BAB 4 DUDA 3
"APAAAA? CARIN KABUR?"
Satria memejamkan matanya akibat teriakan Cynthia yang tengah berdiri dari duduknya setelah dia mengatakan apa yang terjadi. Matanya yang memiliki kelopak besar semakin membulat dan tajam menatap Satria yang duduk lesu di sofa. Cynthia berkacah pinggang menatap tak percaya apa yang baru didengarnya.
"Apa yang kamu lakukan sampai Carin kabur, huh?" tanya Cynthia dengan suara kencangnya.
"Satria tak lakukan apa pun, Ma. Tepatnya belummau ngapa-ngapain!" sahut Satria jujur menatap Cynthia yang masih berdiri berkacah pinggang.
"Mana mungkin belum kamu apa-apain. Dia sudah jadi istrimu. Oh, jangan-jangan kamu main kasar, ya? Ayo ngaku!" oceh Cynthia menyudutkan Satria yang melotot.
"Astaga, Ma. Satria belum keluarin jurus apa pun. Gimana mau main kasar, colek sedikit saja belum. Yang ada dia sudah main kasar dengan Satria!" kata Satria membela diri.
"Maksudnya?" tanya Cynthia cepat dan penasaran.
Satria menatap bergantian ayah dan ibunya, lalu berujung helaan nafas yang justru membuat kedua orang tuanya penasaran.
"Carin tendang salak Satria."
'Krik krik krik'
Hening. Keduanya bergeming dan hanya terdengar deru nafas pelan. Mata Cynthia berkedip seolah mencerna lambat ucapan Satria barusan.
"Mungkin dia kesal kamu bawa salak ketika malam pertama dan bukannya manjain dia. Dasar kamu saja jadi suami tak peka dengan perasaan istri. Begok dipelihara!" cerocos Cynthia yang membuat mata Satria melotot dan tepuk jidat.
"Hahaha …." Kekehan terdengar di sela kekesalan Cynthia pada Satria.
"Kok Papa malah ketawa, sih. Itu nasihati anak Papa supaya jadi suami jangan begok-begok amat!" ucap Cynthia yang membuat Satria merasa kantuk.
"Maklum, Mama kamu sedang kumat lemotnya," kata Gavino akhirnya yang sejak tadi hanya menyimak.
"Papa! Mama tak lemot!" cicit Cynthia kesal sambil memukul lengan Gavino.
"Salak yang dimaksud Satria bukan buah, Ma, melainkan telur kembar di semvaknya," terang Gavin dengan suara terkekeh.
"Ooooh. Hah? Telor? Carin tendang telor kamu?" ucap Cynthia terkejut.
Satria tak menjawab dan hanya sebuah anggukkan yang dia lakukan sebagai jawaban bagi Cynthia. Satria duduk dengan lesu dan menunduk kembali menatap di mana salaknya berada yang semoga baik-baik saja.
"Pecah gak? Sini Mama lihat!" kata Cynthia dan membuat Satria terbelalak.
Tanpa pikir panjang, Cynthia bangun dari duduknya dan menghampiri Satria yang langsung memegang area salak yang tengah beristirahat sambil menggeser duduknya.
"Ma-mama mau apa, huh?" kata Satria menatap Cynthia yang sudah duduk di sampingnya.
"Sini Mama lihat. Siapa tahu ada memar atau cidera. Cepat buka resletingnya!" ucap Cynthia yakin dan dengan cepat Satria bangun dari duduknya untuk menghindar.
"Mama apaan, sih! Salak anak saja dipenginin. Salak Papa saja, ah!" sahut Satria menolak.
"Yang ditendang Carin salakmu, bukan salak Papa. Sini Mama lihat. Gak lucu kalau gara-gara ditendang Carin, salakmu gede sebelah. Buruan anak begok!" oceh Cynthia membuat Satria semakin menjauh dan menolak.
"Sudahlah, Ma. Satria mana mau tunjukkan salaknya. Nanti ke dokter saja untuk memastikan ada cidera atau tidaknya. Apa kamu paham, Nak?" tanya Gavino memutuskan dan diangguki yakin oleh Satria yang duduk di sampingnya kini.
"Ya sudah kalau begitu, tapi Mama harus ikut saat ke dokter nanti. Mama mau lihat sendiri!" tukasnya.
'Gubrak'
Bahu Satria melemah akan ucapan Cynthia yang selalu ingin membuntutinya. Namun, begitulah Cynthia yang tak pernah menganggap Satria sudah dewasa.
"Lalu, ke mana Carin pergi? Apa kamu memukulnya? Apa kamu menghinanya?" tanya Cynthia yang dengan cepat mengingat kembali topik pembicaraan yang sedang dibahas.
"Satria tak menghinanya, apalagi memukulnya, Ma. Satria bukan pria gila yang suka main kasar terlebih dengan wanita!" sahut Satria tegas.
"Lalu kenapa Carin kabur?" ucap Cynthia bingung dan hanya gelengan yang Satria berikan.
"Pa!"
"Apa Carin menikah dibawa tekanan, Ma?" tanya Gavino menatap serius pada Cynthia. Mata Satria ikut menatap Cynthia yang terhenyak. Dia terdiam seolah mengingat sesuatu.
"Saat Mama tanya, Carin menyetujuinya kok, Pa. Dia tak menunjukkan penolakan," jelas Cynthia yakin.
"Apa Carin sudah pernah bertemu dengan Satria sebelumnya?" tanya Gavino lagi.
"Belum."
"Hah?" kaget Gavino.
"Kenapa, Pa?" tanya Cynthia.
"Papa pikir mereka sudah saling kenal sebelumnya. Wajar saja Carin kabur, Ma!" jawab Gavino.
Cynthia dan Satria saling berpandangan. Keduanya tak paham dengan ucapan Gavino barusan seraya menepuk jidatnya.
"Maksud Papa apa? Satria tak paham!" kata Satria dan diangguki Cynthia. Gavino menarik nafas panjang dan menatap keduanya bergantian.
"Carin pasti ketakutan dengan parasmu, Nak. Coba kamu lihat wajahmu itu. Semua dipenuhi bulu. Kumis dan jenggot mirip kambing bandot. Alis nyambung seperti pete cina. Tubuhmu tinggi besar, sedangkan Carin sangat imut. Carin pasti ketakutan karena memiliki suami seperti Genderuwo!" terang Gavino jujur dan membuat keduanya melotot dengan mulut menganga.
"Papa! Bicara dengan anak kok begitu. Gini-gini juga anak kita, Pa. Hasil kita patungan selama dua tahun, loh!" cerocos Cynthia memarahi kejujuran Gavino.
Benar saja. Paras Gavino terlihat jauh lebih tampan daripada Satria yang dipenuhi bulu. Sejak mulai mengurus perusahaan, dia memanjangkan semua bulu di wajahnya. Awalnya karena malas mencukur dan lama kelamaan, Satria justru suka dengan wajah bewoknya yang tak wajar dan sering dianggap orang tua Gavino.
"Papa tahu, Ma. Makanya Papa berhak menghinanya sebagai orang tua yang baik. Papa yakin kalau Carin kabur karena takut dengan Satria yang mirip Genderuwo. Jadi, mulai koreksi dirimu dan segera bawa pulang menantu Papa segera!" pungkas Gavino seraya bangun dari duduknya dan meninggalkan Satria yang terdiam.
"Papa!" panggil Cynthia yang diabaikan oleh Gavino yang rupanya mengulum senyum.
"Semoga kamu sadar, Nak!" gumam Gavino sangat pelan dan tak didengar Satria.
Setelah kepergian Gavino, Cynthia melihat Satria yang hanya diam. Kepalanya tertunduk dengan tangan kiri memijat pelipis yang mendadak sakit. Cynthia bangun dari duduknya dan bergabung bersama Satria, lalu merangkul bahunya yang lebar.
"Maafkan kata-kata Papa, Nak. Kamu jangan sedih, ya," ucap Cynthia menghibur Satria yang nampak sedih.
"Satria tak sedih, Ma. Justru Satria sedang berpikir kebenaran kata-kata Papa. Sepertinya Carin kabur karena takut dengan Satria," ujarnya menatap Cynthia lembut.
"Kamu yakin?" timpal Cynthia.
"Dia melihat Satria dengan wajah ketakutan saat kami berada di kamar. Benar kata Papa, kalau Carin pasti takut melihat wajah Satria seperti Genderuwo. Impian wanita pasti memiliki suami tampan dan gagah. Sedangkan wajah Satria?" tuturnya panjang lebar dan setuju akan ucapan Gavino.
"Mirip Genderuwo," sambung Cynthia tanpa dosa.
"Hahaha … Papa kalau hina Satria suka jujur!" cicit Satria yang tertawa lebar.
"Jadi bagaimana selanjutnya. Mama cemas dengan Carin," kata Cynthia pelan.
"Satria janji akan bawa pulang menantu Mama secepatnya," jawab Satria yakin.
"Kalau kabur lagi?" timpal Cynthia.
"Satria buat jadi ayam peternak di kamar!"