Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 3 DUDA 2

"Den, Mamang pergi dulu, ya. Selamat atas pernikahannya dan selamat berwikwik ria. Semoga gawangnya bisa ditembus dalam sekali tendangan pinalti, ya, hehehe …," ucap Salim gamblang diiringi kekehen genit.

Satria menatap tajam dan hanya mampu menghela nafas berat. Ingin sekali dia menendang bokong Salim, tapi diurungkan karena dia lebih tua dan harus menghormatinya.

"Doakan saja semoga tak meleset, Mang!" sahut Satria memutar bola matanya malas.

Terdengar kekehan Salim kembali mendengar jawaban yang Satria berikan. Bukannya segera melajukan mobil, justru dia kembali berucap.

"Biar gak meleset, pakai senter, Den, supaya gawangnya kelihatan," kata Salim berkata dengan suara dipelankan dan membuat Satria melotot.

"Mending cepat pergi, deh, Mang, sebelum aku tendang beneran bokong montok Mamang itu!" sahut Satria yang sudah tak tahan akan ocehan Salim yang sudah melenceng ke mana-mana.

Dengan senyum masih terukir, Salim melajukan mobil perlahan meninggalkan Satria yang menatap kepergiannya, dan masuk ke rumah serta menutup pintu. Di dalam kamar, Carin tengah berdiri di dekat jendela. Dia menatap kepergian mobil yang dibawa Salim hingga keluar pintu gerbang yang ditutup kembali oleh penjaga keamanan. Dia menghela nafasnya panjang. Hatinya sedang cemas karena berada di villa bersama pria yang telah menjadi suaminya.

"Aku harus cari cara untuk kabur dari sini," ucap Carin pelan memperhatikan pintu gerbang di mana seorang satpam tengah duduk berjaga.

Di tengah pikirannya yang sedang mencari cara untuk kabur, tiba-tiba pintu dibuka oleh seseorang dan tentu bisa ditebak siapa orang yang datang. seketika jantung Carin berdebar kencang. Tangannya mulai dingin dan tak tahu harus berbuat apa. Di tengah kebingungannya, Satria melangkahkan kaki lebarnya dan berdiri menjulang di hadapannya kini yang terpaksa mendongak karena perbedaan tinggi badan mereka lumayan cukup jauh.

"Cantik juga dia," kata Satria dalam hati yang baru bisa melihat wajah Carin dengan jelas.

Carin menatap takut pada Satria yang memandangnya dengan sorot mata tajam. Tak ada keramahan di sana dan justru paras menakutkan yang Carin rasakan. Dia menelan salivanya berkali-kali karena rasa takut dan gugup yang menjadi satu. Kedua tangannya menggenggam sisi gaun pengantinnya dengan erat bersama setetes keringat yang jatuh di pelipisnya.

"Ya Allah, kenapa makin malam semakin menyeramkan wajahnya," oceh Carin memejamkan mata sesaat menahan jantungnya yang kian berdebar.

'Tap'

Terdengar selangkah Satria semakin dekat dengannya , hingga matanya terbuka, dan melotot menatap Satria yang memandangnya tak berkedip.

"Apa yang kaupikirkan, huh?" tanya Satria dengan suara baritonnya.

'Glekk'

Carin menelan salivanya kasar.Mata dia berkedip cepat menatap Satria yang sangat menyeramkan baginya. Kumis dan jenggotnya menjadi satu, bahkan bisa Carin kepang jenggotnya dan diikat dengan karet jepang jika dibolehkan.

"Ti-tidak a-ada!" sahut Carin terbatah.

Satria mengangguk dan menelisik tubuh Carin dari kepala hingga ujung kaki dan diulangi beberapa kali. Carin yang mendapat tatapan seperti itu merasa risih dan seolah ditelanjangi. Bersama dengan jantung yang kian memburu, Carin sudah bertekad untuk kabur ketika matanya mendapati pintu kamar yang tak ditutup oleh Satria. Namun, ketika tangan kanan Satria terangkat ingin menyentuh bahunya, tanpa aba-aba Carin menendang salak kembar milik Satria dengan kuat.

'Bugh'

"Akh!" teriak Satria sambil memegang area intimnya yang terasa sakit akibat tendangan Carin.

"Maafkan aku. Aku harus pergi!" ucap Carin sambil lari terbirit menuju pintu tak perduli pada Satria yang duduk di lantai mengaduh kesakitan.

"Salak … salak …," rintih Satria menyebut miliknya berulang-ulang. Matanya menatap pintu yang terbuka lebar di mana Carin telah hilang dari pandangannya.

"Akh … salakku!" rintih Satria menyentuh area antara kedua pangkal pahanya.

"Dasar istri durhaka. Awas kalau ketemu, akan kuperkosa siang malam sampai tak bisa jalan!" ancam Satria geram dan masih memegang asetnya yang terasa sangat sakit.

