BAB 6 DUDA 5
'Plakk'
Pukulan kuat mendarat sempurna di kepala Gofar yang dilayangkan oleh Garren akibat kesal padanya. Dengan wajah tak berdosa Gofar mengelus kepalanya yang sakit dan berkerut kening tak merasa ada salah dengan ucapannya.
"Kenapa jadi mukul, sih? Aku tanya betulan juga!" cicit Gofar menggerutu.
"Lagian otakmu tak jauh-jauh dari onderdil wanita terus. Heran aku dengan isi kepalamu!" geram Garren menatap kesal pada Gofar yang cekikikan.
"Ya iyalah, Gereng. Secara si Bangsat lagi malam pertama, dia pasti lagi party di kamar berdua sama Carin. Pastilah semvak atau kutangnya kabur ke mana-mana dilempar si Bangsat. Iyakan?" ucap Gofar masih pada keyakinannya.
"Harusnya begitu, tapi yang kabur di sini Carin. Carin kabur meninggalkan Satria yang seharusnya lagi wikwik dia sampai pagi, begok!" ujar Garren menjelaskan dengan suara lambat agar dicerna Gofar dengan baik oleh otak satu ons miliknya.
Terlihat kening Gofar semakin mengkerut akan ucapan Garren barusan. Melihat Gofar seperti itu, Garren memutar bola matanya malas dan membiarkannya mencerna lebih baik apa yang tengah terjadi.
"Jadi maksudnya Carin kabur gitu ninggalin Satria?" tanya Gofar sudah mengerti.
"Hmm."
"Kapan?"
"Semalam setelah pesta usai," sahut Garren datar menatap Gofar yang melotot.
'Brakk'
Terdengar bunyi meja yang dipukul oleh Gofar cukup kuat dan membuat sebuah kaleng minuman kosong jatuh dari meja.
"Kurang ajar si Bangsat sudah buat Carin kabur. Apa-apaan dia jadi laki sampai buat seorang istri kabur. Jangan bilang sudah main kasar dengan Carin!" oceh Gofar dengan tangan mengepal seolah siap memukul.
"Satria tak main kasar, Gokong," kata Garren pelan.
"Hah?"
"Justru yang main kasar Carin," ucap Garren lagi.
"Maksudnya?" lanjut Gofar penasaran.
"Carin yang menendang burung Satria ketika baru menyentuh bahunya. Kedebag kedebug … Ciaaaaat!" lanjut Garren diakhiri teriakan orang mengeluarkan jurus.
Gofar tercengang. Matanya mengedip lambat melihat apa yang dilakukan Garren yang begitu memukau dengan beberapa jurusnya.
"Ini beneran atau guyonan, Gareng?" tanya Gofar yang justru bingung.
"Ah, kancut kamu. Aku sudah mendalami karakter menirukan tendangan Carin malah tak percaya. Sia-sia aku unjuk gigi barusan!" kata Garren kecewa karena Gofar yang masih tak percaya.
"Carin kabur kenapa? Beri aku alasan!" kata Gofar lagi.
"Meneketempreng, Gokong. Aku baru saja dikabari Satria kalau Carin kabur semalam. Aku juga kaget sama macam kau!" oceh Garren yang bangun menuju kulkas dan meraih sekaleng softdrink.
"Aduh, apes banget Satria ditinggal kabur istri pas malam pertama. Kok bisa begitu, ya?" gumam Gofar yang merasa heran sambil menunjukkan muka seriusnya kali ini.
"Aku pun bingung, tapi aku merasa wajar juga, sih!" timpal Garren.
"Wajar gimana?" tanya Gofar.
"Satria semak begitu wajahnya. Mungkin Carin menyesal sudah menikah dengannya dan memilih kabur," ucap Garren menyimpulkan.
"Bisa jadi dugaanmu. Terus sekarang ada kabar?"lanjut Gofar.
"Om Gavin sudah perintahkan orang mencari Carin dan masih nihil. Satria sudah mulai mencari juga dan menuju ke kantor polisi," terang Garren.
"Oh, begitu. Ya sudah, ayo kita susul Satria!" ajak Gofar dengan semangat.
Keduanya yang sudah rapih bergegas menuju mobil yang terparkir di basement. Mereka berdua menginap di hotel tempat pesta diselenggarakan bersama beberapa tamu undangan.
****
Di rumah sakit, Carin sudah sadar dan merasakan sakit pada kepala serta luka di beberapa bagian tubuhnya. Terdapat perban di kepalanya yang terasa sakit ketika dia sadarkan diri. Baju pengantin yang membalut tubuhnya telah berganti dengan pakaian rumah sakit dan terkejut ketika mendapati dua orang asing yang ada bersamanya.
