Bab 13
"Cukup raih tanganku, dan kebahagiaan untukmu sebagai imbalannya."
Daniel menatap Shakira tepat di matanya, "Karena su sayang?"
"Apaan, sih!" kesal Shakira tanpa sengaja menekan luka Daniel dengan keras.
"Aw!" Daniel meringis kesakitan.
"Eh," Shakira refleks mengelus pinggir bibir Daniel. "Duh, lo sih, jangan gombal-gombal mulu, dong!"
"Muka lo ngegoda banget buat digombalin soalnya," Daniel hendak tertawa namun ia tahan mengingat perih melanda bibirnya. "Lagian, itu muka udah di-setting judes permanen, ya?"
"Lo bisa nggak, kalau ngomong nggak usah bikin kesel?" tanya Shakira seraya menatap Daniel dengah wajah judesnya.
"Gue tuh nanya, Sha. Bikin keselnya di mana?" balas Daniel heran.
"Apapun yang keluar dari mulut lo tuh ngeselin, selalu."
"Ngeselin, apa ngebaperin?" kalau saja saat ini bibir Daniel sedang tidak sakit, ia berani menjamin ia akan tertawa.
"Lo masih mau gue obatin, apa engga?" sinis Shakira. Memang ya Daniel, dibaikin sedikit langsung melunjak.
"Mau, tapi obatinnya bukan di sini." Daniel menarik tangan Shakira, dan menempelkannya tepat pada jantungnya. "Di sini yang sakit."
"Daniel!" marah Shakira seraya memukul keras dada Daniel. "Lo kayak gitu sekali lagi, gue biarin luka lo, ya!"
"Ampun, galak bener." cibir Daniel.
Kemudian lelaki itu diam sampai Shakira selesai membersihkan lukanya. Shakira mengumpulkan kapas bekas yang berisi darah Daniel, kemudian membuangnya ke dalam bak sampah yang terletak di bawah bankar UKS.
"Udah selesai, gue ke kelas." Shakira berdiri, namun Daniel menahan tangannya.
"Nggak, lo harus tetep sama gue," ucap Daniel.
"Kenapa gue harus sama lo?" tanya Shakira.
"Lo mau kejadian kayak tadi terulang lagi?" Daniel menatapnya tajam, "pokoknya lo nggak boleh ke mana-mana kecuali sama gue."
"Terus kalau gue ke rumah, lo harus ke rumah gue juga, gitu?" Shakira menaikkan sebelah alisnya.
"Yah, itu nanti kalau kita udah sah." Daniel hendak tertawa, namun bibirnya terasa perih sehingga ia malah meringis.
"Akhirnya," Shakira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gue jadi nggak perlu liat senyum lo yang nyebelin itu."
"Jadi, lo suka liat gue kesakitan gini?"
"Nggak sih, cuman gue seneng aja lo jadi nggak bisa ketawa ketiwi kayak biasanya." Shakira terkekeh geli.
Daniel memutar bola matanya malas. Dasar gadis aneh, untuk apa ia mengobati luka Daniel jika sebenarnya gadis itu senang melihatnya terluka? Lagipula, luka itu ia dapat akibat memberi pelajaran pada lelaki yang mengganggu Shakira.
Lelaki itu bangkit dari bankar, kemudian menarik pelan tangan Shakira. Gadis itu baru sadar, kemudian menghentikan langkahnya, bingung karena Daniel tiba-tiba menariknya.
"Lo mau narik gue ke mana?" tanya Shakira bingung.
"Kita ke ruang kepala sekolah, sekarang," ujar Daniel yang membuat Shakira melotot.
"Ngapain?! Lo mau ngaduin masalah yang tadi? Please, jangan. Gue bisa malu kalau orangtua gue sampai dipanggil!" ucapnya panik.
"Gue bukan mau ngomong itu, pokoknya kita ke ruang kepala sekolah sekarang." cetus Daniel.
"Tapi, Niel ... "
"Jangan bantah gue, Sha." Daniel menatap Shakira tajam, membuat gadis itu terdiam dan akhirnya menurut saat Daniel menarik tangannya.
Jarak UKS dan Ruangan Kepala Sekolah tidaklah jauh, hanya bersebrangan. Itu sebabnya tidak sampai lima menit Shakira dan Daniel sudah sampai depan pintu ruangan yang tertutup rapat itu.
