7. Jangan Jatuh Cinta padanya
***
"Sayang, di mana?" Sarah menelepon Shopia karena semalam sudah janji untuk menemani gadis kecil itu hari ini.
"Di lantai tiga, Bum. Bunda sudah sampai?" Shopia bertanya balik.
"Bentar lagi, sayang. Tunggu ya."
"Oke, Bunda."
Sarah menutup telepon dan bergegas ke lantai tiga untuk segera bertemu dengan Shopia. Sarah merindukan gadis kecil itu, entah mengapa gadis kecil itu selalu membuatnya bahagia.
"Sayang, Bunda kangen banget!" ucap Sarah sambil memeluk dan mencium pipi Shopia tanpa ampun.
"Iya, Bun. Shopia juga kangen banget sama Bunda. Enggak ketemu Bunda seminggu rasanya kayak seabad," jawab Shopia dengan ekspresi wajah yang imut dan manja.
"Ya ampun, anak Bunda jago banget gombalnya," ucap Sarah sambil tertawa dan memencet hidung Shopia.
"Ini bukan gombal, Bun, ini fakta," seloroh Shopia menegaskan.
"Iya deh, percaya. Mau main sekarang?" tanya Sarah.
"Let's go!" Shopia menarik tangan Sarah dengan cepat.
***
Tiga puluh menit kemudian…
"Halo, Papi mau kesini?" tanya Shopia, berharap ayahnya tidak melanggar janji lagi.
"Iya, ini lagi di jalan, tapi Papi tiba-tiba ada urusan. Lain kali aja ya ketemu sama Bunda Sarah-nya. Salam dari Papi," jawab Kevin, merasa bersalah selalu melanggar janjinya.
"Ya udah, hati-hati di jalan," Shopia menjawab dengan suara pelan dan sedikit kecewa.
"Oke, sayang."
Wajah Shopia murung, ia kecewa karena ayahnya lagi-lagi tidak menepati janjinya. Sarah yang melihat perubahan Shopia langsung mengerti bahwa gadis kecil itu sedang kecewa.
"Papi-nya Shopia enggak jadi kesini?" tanya Sarah.
"Iya, Bunda. Tadinya papi mau ketemu sama Bunda. Papi ingin ngucapin terimakasih karena udah jagain Shopia, Papi sibuk lagi alasannya. Shopia kecewa," Shopia mendengus dengan kesal.
"Enggak apa-apa, sayang. Memang kalau lagi sibuk kan bisa lain kali ketemu sama orang tua kamu. Bunda senang banget bisa kenal sama Shopia, bisa main bareng kaya gini. Enggak apa-apa, loh, cuma berdua. Malah Bunda bahagia sekali, jangan sampai merepotin orang tua Shopia buat nyempetin ketemu Bunda," Sarah membujuk Shopia agar ia tidak merasa kesal lagi.
"Enggak apa-apa, Bun, pokoknya papi harus kesini biar papi juga main sama Shopia disini. Biar jadi lengkap, Shopia punya Papi dan Bunda," Shopia berkata dengan semangat.
Sarah kaget mendengarnya, ada perasaan yang menggelitik dari obrolan anak kecil seperti Shopia. "Kan ada Maminya Shopia, Shopia sempetin ya buat ketemu Mami, pasti Maminya Shopia kangen."
"Shopia enggak mau ketemu dia," Shopia menjawab dengan tegas.
"Sayang, Maminya Shopia pasti sedih kalau Shopia bilang begitu," Sarah berusaha memberi pengertian pada gadis kecil itu.
Shopia hanya terdiam.
"Mungkin Maminya Shopia memang sibuk. Bunda sedih kalau Shopia kayak gini. Mau enggak bikin Bunda bahagia?" tanya Sarah pada Shopia.
"Mau!" Jawab Shopia dengan semangat.
"Sesekali tanyain kabar Maminya Shopia, ya. Tanyain aja kabarnya," Sarah berusaha agar gadis kecil itu tidak marah pada ibu kandungnya.
"Enggak mau. Dia jahat. Shopia suka sedih kalau dia cuekin Shopia," Shopia menahan air matanya agar tak terjatuh.
Hati Sarah sangat sedih melihat Shopia begitu menahan air matanya. Dia tidak ingin gadis kecil itu terus menerus larut dalam kesedihannya. Sambil memeluk gadis kecil itu, Sarah berkata, "Sayang, enggak apa-apa. Jangan sedih. Kalau misalnya Shopia sedih, langsung aja video call atau telepon Bunda."
