Bab 4 Ciuman dari Eros
Matahari siang bersinar terik, memantulkan cahaya ke kaca apartemen Audrea yang besar. Meski suasana di luar cukup cerah, suasana hati Audrea justru terasa berat. Sejak Darren pergi, ia mencoba fokus pada pekerjaannya, duduk di depan laptop dengan secangkir kopi di meja. Namun, setiap kali ia mencoba mengetik, pikirannya terus teralihkan oleh sosok Eros Alvarro dan percakapan mereka semalam.
Audrea menutup laptop dengan sedikit frustrasi. “Kenapa aku terus memikirkan pria itu?” gumamnya, mengusap wajahnya perlahan.
Belum sempat ia memutuskan apa yang harus dilakukan, suara ponselnya berdering, memecah keheningan ruangan. Nama Darren muncul di layar, membuat Audrea sedikit tersenyum. Setidaknya mendengar suara kekasihnya akan mengalihkan pikirannya dari kegelisahan yang tidak jelas.
“Halo, Darren.” Suara Audrea terdengar lembut, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang masih tersisa.
“Sayang, kau sedang apa?” tanya Darren di seberang sana dengan nada santai. “Kau sudah makan siang?”
“Aku belum lapar. Baru saja selesai mengerjakan beberapa hal.” Audrea berbohong sedikit. Ia tidak ingin Darren tahu bahwa pekerjaannya terbengkalai karena pikirannya kacau.
“Kalau begitu, aku akan mengirimkan makan siang untukmu. Kau harus makan, Audrea.”
Audrea tersenyum tipis mendengar perhatian Darren. “Baiklah, aku akan makan kalau kau sudah mengirimkannya.”
“Bagus. Jangan lupa istirahat. Aku akan menelepon lagi nanti.”
Setelah panggilan berakhir, Audrea kembali bersandar di sofa. Ia tahu Darren sangat mencintainya, dan seharusnya tidak ada alasan baginya untuk merasa gelisah. Namun, pikirannya tetap saja melayang pada Eros, pria asing yang tiba-tiba muncul dan mengacaukan segalanya.
Tak lama kemudian, bel pintu apartemennya berbunyi. Audrea bangkit, berjalan menuju pintu dengan perasaan agak heran. “Darren cepat sekali,” pikirnya.
Namun, saat pintu terbuka, bukan Darren atau pengantar makanan yang berdiri di sana. Sosok tinggi dengan setelan jas hitam yang sangat rapi berdiri di hadapannya—Eros Alvarro, dengan senyum tipis yang sama seperti semalam.
“Audrea,” sapa Eros dengan nada rendah yang membuat dada Audrea berdebar keras. “Aku harap aku tidak mengganggu siangmu.”
Audrea tertegun. “Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?”
Eros hanya mengangkat bahu santai. “Aku punya cara. Boleh aku masuk?”
Untuk sesaat, Audrea ragu. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Eros yang membuatnya tak mampu menolak. Tanpa sadar, ia melangkah mundur, memberi jalan bagi pria itu untuk masuk.
“Aku rasa ini akan menjadi percakapan yang menarik,” ujar Eros sambil melangkah masuk, tatapannya tak pernah lepas dari wajah Audrea.
Audrea mengunci pintu perlahan, perasaannya bercampur aduk antara bingung dan kesal. “Apa yang sebenarnya kau inginkan, Eros?”
Eros berbalik, berdiri tidak jauh darinya. “Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu, Audrea. Sejak semalam, kau sudah menarik perhatianku, dan aku bukan tipe pria yang bisa diam begitu saja.”
“Kau berbicara seolah-olah aku adalah permainan.” Audrea melipat tangan di depan dada, berusaha menjaga sikap tegasnya meski hatinya mulai tak tenang.
“Bukan permainan.” Eros mendekat, membuat jarak di antara mereka semakin sempit. “Tapi mungkin tantangan. Dan aku suka tantangan.”
“Kau tidak seharusnya berada di sini,” tegas Audrea, mencoba mengendalikan situasi. “Aku sudah punya Darren. Hubungan kami baik-baik saja.”
“Aku tahu.” Eros tersenyum tipis, seolah kalimat itu tidak memengaruhinya sedikit pun. “Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa aku tertarik padamu.”
Audrea menggigit bibir bawahnya, mencoba mengabaikan debaran jantungnya yang semakin keras. “Kau tidak bisa seenaknya mengganggu hidupku.”
“Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku tidak akan pergi begitu saja, Audrea.” Suara Eros terdengar rendah, dalam, dan penuh keyakinan. “Aku akan menunggu sampai kau sadar bahwa ada sesuatu di antara kita yang tidak bisa kau abaikan.”
Audrea terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia tahu ia seharusnya mengusir pria ini, tetapi entah kenapa, kehadiran Eros membuatnya sulit berpikir jernih.