Daniel mengetuk dua kali, lalu segera membuka pintunya tanpa menunggu seseorang di dalam sana menyahut untuk menyuruhnya masuk. Belum sampai di situ, Daniel pun langsung berjalan menuju meja kepala sekolah tanpa permisi.
Shakira sekarang bingung hendak menyembunyikan wajahnya di mana.
"Pak, saya mau ngomong," ujar Daniel pada Pak Hakim, kepala sekolah SMA Golden.
Pak Hakim yang tadinya sedang fokus pada buku di hadapannya, menoleh dan mengernyit pada Daniel.
"Sejak kapan kamu masuk? Tidak mengetuk pintu?" tanya Pak Hakim membuat Daniel berdecak.
"Itu nggak penting, Pak." Daniel menarik kursi yang ada di depan meja Pak Hakim, kemudian menyuruh Shakira untuk duduk, tidak ingin membantah lagi akhirnya Shakira mengikuti kemauan Daniel.
Pak Hakim melepaskan kacamata plusnya, kemudian menatap lurus ke arah Daniel seraya menangkupkan kedua tangan. "Ada apa?"
"Saya mau pindah ke kelas IPA, IPA satu kelasnya Shakira," ucap Daniel yang membuat Pak Hakim dan Shakira melotot.
"Kamu jangan bercanda, Daniel. Jurusan IPS tidak bisa pindah ke jurusan IPA. Kalian itu sudah kelas 12, harus fokus ujian, tidak ada waktu untuk main-main apalagi sampai pindah kelas!" ucap Pak Hakim.
"Pak, bisa nggak bisa, pokoknya harus bisa," Daniel bersikeras.
"Tujuan kamu pindah kelas dan jurusan di saat hampir ujian begini, apa?" tanya Pak Hakim seraya memijit pelipisnya.
"Mau jagain pacar saya," jawab Daniel santai.
Mata Shakira hampir saja melompat keluar karena melotot mendengar jawaban Daniel. Pak Hakim menoleh pada Shakira, kemudian menggelengkan kepalanya.
"Tidak bisa, Daniel." cetus Pak Hakim.
"Terus, gimana saya jagain pacar saya, Pak?" Daniel menatap Pak Hakim, "bapak mau, saya suruh mindahin gedung IPS biar deket sama gedung IPA?"
"Kamu jangan kurang ajar, ya!" ucap Pak Hakim. Mentang-mentang anak Sultan, batinnya.
"Eum, Bapak, tolong maafin Daniel ya, Pak. Kayaknya tadi badannya anget waktu saya pegang," ujar Shakira yang lamgsung bangkit dari duduknya. Gadis itu kemudian menarik Daniel keluar dari ruangan itu meski Daniel menolak untuk keluar dan masih ingin bernegosiasi dengan Pak Hakim perihalmemindahkan gedung IPA dan IPS agar bedekatan.
Memang, selama ini gedung IPA, IPS & BAHASA sangat cukup jauh. Seperti tiga sekolah yang sedang bersaing, padahal mereka ada pada poros yang sama, SMA Golden.
"Lo ngapain sih?" Shakira melotot pada Daniel saat mereka sudah berada di luar ruang kepala sekolah.
"Gue mau pindah ke kelas lo, biar bisa jagain lo. Tapi dia bilang nggak bisa, terus gue minta gedung IPA sama IPS dideketin." sahut Daniel seaakan yang ia ucapkan barusan adalah hal biasa.
"Daniel ...," Shakira menepuk jidatnya. "Mana bisa lo pindah kelas seenak hati lo, pindah jurusan malah! Terus, lo pikir itu gedung bisa jalan sendiri gitu main nyuruh pindah deketin segala?!"
"Apa yang nggak bisa, Sha?" Daniel balas menatapnya.
Shakira menggelengkan kepalanya. "Udah, mending lo balik ke kelas lo, gue balik ke kelas gue."
"Nggak usah balik ke kelas lagi. Lo ikut gue aja," ajak Daniel.
"Kemana?" Shakira mengernyitkan dahinya, "gue nggak mau bolos!"
