BAB 2 DUDA 1
"SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA, CARINA EBRAHIM BINTI ALMARHUM EBRAHIM MALIK DENGAN MAS KAWIN SEPERANGKAT ALAT SHOLAT DIBAYAR TUNAI."
Sebuah untaian kata sakral yang berisi janji seorang pria di depan penghulu, wali nikah, dan saksi serta diridhoi Tuhan menggema begitu jelas di sebuah ruangan besar yang dihiasi dengan pernak-pernik pernikahan serta didominasi warna putih. Tak lama berselang setelah kalimat itu terucap, diikuti suara tegas yang membuat semua orang merasa kelegaan sejak beberapa saat lalu nampak tegang, terutama wajah seorang wanita dan pria baya yang duduk tak jauh dari kedua mempelai.
"SAH!"
Sebuah suara yang mengucapkan satu kata terdengar diikuti untaian doa pengantin cukup panjang dan diaminkan oleh semua yang hadir. Setelah doa selesai, wajah sang pengantin pria menoleh pada gadis yang duduk di sampingnya dan menunduk. Mendapati gadis yang telah dia nikahi tak menatapnya, pria itu menarik nafas berat dan berpaling pada dua orang tua yang tengah menatapnya tajam.
"Eh, pengantin perempuannya nunduk terus. Ayo cium tangan suaminya!" seru salah satu saksi yang melihat sang wanita enggan mengangkat wajahnya karena dianggap malu.
Dia nampak terhenyak dan mengangkat wajah sedikit diikuti tangan yang akhirnya meraih tangan kanan pria yang sudah resmi jadi suaminya kini. Dengan berat hati, dia mencium tanpa sedikit pun memandang wajah suaminya yang ikut bergeming menatap tingkah istrinya.
"Sipitkan mata, Carin. Jangan lihat mukanya. Cukup cium tangannya dan sudahi!" oceh Carin dalam hati dan bertahan agar tak bertemu pandang dengan suaminya.
Diciumnya punggung tangan kanan sang suami dengan pelan dan menyentuh sangat tipis kulitnya, tapi bagi semua yang melihat hal tersebut lebih dari cukup dan disambut senyum cerah oleh semua.
"Harusnya dicium, bukan ditiup!" kata hati sang suami yang merasa jika tak ada ciuman, kecuali tiupan halus yang menyapa tangannya dan benar adanya.
Matanya menyipit dengan kening berkerut melihat istrinya yang menunduk kembali. Merasa jengkel dengan tingkah Carin, dia memutar bola matanya malas dan kembali bertemu pandang dengan orang tua serta tangan kanannya yang sudah dianggap keluarga ikut hadir, Faro Gustiano.
Faro duduk dengan tenang dengan senyum manis terukir di wajahnya yang tampan. Tiba-tiba matanya berkedip sebelah dan membuat pria itu terhenyak serta ingin melempar sandal ke wajahnya yang membuka mulut karena mengatakan sesuatu.
"Selamat jadi suami, Bro!" ucap Faro tanpa suara.
Tak senang dengan kalimat itu, tangan pria itu mengepal dengan mata melotot dan siap menghajar Faro yang cekikikan. Ibunda pengantin pria yang melihatnya langsung melotot tajam, terlebih saat ini kedua pengantin tengah duduk bersimpuh di hadapan kedua orang tua untuk melakukan sungkem.
"Satria! Kamu mau sungkem ke orang tua atau minta tampol di depan para tamu, huh?" kata ibunda Satria yang tak lain adalah Cynthia dengan suara berbisik agar para tamu tak mendengarnya.
"I-iya, Ma. Maaf," sahut Satria mengalihkan pandangannya kini pada Cynthia.
Satria mencium tangan Papanya yang langsung mendoakan serta memberikan banyak nasihat baginya, Gavino Fernandez. Seorang pengusaha hotel berdarah Italia-Indonesia yang sudah berusia 58 tahun, tinggi 186 cm, memiliki netra mata berwarna hazel, dan dikenal pria setia.
"Semoga kamu bisa jadi suami yang baik bagi istrimu. Setialah pada pasanganmu dan semoga kamu merasa cukup atas dirinya," ucap Gavino lembut dengan tangan kiri mengelus kepala Satria.
"Iya, Pa."
"Jaga istrimu baik-baik. Jangan kasar, apalagi memukul dan segera kasih Mama dua cucu!" sambung Cynthia ketika Satria memohon doa restu padanya.