"Ka-kalian siapa?" tanya Carin lirih.
Keduanya tersenyum dan merasa lega karena Carin sudah sadarkan diri. Wanita itu mendekat dan berdiri di samping bangkar seraya menatap Carin yang kebingungan.
"Kami yang menabrakmu semalam, Nak. Kami membawamu ke rumah sakit. Saya Emira dan ini suami saya Gaston " kata wanita itu lembut.
Mata Carin yang nampak lemah menatap Gaston dan perlahan dia mendekat dan berdiri di samping Emira.
"Maafkan saya karena sudah menabrak dan membahayakan nyawamu, Nak. Maafkan atas keteledoran saya semalam dan membuatmu harus terbaring di sini," ucap Gaston dengan ucapan tulusnya membalas tatapan Carin yang sayu.
Carin menggeleng dan senyum tipis terbis di bibirnya yang pucat. Nampak Carin ingin bangun dari tidurnya dan dengan cepat Emira membantunya bersandar di kepala bangkar dengan meletakkan sebuah bantal sebagai sandaran.
"Tak apa, Pak. Semua hanya kecelakaan. Maafkan saya juga sudah menghalangi jalan," sahut Carin pelan.
Gaston mungulum senyum. Dia tak menyangka jika gadis muda yang dia tabrak justru meminta maaf padanya dan bukan marah-marah atau menuntut. Emira menoleh pada suaminya dengan senyum yang terukir. Dia tahu betul jika Emira menyukai gadis yang baru mereka temui tersebut.
"Namamu siapa, Nak?" tanya Emira lembut.
"Saya Carina, Bu. Panggil saja Carin," jawabnya cepat.
"Kamu tinggal di mana? Kami tak tahu ke mana mengabarkan tentang keadaanmu. Apa kauingat orang yang bisa untuk dihubungi?" lanjut Emira lagi.
Carin terdiam. Dia menggenggam selimut putih dengan motif salur berwarna putih yang menyelimuti tubuhnya hingga pinggang. Carin kembali teringat dengan kejadian semalam di mana dia kabur dari villa meninggalkan pria yang sudah menjadi suaminya begitu saja setelah menendangnya.
"Kak Riya," kata hati Carin menyebut nama Satria dengan sebutannya sendiri.
Mereka yang mendapati Carin bergeming saling bertukar pandang. Sebagai orang dewasa, tentu mereka paham jika telah terjadi sesuatu pada Carin dan mungkin begitu berat dan enggan dia ceritakan, terlebih pada orang asing.
Mata Carin menatap cincin indah yang melingkar di jari manisnya yang disematkan oleh Satria dan belum genap 24 jam berada di sana. Nafas Carin terasa sesak dan dia sadar jika perbuatannya adalah kesalahan. Mengingat dia telah menyakiti Satria dan kedua orang tua yang sudah menjadi mertuanya, Carin merasa sedih dan mendadak kepalanya sakit.
"Akh!" rintih Carin sambil memegang kepalanya.
"Nak, kamu baik-baik saja?" ucap Emira yang panik dan menyentuh tubuh Carin yang menegang karena menahan sakit di kepalanya.
"Sakit, Bu!" jawabnya lirih.
"Pa!"
"Papa panggil dokter," ucap Gaston yang beranjak keluar ruangan.
Tak berapa lama, seorang dokter dan perawat datang. Emira yang panik terpaksa menyingkir sebentar agar tak menggaanggu tugas mereka. Dia dan Gaston melihat pertolongan yang dilakukan pada Carin serta memberi obat penenang, hingga tak lama berselang, Carin kembali tidur.
"Ada apa, Dok?" tanya Gaston cemas.
"Benturan di kepalanya membuat rasa sakit timbul. Untuk sementara waktu, jangan ajak dia berpikir terlalu keras," terang dokter wanita itu cukup jelas.
"Baik, Dok."
"Saya permisi dulu," pamit dokter itu meninggalkan ruangan.
Gaston mendekat di mana Emira sudah duduk di samping bangkar sambil mengelus kepala Carin yang tengah tertidur. Setetes air mata jatuh di pipi Emira dan entah apa sebabnya.
"Mama merasa dekat dengannya, Pa," ucap Emira parau di sela kecemasannya.
Gaston bergeming. Dia memandang wajah Carin dengan saksama. Setiap garis wajahnya begitu mirip seseorang di keluarganya dan entah mengapa, dia pun merasakan sayang pada Carin yang belum ada sehari dia temui.
"Siapa kamu sebenarnya, Nak?"