"Iya deh, nanti kalau ingat, Shopia hubungi dia. Ini demi Bunda, loh," Shopia berjanji pada Sarah.
"Makasih, sayangku. Bunda makin sayang deh," Sarah memeluk erat Shopia dengan gemas.
***
"Pak Tono, ada foto Sarah?" tanya Kevin.
"Foto Neng Sarah yang sering ketemu sama Nona kecil, Tuan?"
"Iya. Saya penasaran soalnya namanya seperti orang yang saya kenal, dan saya hanya ingin memastikan bahwa mereka orang yang berbeda," jawab Kevin sambil terus melihat layar gadgetnya.
"Enggak punya, Tuan. Kalau Tuan tadi nyuruh, pasti saya fotoin. Pokoknya, mah, Neng Sarah cantik banget, baik banget. Di sana, kalau Nona kecil dan Neng Sarah lagi berdua, selalu jadi pusat perhatian terus. Mungkin Neng Sarah sama Nona kecil sama-sama cantik," Pak Tono menjelaskan.
Kevin tersenyum mendengar penjelasan dari Pak Tono. Dia sedikit menyesal karena gagal bertemu dengan Sarah, perempuan yang selalu diceritakan oleh anaknya, Shopia.
"Tadi saya tiba-tiba ada urusan mendadak, jadi enggak bisa ketemu atau kenalan. Pasti Shopia kecewa lagi," Kevin berbicara dengan nada menyesal.
"Minggu depan aja, Tuan. Tiap weekend, Nona kecil sama Neng Sarah suka ketemuan," Pak Tono berusaha memberikan saran pada boss-nya.
"Oke, saya usahain."
***
"Sarah kemana?" tanya Kevin heran karena biasanya Sarah selalu lebih dulu datang ke kantor daripada dirinya.
"Oh, izin, Pak, katanya sakit," jawab Nancy.
"Sakit apa?" tanya Kevin kaget.
"Katanya demam, Pak," Nancy menjawab dengan senyum yang berarti.
"Oh, kamu tahu alamatnya Sarah di mana?" tanya Kevin.
"Tahu, Pak. Saya kirimkan saja ya map-nya lewat WhatsApp," Nancy menjawab dengan senyum sumringah.
"Kamu kenapa senyum-senyum?" tanya Kevin, menyelidiki.
"Enggak ko, enggak apa-apa," Nancy menjawab dengan senyum yang merekah.
***
"Kemana nih anak, telepon tidak aktif. Apa aku langsung datangi saja tempatnya?" kata Kevin bertanya pada dirinya sendiri.
"Apa saya saja, Tuan, yang turun dari mobil dan nanyain Bu Sarah?" tanya Agus.
"Ide bagus. Coba tanyain, Pak," jawab Kevin.
Saat Agus beberapa menit tidak kembali, Agus menelepon bossnya.
"Iya, ada apa, Pak?" Kevin mengangkat telepon dari Agus.
"Nih, ada Bu Sarah-nya, Tuan. Maaf, Tuan bisa kesini? Bu Sarah-nya lagi sakit," kata Agus dengan hati-hati.
"Oke, saya kesana." Kevin tanpa menunggu lama langsung turun dari mobilnya.
Tempat koss-an Sarah masuk gang sempit. Kevin tak habis pikir dan tak tega memikirkan bagaimana Sarah tiap malam harus lewat jalan dan gang sempit seperti ini. Kevin tak mau Sarah kelelahan dan melewati gang yang sepertinya selalu sepi, apalagi kalau tiap malam. Kevin mendengus kesal. Ia ingin segera membawa gadis itu ke salah satu apartemennya, agar Sarah tinggal disana dan gadis itu tak perlu kelelahan seperti ini.
Di teras kosan Sarah, Kevin dan Sarah saling berhadapan dan sejenak hening tanpa tanya dan kata.
"Kamu udah baikan, kenapa tak kasih kabar langsung? Saya ini atasanmu, kan?" tanya Kevin memecahkan keheningan.
"Lumayan, Pak. Kebetulan lagi WhatsApp-an sama Mbak Nancy, jadi sekalian izin aja lewat dia," Sarah menjawab dengan agak lemas.
Kevin tahu bahwa gadis itu sedang berbohong. Jelas terlihat di wajah Sarah yang sangat pucat.
"Ke dokter saja, kita ke dokter!" ajak Kevin.
"Enggak usah, Pak. Saya udah baikan," Sarah meyakinkan Kevin.
"Baikan gimana? Lihat wajahmu pucat gitu," kejar Kevin.
"Enggak apa-apa, hanya istirahat saja udah cukup kok. Lagian, demamnya udah turun," Sarah berusaha terus agar bosnya percaya.
"Enggak, saaya enggak mau punya karyawan yang sakit tapi malas ke dokter. Pokoknya, nanti-nanti kalau ada apa-apa, harus bilang ke saya. Saya itu atasanmu, jadi kalau ada apa-apa saya yang berhak tahu duluan!" Kevin menekankan agar Sarah tak menghiraukan apa yang dikatakannya.
"Kan udah bilang dan minta izin ke Mbak Nancy, Pak. Enggak sempet izin sama Bapak karena emang tadi lagi bener-bener enggak enak badan," Sarah menjawab dengan suara yang lemas.
"Langsung bilang ke saya, jangan ke Nancy."
"Nanti saya izin ke bapak, Bapak enggak percaya saya sakit," Sarah berkata dengan agak kesal.
"Percaya, saya selalu percaya dengan apa yang kamu katakan. Ayo ke dokter sekarang," ajak Kevin.
Sarah selalu dibuat merasa spesial ketika Kevin berbicara. Entahlah harus berusaha semaksimal mungkin, Sarah tetap merasa bahagia dengan perhatian sekecil apapun dari bosnya.
"Enggak perlu, Pak," Sarah terus meyakinkan Kevin.
"Apa perlu aku gendong kamu biar kamu mau ke dokter?" Kevin bertanya dengan sedikit menggoda Sarah.
"Eh, jangan, Pak. Malu aku tuh," ucap Sarah.
"Ya udah, makanya ikut saya ke dokter," ajak Kevin. Dan akhirnya, karena Sarah malas berdebat dengan bossnya, mau engga mau, Sarah mengikuti apa yang disuruh Kevin.
Setibanya di dokter pribadi Kevin…
"Tuh kan, kata dokter juga hanya perlu istirahat beberapa hari saja," Sarah agak kesal karena Kevin akhirnya berhasil mengajaknya ke dokter.
"Saya khawatir sama kamu, enggak konsen kerja mikirin kamu sakit apa," jawab Kevin tiba-tiba, dan seketika wajah Sarah memerah dan merasa tersipu.
"Iya, mikirin karena enggak ada orang yang jadi sasaran empuk buat Bapak marahin," Sarah berusaha setenang mungkin dan tidak gugup.
"Saya tidak ingin karyawan saya sakit saja,” balas Kevin.
“Saya manusia juga, Pak. Wajar saya juga bisa jatuh sakit,” kata Sarah.
"Kamu kalau ada apa-apa bilang langsung ya. Saya harus orang pertama yang tahu. Jangan orang lain," pinta Kevin.
"Kenapa saya harus wajib bilang ke Bapak?" tanya Sarah heran.
"Karena saya peduli," jawab Kevin dengan cepat.
"Jangan peduliin saya. Enggak ada untungnya," Sarah mencoba menjawab dengan alami karena tidak ingin Kevin tahu bahwa sebenarnya ia sangat gugup.
"Ada dong."
"Apa?"
"Saya bahagia."
Ah, lagi-lagi lelaki itu menggodanya.
"Bahagia? Enggak salah?" Sarah tidak mau rayuan bosnya membuatnya luluh.
"Entah, saya pun tidak mengerti. Pokoknya saya bahagia," Kevin menjelaskan sambil tak henti memandang kedua mata indah Sarah.
"Mulai kumat deh gombalnya," Sarah berusaha senormal mungkin menjawabnya.
"Saya bicara itu apa adanya," ucap Kevin sambil tersenyum memasang ekspresi yang datar dan membuat hati Sarah berbunga-bunga dan sekali lagi ia meleleh dengan apa yang bosnya katakan.
Sarah berusaha sekuat mungkin agar jangan sampai ia jatuh cinta pada boss-nya. Sekuat hatinya ia harus tegas bahwa ia dan Kevib ada tembok kuat yang menghalangi. Status keduanya adalah tembok kuat yang menghalanginya!
Sarah, jangan jatuh cinta padanya!
***