BAB 8 DUDA 7
Seorang wanita muda tengah duduk di sebuah kursi kayu yang ada di teras belakang rumah dengan design minimalis. Tangannya sedang memegang sebuah koran yang menampilkan artikel tentang lowongan pekerjaan.
"Kenapa syaratnya sarjana semua, sih. Belum coba sudah patah duluan. Lama-lama aku ganti nama juga jadi sarjana biar bisa diterima kerja kalau begini," ocehnya sambil membolak-balik koran di tangannya.
Tak berapa lama, seorang pria menghampirinya dan tersenyum mendengar ucapannya barusan. Tak sadar akan kedatangannya, pria itu langsung duduk di depannya dan membuat dia terhenyak.
"Pak!"
"Lagi baca apa, sih? Kok ngomel-ngomel sendiri?" tanya pria itu menatap lembut padanya.
"Carin kesel lihat lowongan kerja di koran. Semua syarat harus sarjana tak ada yang lulusan SMA," sahutnya dengan bibir mengerucut. Gaston tersenyum melihat Carin yang sedang marah pada koran.
"Kamu ingin kerja, Nak?" tanya Gaston memastikan.
"Iya, Pak. Aku ingin cari kerja dan dapat uang. Aku sudah sembuh dan aku tak ingin jadi beban Bapak terus," jawab Carin yakin dengan koran yang sudah dilipatnya dan diletakkan ke meja.
"Kamu mau kerja apa, Nak? Kamu tidak jadi beban, kok!" sahut Emira yang baru datang dari dalam membawa sebuah nampan berisi teh dan camilan.
"Ibu," gumam Carin pelan. Emira meletakkan nampan ke meja. Dia langsung duduk di sebelah Carin yang menatapnya kikuk.
"Kamu mau kerja apa?" tanya Emira.
"Apa saja. Saat di panti, aku kerja di pasar menjadi pelayan toko sembako dan kuli cuci. Apa Ibu ada kenalan yang butuh jasa cuci?" sahut Carin cepat dan tak malu mengakui pekerjaan yang pernah dia lakukan.
Emira terhenyak. Matanya beralih menatap Gaston yang mengulas senyum tipis. Dia tak menyangka jika gadis secantik Carin bekerja seperti itu.
"Apa kau tak ingin pulang ke rumah? Suami dan keluarga pasti mengkhawatirkanmu, Nak," ucap Emira pelan dan berharap Carin tak tersinggung.
Carin bergeming. Seketika dia tersadar jika telah menjadi seorang istri dan telah durhaka meninggalkan suaminya saat malam pertama. Perlahan kepalanya tertunduk dan mendapati sebuah cincin melingkar di jari manisnya. Dia mengelusnya lembut dan terasa sesak di dadanya mengingat semua perbuatan yang dia lakukan.
"Mereka akan baik-baik saja tanpaku, Bu," ucap Carin memamerkan gigi putihnya.
Baik Gaston maupun Emira tak mampu menimpali lagi ketika Carin selalu menjawab seperti itu. Hingga saat ini, Carin tak pernah menceritakan apa yang menimpanya, kecuali dia mengaku jika kabur dari suami tanpa membeberkan alasannya.
"Carin ke kamar sebentar, ya, Bu!" kata Carin tersenyum dan beranjak pergi meninggalkan keduanya yang dilanda penasaran. Mata Gaston menatap kepergian Carin hingga hilang dibalik pintu dan menghela nafas.
"Sepertinya ada yang tak beres," ucap Gaston pelan.
"Mama pikir juga begitu, tapi apa?" timpal Emira yang kebingungan dan dibalas gelengan kepala oleh Gaston.
Setibanya di kamar, Carin menutup dan mengunci pintu kamar yang sudah hampir sebulan dia tempati. Tubuhnya luluh ke lantai di balik pintu. Dia menekuk kedua kaki dan memeluknya erat. Tak berapa lama, tetes demi tetes air mata membasahi pipinya. Bibir tipis nan merah miliknya bergetar sambil menggumamkan sebuah nama.
"Kak Riri, maafkan aku, hiks … hiks … maaf!" ucapnya lirih.