Hanya anggukkan yang bisa Satria lakukan jika berhadapan dengan Cynthia. Carin yang sudah resmi menjadi istrinya pun sungkem kepada kedua orang tua yang sudah menjadi mertuanya. Tak segan Cynthia memeluk Carin penuh sayang dan mengecup keningnya diiringi doa terbaik. Hal tersebut membuat Gavino tersenyum lebar karena bahagia mendapatkan menantu impiannya. Namun, berbeda dengan wajah Satria yang tertekuk serta masam seperti ketek tak pernah dicuci.
"Selamat, ya, Bro. Akhirnya lepas jadi bujang juga kau!" ucap Faro memberi selamat yang dibalas tatapan tajam.
"Diam kamu. Kalau bukan karena Mama, aku mana mau nikah, apalagi dengan wanita tak dikenal dan menunduk terus seolah lihat setan!" timpal Satria kesal.
"Dasar begok! Wajahmu memang kayak setan,seram dan kelam mirip hutan belantara. Yang ada cuma bulu di semua ruas wajahmu. Masih saja tak sadar kalau punya wajah seram kalahkan monyet!" hina Faro tajam dan sengaja untuk membuat Satria sadar dengan penampilannya.
'Plak'
Pukulan cukup keras melayang tepat di kepala Faro dan membuat beberapa orang yang melihatnya terhenyak. Hal itu tentu tak luput dari pandangan Cynthia. Sedangkan Carin tengah terisak di pelukan seorang wanita paruh baya dan tak lain orang yang sudah mengasuhnya di panti asuhan selama ini.
"Kamu harus patuh pada suami, Nak," kata pengasuh itu yang biasa dipanggil, Mamak Sri atau Makek seperti kebiasaan Carin.
"Iya, Makek," jawab Carin pelan.
Wajah Carin penuh air mata. Dia tak banyak bicara dan dikenal sebagai gadis pendiam di panti. Carin juga dikenal sebagai gadis yang rajin dan tak segan membantu. Bahkan, dia bekerja sebagai kuli cuci di sekitar panti yang kemudian uangnya akan diserahkan pada Makek di sela waktu liburnya yang bekerja sebagai penjaga toko sembako di pasar milik tetangga.
Pesta digelar cukup meriah, meskipun Cynthia hanya mengundang kerabat dekat dan anak panti yang hadir tak lebih 200 orang. Keluarga Fernandez memang tak suka bermewah-mewahan dalam hal mengadakan pesta, meskipun keluarga kaya, tapi suka hal sederhana dan tetap khidmat.
Tiga jam sudah berlalu. Semua tamu undangan telah undur diri, termasuk anak-anak panti yang diantar pulang menggunakan bus menuju sebuah villa milik keluarga Fernandez sebagai hiburan bagi mereka setelah menghadiri pesta dan akan menginap di sana selama tiga hari, termasuk Makek yang ikut di antaranya. Sedangkan pasangan pengantin menuju villa lainnya yang akan dihuni oleh mereka berdua saja sebagai malam di mana akan mereka habiskan untuk melakukan malam pertama seperti pasangan pengantin lainnya. Carin dan Satria menuju villa tersebut diantar seorang sopir bernama Salim yang tak lain adalah sopir keluarga Fernandez dan telah bekerja selama hampir 30 tahun dan mengabdi pada keluarga itu. Sepanjang jalan, hanya ada keheningan dan Carin masih menunduk sambil sesekali memandang ke luar jendela mobil. Hal serupa juga berlaku bagi Satria yang masa bodo dengannya dan sesekali melirik serta berdecih. Salim yang melihatnya hanya menghela nafas lelah dan merasa aneh, tapi tak ada niat untuk bertanya karena sudah tahu jika pernikahan terjadi karena sebuah perjodohan yang diatur majikannya.
"Apa jadinya kalau pengantin kayak musuh?" gumam hati Salim yang bingung melihat keadaan mereka.
"Ya Allah, salah apa sampai aku harus dinikahi oleh pria macam lutung seperti itu. Padahal aku kalau sapu lantai sampai bersih dan licin. Kenapa dapat suami penuh bulu? Haish …," gerutu Carin sedih dalam hati sambil melirik sedikit pada Satria yang duduk tegap dan menatap tajam ke depan.
"Kalau bukan demi Mama, aku gak akan mau nikah dengan dia. Lihat aku macam lihat lutung saja!"