"Nggak papa sekali-sekali lo ngerasain bolos, Sha. Biar masa SMA lo itu berwarna, nggak sekedar sekolah dan belajar," Daniel mengedipkan sebelah matanya, ingin tertawa namun perih rasanya. Ini cukup menyiksa.
"Masa SMA gue juga berwarna, kali. Lo kira gue belajar sama sekolah doang? Gue banyak ikut lomba, olimpiade, kurang berwarna apa coba masa SMA gue?" ujar Shakira yang tidak terima masa sekolahnya dihina Daniel.
"Lo lomba, olimpiade segala macem atas nama sekolah dan untuk sekolah kan?" tanya Daniel.
"Iya, lah."
"Kalau begitu, biar gue tunjukin ngelakuin sesuatu yang menyenangkan tanpa perlu mikirin mau ngebanggain siapapun. Lo cuman cukup cari kebahagiaan, untuk diri lo sendiri. Bukan untuk orang lain," ucap Daniel meyakinkan seraya menatap mata Shakira dalam.
"Caranya?"
"Ayo, ikut gue," Daniel mengulurkan tangannya, menunggu Shakira menyambut uluran itu agar mereka bisa pergi bersama. Agar Daniel bisa mengenalkan Shakira pada dunianya.
"Kita bolos?" tanya Shakira.
"Sekolah bakalan selesai dua jam lagi, Sha. Nggak papa,"
"Tapi bentar lagi kita ujian, harus fokus belajar, Niel."
"Iya, kita bentar lagi ujian, fokus belajar dan akhirnya lulus. Terus, kapan lo mau ngerasain nikmatnya bolos? Pas udah jadi alumni?" Daniel menggelengkan kepalanya, "selamat kalau gitu, masa SMA lo bener-bener nggak menyenangkan."
"Kata siapa masa SMA gue nggak menyenangkan?!" Shakira melotot.
"Kalau gitu, harusnya lo terima uluran tangan gue, dong." Senyum Daniel tertarik tipis meski bibirnya perih.
Shakira tidak bisa ditantang. "Oke!"
Dan siang itu, mereka keluar dari sekolah sebelum pelajaran berakhir.
"Cukup raih tanganku, dan kebahagiaan untukmu sebagai imbalannya."
Daniel menatap Shakira tepat di matanya, "Karena su sayang?"
"Apaan, sih!" kesal Shakira tanpa sengaja menekan luka Daniel dengan keras.
"Aw!" Daniel meringis kesakitan.
"Eh," Shakira refleks mengelus pinggir bibir Daniel. "Duh, lo sih, jangan gombal-gombal mulu, dong!"
"Muka lo ngegoda banget buat digombalin soalnya," Daniel hendak tertawa namun ia tahan mengingat perih melanda bibirnya. "Lagian, itu muka udah di-setting judes permanen, ya?"
"Lo bisa nggak, kalau ngomong nggak usah bikin kesel?" tanya Shakira seraya menatap Daniel dengah wajah judesnya.
"Gue tuh nanya, Sha. Bikin keselnya di mana?" balas Daniel heran.
"Apapun yang keluar dari mulut lo tuh ngeselin, selalu."
"Ngeselin, apa ngebaperin?" kalau saja saat ini bibir Daniel sedang tidak sakit, ia berani menjamin ia akan tertawa.
"Lo masih mau gue obatin, apa engga?" sinis Shakira. Memang ya Daniel, dibaikin sedikit langsung melunjak.
"Mau, tapi obatinnya bukan di sini." Daniel menarik tangan Shakira, dan menempelkannya tepat pada jantungnya. "Di sini yang sakit."
"Daniel!" marah Shakira seraya memukul keras dada Daniel. "Lo kayak gitu sekali lagi, gue biarin luka lo, ya!"
"Ampun, galak bener." cibir Daniel.
Kemudian lelaki itu diam sampai Shakira selesai membersihkan lukanya. Shakira mengumpulkan kapas bekas yang berisi darah Daniel, kemudian membuangnya ke dalam bak sampah yang terletak di bawah bankar UKS.
"Udah selesai, gue ke kelas." Shakira berdiri, namun Daniel menahan tangannya.
"Nggak, lo harus tetep sama gue," ucap Daniel.
"Kenapa gue harus sama lo?" tanya Shakira.
"Lo mau kejadian kayak tadi terulang lagi?" Daniel menatapnya tajam, "pokoknya lo nggak boleh ke mana-mana kecuali sama gue."
"Terus kalau gue ke rumah, lo harus ke rumah gue juga, gitu?" Shakira menaikkan sebelah alisnya.
"Yah, itu nanti kalau kita udah sah." Daniel hendak tertawa, namun bibirnya terasa perih sehingga ia malah meringis.
"Akhirnya," Shakira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gue jadi nggak perlu liat senyum lo yang nyebelin itu."
"Jadi, lo suka liat gue kesakitan gini?"
"Nggak sih, cuman gue seneng aja lo jadi nggak bisa ketawa ketiwi kayak biasanya." Shakira terkekeh geli.
Daniel memutar bola matanya malas. Dasar gadis aneh, untuk apa ia mengobati luka Daniel jika sebenarnya gadis itu senang melihatnya terluka? Lagipula, luka itu ia dapat akibat memberi pelajaran pada lelaki yang mengganggu Shakira.
Lelaki itu bangkit dari bankar, kemudian menarik pelan tangan Shakira. Gadis itu baru sadar, kemudian menghentikan langkahnya, bingung karena Daniel tiba-tiba menariknya.
"Lo mau narik gue ke mana?" tanya Shakira bingung.
"Kita ke ruang kepala sekolah, sekarang," ujar Daniel yang membuat Shakira melotot.
"Ngapain?! Lo mau ngaduin masalah yang tadi? Please, jangan. Gue bisa malu kalau orangtua gue sampai dipanggil!" ucapnya panik.
"Gue bukan mau ngomong itu, pokoknya kita ke ruang kepala sekolah sekarang." cetus Daniel.
"Tapi, Niel ... "
"Jangan bantah gue, Sha." Daniel menatap Shakira tajam, membuat gadis itu terdiam dan akhirnya menurut saat Daniel menarik tangannya.
Jarak UKS dan Ruangan Kepala Sekolah tidaklah jauh, hanya bersebrangan. Itu sebabnya tidak sampai lima menit Shakira dan Daniel sudah sampai depan pintu ruangan yang tertutup rapat itu.
Daniel mengetuk dua kali, lalu segera membuka pintunya tanpa menunggu seseorang di dalam sana menyahut untuk menyuruhnya masuk. Belum sampai di situ, Daniel pun langsung berjalan menuju meja kepala sekolah tanpa permisi.
Shakira sekarang bingung hendak menyembunyikan wajahnya di mana.
"Pak, saya mau ngomong," ujar Daniel pada Pak Hakim, kepala sekolah SMA Golden.
Pak Hakim yang tadinya sedang fokus pada buku di hadapannya, menoleh dan mengernyit pada Daniel.
"Sejak kapan kamu masuk? Tidak mengetuk pintu?" tanya Pak Hakim membuat Daniel berdecak.
"Itu nggak penting, Pak." Daniel menarik kursi yang ada di depan meja Pak Hakim, kemudian menyuruh Shakira untuk duduk, tidak ingin membantah lagi akhirnya Shakira mengikuti kemauan Daniel.
Pak Hakim melepaskan kacamata plusnya, kemudian menatap lurus ke arah Daniel seraya menangkupkan kedua tangan. "Ada apa?"
"Saya mau pindah ke kelas IPA, IPA satu kelasnya Shakira," ucap Daniel yang membuat Pak Hakim dan Shakira melotot.
"Kamu jangan bercanda, Daniel. Jurusan IPS tidak bisa pindah ke jurusan IPA. Kalian itu sudah kelas 12, harus fokus ujian, tidak ada waktu untuk main-main apalagi sampai pindah kelas!" ucap Pak Hakim.
"Pak, bisa nggak bisa, pokoknya harus bisa," Daniel bersikeras.
"Tujuan kamu pindah kelas dan jurusan di saat hampir ujian begini, apa?" tanya Pak Hakim seraya memijit pelipisnya.
"Mau jagain pacar saya," jawab Daniel santai.
Mata Shakira hampir saja melompat keluar karena melotot mendengar jawaban Daniel. Pak Hakim menoleh pada Shakira, kemudian menggelengkan kepalanya.