Matanya menatap sebuah cincin yang melingkar manis di jarinya dan tak pernah dia lepaskan. Semenit kemudian dia menyembunyikan wajahnya di antara dua lutut dengan bahu yang terus bergetar karena tangisnya.
****
Di kantor, Satria menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Bangun pagi dan pulang sore, bahkan malam hari, lalu tidur. Begitu seterusnya. Bukan dia melupakan tentang Carin, dia masih terus mencari keberadaannya hingga kini. Orang suruhannya yang ditugaskan mencari Carin masih belum menemukan jejaknya dan membuat dia kesal. Tanpa sadar, Satria yang dikenal pendiam berubah menjadi sedikit tempramen. Tak jarang dia memarahi karyawan hanya karena kesalahan kecil. Faro yang melihat perubahan itu hanya menarik nafas panjang dan ikut menutup telinga ketika mendengar Satria sedang unjuk gigi.
"Buat ulang laporannya dan keluar!" ucap Satria kencang untuk mengusir seorang karyawan pria dari bagian Accounting.
Dengan cepat, pria itu mengambil berkas yang sudah dilempar Satria hingga jatuh ke lantai dan menuju pintu untuk segera pergi dari singa yang sedang ujuk taring. Faro yang sedang berjalan menuju ruangan Satria terkejut ketika melihat seorang karyawan keluar ruangan dengan wajah pucat dan memanggilnya.
"Ada apa, Wan?" tanya Faro pada Iwan yang lesu.
"Habis kena semprot Pak Boss," sahutnya pelan.
"Kamu buat salah?" lanjut Faro.
"Saya salah ketik laporan, Pak. Harusnya di akhir kalimat ditutup tanda titik, tapi saya malah ketik tanda koma," terang Iwan membeberkan kesalahannya.
'Glekk'
"Begitu doang?" tanya Faro lagi. Iwan mengangguk lemah dan dibalas gelengan kepala oleh Faro menatap nanar pintu ruangan Satria.
"Ya sudah. Kamu perbaiki cepat dan jangan diambil hati. Maklum saja, Boss kita lagi stress berat karena istrinya belum ditemukan hingga saat ini," ucap Faro sambil mendaratkan tangan di bahu Iwan agar dia tak ambil hati akan ucapan kasar yang Satria layangkan.
"Saya mengerti, Pak. Saya perbaiki dulu laporannya," sahut Iwan dan bergegas menuju meja kerjanya.
Faro melangkahkan kakinya menuju ruangan Satria dan tanpa ragu membuka pintu tanpa mengetuknya. Terlihat Satria menatap padanya yang baru saja membuka pintu dan membuang pandangan pada layar komputer setelah tahu siapa yang datang. Faro mendekat dan berdiri di depan meja dan diacuhkan oleh Satria yang sibuk menatap layar tanpa menggerakkan jarinya pada keyboard.
"Sepertinya kamu harus ke rumah sakit memeriksakan kejiwaanmu, Sat," kata Faro tak perduli Satria tersinggung atau tidak.
"Aku gak gila!"sahutnya cepat.
"Yang ke rumah sakit bukan hanya orang gila, Sat. Kayaknya kamu depresi berat sering marah tak jelas," papar Faro dengan suara tenangnya.
"Gimana aku gak marah. Sejak kapan akhir kalimat pakai tanda koma?" oceh Satria mulai naik darah.
"Kamu bisa sampaikan dengan cara baik-baik tanpa membentak. Macam kantor kebobolan uang 100 milyar saja," sindir Faro menyunggingkan senyum.
Satria bergeming. Dia malas meladeni ocehan Faro yang datang di saat tak tepat, terutama hatinya yang tengah gundah.
"Sudah ada kabar tentang Carin?" tanya Faro mengalihkan topik.
"Belum. Mama nangis terus di rumah dan minta menantunya cepat dibawa pulang. Aku bingung harus cari ke mana lagi," terang Satria dengan suara pelannya.
"Mungkin Carin sudah mati, Sat," kata Faro tanpa sadar dalam gumamannya.
"Anjing kamu, Faro!"