“Pikirkan itu, Audrea,” ujar Eros, sebelum berbalik dan melangkah menuju pintu. “Aku akan pergi sekarang. Tapi aku yakin kita akan bertemu lagi.”
Audrea hanya bisa berdiri membeku, menatap punggung Eros yang menghilang di balik pintu apartemennya. Ketika pintu tertutup, ia menghela napas panjang, merasakan kekacauan di dalam hatinya semakin parah.
“Apa yang sebenarnya kau lakukan padaku, Eros Alvarro?” bisiknya pelan, merasa bahwa kehidupannya yang tadinya tenang kini berubah menjadi jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.
Audrea berdiri di depan jendela apartemennya, menatap kosong ke luar, mencoba meredakan segala kekacauan di dalam pikirannya. Ia masih bisa merasakan ketegangan yang tersisa dari kedatangan Eros siang tadi. Ada sesuatu tentang pria itu yang terlalu kuat, terlalu menguasai, hingga membuatnya sulit berpikir jernih.
Belum sepenuhnya ia berhasil menenangkan diri, bel pintu kembali berbunyi. Audrea terdiam, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu siapa yang ada di balik pintu itu—entah bagaimana, ia hanya tahu. Dengan langkah pelan, ia mendekati pintu, mengambil napas panjang sebelum membukanya.
Dan benar saja, di sana berdiri Eros Alvarro, dengan tatapan penuh intensitas yang membuat Audrea kehilangan kata-kata.
“Apa yang kau lakukan di sini lagi?” tanya Audrea pelan, mencoba terdengar tegas meski suaranya bergetar.
Eros tidak langsung menjawab. Ia hanya melangkah masuk begitu saja, memaksa Audrea mundur tanpa memberikan waktu untuk protes. Ketika pintu tertutup di belakang mereka, suasana menjadi lebih tegang.
“Kau tidak bisa terus datang dan pergi sesuka hatimu, Eros,” lanjut Audrea dengan nada sedikit lebih keras, berusaha mempertahankan kendali.
“Aku tidak datang untuk meminta izin,” jawab Eros datar, namun ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar begitu dominan. “Aku datang karena aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.”
Audrea membuka mulut untuk membalas, tetapi sebelum satu kata pun keluar, Eros sudah mendekat, mengangkat wajahnya dengan kedua tangan, dan tanpa peringatan, mencium bibirnya dengan panas dan penuh gairah.
“Apa yang—” gumam Audrea tertahan di tengah ciuman itu. Tetapi tubuhnya seolah membeku, tidak mampu bergerak atau menolak. Hanya debaran jantungnya yang terasa semakin keras, seolah ingin keluar dari dadanya.
Ciuman itu bukan sekadar ciuman biasa. Ada api, ada ketertarikan yang tak terucapkan di dalamnya. Eros tidak memberinya kesempatan untuk berpikir, hanya membiarkannya terhanyut dalam sensasi yang begitu intens.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, Eros akhirnya melepaskan ciuman itu. Namun, ia tidak menjauh. Wajah mereka masih begitu dekat, hingga Audrea bisa merasakan napasnya yang hangat.
“Aku tahu kau merasakannya,” bisik Eros dengan suara rendah, tatapannya tajam menembus mata Audrea. “Kita tidak bisa terus berpura-pura bahwa ini tidak ada.”
Audrea mengatur napasnya yang masih terengah, mencoba mengendalikan dirinya. “Kau seharusnya tidak melakukan itu.”
“Tapi aku melakukannya. Dan aku akan melakukannya lagi, jika kau membiarkanku.” Suara Eros terdengar tenang, tetapi penuh keyakinan.
Audrea ingin marah, ingin mengusir pria ini dari hidupnya. Tetapi kenyataannya, ia tidak bisa mengabaikan apa yang ia rasakan. Ada sesuatu yang membara di dalam dirinya, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, bahkan dengan Darren.
“Kau harus pergi sekarang, Eros,” ujar Audrea akhirnya, berusaha keras menjaga nadanya tetap tegas.
Eros menatapnya sejenak, kemudian tersenyum tipis. “Baiklah. Aku akan pergi. Tapi ingat ini, Audrea… kau bisa mengusirku dari apartemenmu, tapi kau tidak akan bisa mengusirku dari pikiranmu.”
Dengan kata-kata itu, Eros berbalik dan berjalan keluar, meninggalkan Audrea yang masih berdiri membeku di tempatnya. Ketika pintu tertutup, ia menyentuh bibirnya yang masih terasa panas oleh ciuman Eros.
Dan saat itu, ia sadar—ini bukan sekadar permainan biasa. Eros Alvarro adalah badai yang siap menghancurkan kehidupannya yang selama ini tenang.