"Tidak bisa, Daniel." cetus Pak Hakim.
"Terus, gimana saya jagain pacar saya, Pak?" Daniel menatap Pak Hakim, "bapak mau, saya suruh mindahin gedung IPS biar deket sama gedung IPA?"
"Kamu jangan kurang ajar, ya!" ucap Pak Hakim. Mentang-mentang anak Sultan, batinnya.
"Eum, Bapak, tolong maafin Daniel ya, Pak. Kayaknya tadi badannya anget waktu saya pegang," ujar Shakira yang lamgsung bangkit dari duduknya. Gadis itu kemudian menarik Daniel keluar dari ruangan itu meski Daniel menolak untuk keluar dan masih ingin bernegosiasi dengan Pak Hakim perihalmemindahkan gedung IPA dan IPS agar bedekatan.
Memang, selama ini gedung IPA, IPS & BAHASA sangat cukup jauh. Seperti tiga sekolah yang sedang bersaing, padahal mereka ada pada poros yang sama, SMA Golden.
"Lo ngapain sih?" Shakira melotot pada Daniel saat mereka sudah berada di luar ruang kepala sekolah.
"Gue mau pindah ke kelas lo, biar bisa jagain lo. Tapi dia bilang nggak bisa, terus gue minta gedung IPA sama IPS dideketin." sahut Daniel seaakan yang ia ucapkan barusan adalah hal biasa.
"Daniel ...," Shakira menepuk jidatnya. "Mana bisa lo pindah kelas seenak hati lo, pindah jurusan malah! Terus, lo pikir itu gedung bisa jalan sendiri gitu main nyuruh pindah deketin segala?!"
"Apa yang nggak bisa, Sha?" Daniel balas menatapnya.
Shakira menggelengkan kepalanya. "Udah, mending lo balik ke kelas lo, gue balik ke kelas gue."
"Nggak usah balik ke kelas lagi. Lo ikut gue aja," ajak Daniel.
"Kemana?" Shakira mengernyitkan dahinya, "gue nggak mau bolos!"
"Nggak papa sekali-sekali lo ngerasain bolos, Sha. Biar masa SMA lo itu berwarna, nggak sekedar sekolah dan belajar," Daniel mengedipkan sebelah matanya, ingin tertawa namun perih rasanya. Ini cukup menyiksa.
"Masa SMA gue juga berwarna, kali. Lo kira gue belajar sama sekolah doang? Gue banyak ikut lomba, olimpiade, kurang berwarna apa coba masa SMA gue?" ujar Shakira yang tidak terima masa sekolahnya dihina Daniel.
"Lo lomba, olimpiade segala macem atas nama sekolah dan untuk sekolah kan?" tanya Daniel.
"Iya, lah."
"Kalau begitu, biar gue tunjukin ngelakuin sesuatu yang menyenangkan tanpa perlu mikirin mau ngebanggain siapapun. Lo cuman cukup cari kebahagiaan, untuk diri lo sendiri. Bukan untuk orang lain," ucap Daniel meyakinkan seraya menatap mata Shakira dalam.
"Caranya?"
"Ayo, ikut gue," Daniel mengulurkan tangannya, menunggu Shakira menyambut uluran itu agar mereka bisa pergi bersama. Agar Daniel bisa mengenalkan Shakira pada dunianya.
"Kita bolos?" tanya Shakira.
"Sekolah bakalan selesai dua jam lagi, Sha. Nggak papa,"
"Tapi bentar lagi kita ujian, harus fokus belajar, Niel."
"Iya, kita bentar lagi ujian, fokus belajar dan akhirnya lulus. Terus, kapan lo mau ngerasain nikmatnya bolos? Pas udah jadi alumni?" Daniel menggelengkan kepalanya, "selamat kalau gitu, masa SMA lo bener-bener nggak menyenangkan."
"Kata siapa masa SMA gue nggak menyenangkan?!" Shakira melotot.
"Kalau gitu, harusnya lo terima uluran tangan gue, dong." Senyum Daniel tertarik tipis meski bibirnya perih.
Shakira tidak bisa ditantang. "Oke!"
Dan siang itu, mereka keluar dari sekolah sebelum pelajaran berakhir.