.”
“Jadi kau takut tanpa alasan?”
“Begitulah. Dan aku tidak ingin berpisah dengan kalian, ada di tengah keluarga sendiri membuatku merasa lebih aman.”
Gadis itu memandang Ken dengan raut muka iba, disentuhnya pipi anak itu yang tembam seraya melonggarkan sejenak kegundahan yang hadir dalam benaknya. “Sudahlah, lupakan ucapan Gensi, aku tidak membutuhkan uang untuk membatalkan pengasuhanmu,” Soa terdengar penuh keyakinan.
“Sungguh?” Ken kembali bersemangat. Lengkungan senyum dari bibirnya yang mungil merekah bagai kepakkan sayap kupu-kupu yang baru keluar dari kepompong.
“Serahkan padaku,” tutup Soa. Ken yang senang langsung bangkit memeluk Soa dengan erat.
“Berjanjilah padaku, Soa,” ucap Ken pelan terdengar penuh harap.
Soa membelai lembut rambut adiknya. Dibalasnya pelukan erat itu dengan besarnya rasa di hati untuk menjaga.
“Tentu Ken, tentu saja aku akan ...” belum sempat ia selesaikan kalimatnya, sebuah jeritan menggelegar setelah matanya menangkap jam di dinding kamar. “Aaaaaaaa!!! Setengah delapan, aku telat! Aku telat!” Soa langsung melompat lari terbirit-birit ke kamar mandi untuk bersiap-siap.
Ken yang polos hanya bisa bengong melihat sikap kakaknya. Kali ini, ia tidak ingin bertanya lagi.