Merasa lebih baik, dia memberanikan diri melihat kondisi salak kembarnya guna memastikan terjadi cidera atau tidak. Matanya menyipit karena cemas, hingga terdengar helaan lega.

"Alhamdulillah tidak pecah," ucapnya lega.

Dia bangun dari duduknya di lantai dan bersusah payah menuju ranjang besar yang seharusnya menjadi saksi di mana dia melakukan ritual malam pertama bersama istrinya dan menjadi kenangan tak terlupakan. Mengingat kalimat itu, Satria berdecih.

"Tentu saja kenangan tak terlupakan. Aku tak akan lupa kalau aku memiliki istri durhaka dan berani-beraninya menendang salakku yang berharga," ucap Satria kesal diiringi ringisan karena sakit yang masih terasa.

"Tunggu saja pembalasanku. Akan kuberi pelajaran karena sudah berani main-main denganku. Akan kukejar sampai ke neraka sekali pun!" ancam Satria dan seketika langit bergemuruh diiringi kilatan dan disusul suara hujan yang mulai turun.

Di sisi lain, Carin dengan mudah melewati pintu gerbang karena penjaga di pos tengah ke toilet. Tanpa ragu, Carin keluar pagar dan lari secepat mungkin bersama gaun pengantin yang membalut tubuh kecilnya. Rambut panjangnya tergerai dengan kedua tangan mengangkat gaun itu agar tak terinjak. Sementara kakinya tak memakai alas. Nafasnya terengah dengan kecepatan lari yang mulai melambat dan berhenti untuk menghirup oksigen. Namun, tiba-tiba muncul sebuah mobil yang melaju cepat di jalan setelah melewati tikungan dan menabrak Carin seketika. Tubuhnya terpental beberapa meter dengan luka di kepala hingga tak sadarkan diri. Pengemudi yang menabrak Carin turun dari mobil dan terlihat panik diikuti seorang wanita yang ikut melihat sambil menutup mulutnya.

"Ya Allah, Pa. Kita nabrak orang!" kata wanita itu kaget.

"Papa pikir kuntilanak, Ma. Ya sudah, ayo kita bawa ke rumah sakit!" jawab pria itu sesaat hilang akal. Mereka membopong tubuh Carin masuk ke mobil dan menuju rumah sakit bersama hujan yang turun begitu lebat.

"Ngebut, Pa. Dia banyak mengeluarkan darah!" ucap wanita itu yang duduk di kursi belakang memangku Carin yang tak sadarkan diri.

"Iya, Ma. Papa sudah ngebut, tapi harus hati-hati karena hujan lebat atau kita bisa celaka," sahut pria yang sedang fokus mengemudi.

Sekitar 30 menit, akhirnya mereka tiba di rumah sakit terdekat. Carin langsung dibawa ke UGD, sedangkan kedua orang itu menunggu di ruang tunggu dengan perasaan cemas.

"Dok, bagaimana keadaannya?" tanya pria itu panik setelah melihat seorang dokter keluar dari ruangan.

"Luka di kepalanya sudah kami tangani serta lecet di beberapa bagian tubuh lainnya, dan akan dipindahkan ke ruang rawat. Ada pun efek benturan pada kepalanya belum bisa dipastikan dan menunggu pasien siuman," kata dokter itu cukup jelas.

"Terima kasih, Dok," ucap pria itu dan dokter pun berlalu meninggalkan raut sedikit kelegaan di wajah mereka.

"Setidaknya dia tidak meninggal," kata pria itu pelan.

"Papa benar."

Tak lama menunggu, Carin yang tak sadarkan diri dibawa ke ruang rawat yang sudah disediakan. Mereka membawanya ke ruang VIP dan di sanalah kedua orang yang menabrak Carin dengan jelas bisa melihat wajahnya.

"Pa, dia cantik,"ucap wanita itu parau dan menatap sendu suaminya.

"Iya. Dia seperti sedang tidur dan terlihat begitu tenang," timpalnya mengamati wajah Carin.

Keduanya bergeming. Tangan wanita itu bergerak meraih tangan Carin di mana jarum infus menancap di sana.

"Apa yang terjadi denganmu, Nak. Kamu memakai gaun pengantin, tapi ada di jalan saat tengah malam. Apa kamu kabur dari suamimu?" kata wanita itu menduga-duga.

Tak ada jawaban karena Carin tak mendengarnya. Pria itu menarik nafas panjang. Tak dapat dia pungkiri ada rasa cemas yang begitu dalam di hatinya karena telah melukai seorang gadis asing yang tengah terbaring di hadapannya kini. Namun, seketika juga kening dia berkerut melihat sesuatu yang membuat dia tertarik dengan Carin dan berujar pelan.

"Wajahnya mirip almarhum Ibu, ya?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel