BAB 7
Dengan cepat Luna langsung meremas rahang gadis itu. Mulut Karmila mencucu membentuk huruf O. Kedua mata gadis itu melotot bersamaan dengan wajahnya yang memerah. Semua terjadi begitu sangat cepat hingga Karmila seperti kehilangan akal.
"Jangan terus pancing kemarahanku. Aku sedang bersusah payah meredam iblis dalam diriku. Suamiku saat ini berjuang hidup, peliharaan kesayanganku sedang sekarat dan anakku tidak kuketahui di mana keberadaannya. Aku masih berdiri sangat tegak seperti ini adalah sebuah keajaiban. Kau kuhormati sebagai sahabat suamiku. Jadi jangan gerakkan bibirmu lagi padaku atau kupatahkan lehermu!"
Luna menghempaskan wajah Karmila dengan kasar. Karmila berusaha berdiri tegak.
"Kau begitu jumawa. Sadarlah Nyonya Angel yang terhormat. Kau memang membawa kesialan bagi orang yang di dekatmu. Dulu sebelum kau hadir, kehidupanku dan Yudha begitu harmonis dan damai. Tak hanya itu. Kau juga menghancurkan harapan dan mimpi orang lain. Kau wanita pembawa sial!" berang Karmila meradanv seolah menantang.
Luna semakin tak sanggup menahan dirinya. Ia mencekik leher Karmila dengan keras. Gadis itu memberontak mencoba memegang tangan Luna agar melepaskannya. Namun Luna justru semakin garang. Ia menarik kedua tangan Karmila lalu memelintirnya ke belakang.
"Hentikan!!!" teriak seseorang yang sedang mendekat. Luna melirik. Tampak mertuanya dan Ratna sedang mendekat.
"Ini adalah peringatan pertama dan terakhir. Jangan sampai kamu kembali membuatku murka. Aku bisa melupakan siapa kamu di kehidupan suamiku."
Dengan cepat Luna menghempas kasar tubuh Karmila hingga wanita itu tersungkur di lantai. Karmila merasakan rahang dan lehernya terasa sangat sakit. Ia sekarang tahu, kekuatan Luna begitu besar membuat mulutnya terasa pegal sekali. Perlahan Karmila berusaha kembali tegak dengan meringis menahan sakit.
"Ada apa ini?!" teriak Ratih menatap berang.
"Dia sudah lancang!" seru Luna membuang wajahnya.
"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya! Semenjak dia hadir dalam kehidupan Yudha, banyak bencana yang terjadi!" teriak Karmila masih memegang pipinya. Air matanya deras berderai meski tak ada suara tangisan dari mulut gadis montok itu.
Ratih meraih pundak Karmila. Mengelus wajah gadis itu. Ratih memberikan tatapan kasihan padanya seolah ia begitu simpati pada Karmila.
"Kenapa kau berani sekali melawannya sayang? Dia tak bisa kita lawan. Kita hanya kaum lemah yang tak boleh berargumen," sindir Ratih.
"Jangan memercikkan api, Ma," tegur Ratna pada ibunya.
"Biarkan saja Ratna. Biar kita terbakar bersama-sama lagi sampai menjadi abu," timpal Luna dingin.
Aleksei yang sedari tadi hanya berdiri menyender melihat adegan di depannya, kini berdiri tegak. Ia melihat ke arah istrinya.
"Sayang, aku titip Yudha. Sahabatnya yang merasa paling berjasa ini yang akan mendonorkan darah. Aku dan Angel harus pergi. Kabari aku perkembangannya," ujar Aleksei datar.
"Mau kemana Mas?" tanya Ratna dengan tatapan tak enak. Istri mana yang tak cemburu, suaminya bersama dengan cinta pertamanya.
"Aku akan memeriksa CCTV rumah Yudha. Semoga ada petunjuk."
Ratih mendelik pada Luna. Rasa bencinya benar-benar tak mampu dia sembunyikan.
"Lapor saja polisi!" seru Ratih.
"Itu bukan pilihan terbaik untuk kami," jawab Aleksei.
"Kalau begitu, terserah kalian mau pakai cara apa. Farid cucuku harus kembali hidup-hidup! Kenapa semua bencana di keluarga ini tak pernah berakhir?!!" pekik Ratih histeris.
Luna mendekati ibu mertuanya. Wajah mereka saling berhadapan.
"Jangan buat aku murka, Mama mertua. Jangan merasa paling tersakiti di sini. Jangan. Di depanmu ini adalah istri dari laki-laki yang berbaring lemah itu. Yang kau lihat sekarang adalah ibu dari anak yang hilang itu. Peliharaanku juga sedang sekarat. Jadi berhentilah bersikap di luar batasanmu padaku. Atau perjanjian antara aku dan anakmu akan kuanggap hancur bersamaan dengan nyawamu. Aku sudah sangat muak."
Luna membalikkan badannya. Tangannya meremas. Hatinya penuh dengan perasaan marah, was-was dan kesedihan yang amat dalam. Bayang-bayang wajah Farid hampir-hampir membuatnya tak bisa bernafas.
"Aku sedang tidak memiliki jiwa sekarang. Di sini ada roh iblis yang siap menghancurkan siapapun yang mengusikku. Jangan karena perjanjian itu kau merasa bebas, tidak Mama mertua. Aku Diandra Safaluna, tidak terikat apapun!"
Luna langsung berlari kencang lalu diikuti oleh Aleksei. Ratih menatap kepergian kedua menantunya dengan tatapan kebencian.
"Kalian adalah hewan hutan yang datang mengganggu kejayaanku! Pergilah sampai ke neraka," desis Ratih hampir tak terdengar.
Ratna yang tak jauh berdiri dari ibunya mengusap ujung matanya. Cemburu dan cemburu. Sebuah rasa yang tak pernah berhenti menggerogoti hati Ratna meskipun suaminya selalu meyakinkan bahwa dia dan Luna bagai 2 sisi keping logam yang tak bisa terpisahkah meski tidak bersatu. Bukan tenang justru ia merasa perumpaan suaminya itu semakin menusuk hatinya.
"Aku akan bertahan sekuatku, Mas. Sekuatku," bisik Ratna manatap atas, jangan sampai air matanya jatuh.
"Jangan kamu buang emosimu sia-sia! Tenanglah Angel. Kamu harus kokohkan jiwamu."
"Mereka keterlaluan. Bagaimana aku biarkan ada yang menginjak-injak harga diriku. Tak akan Aleksei. Aku tak memiliki celah untuk itu."
Aleksei hanya terus mengembuskan nafasnya mencoba memahami ucapan Luna. Mendebat wanita itu sama saja mencari perkara. Gegas ia mematikan mesin mobil dan turun.
"Semoga cctv bisa memberikan kita jawaban," ujar Aleksei melangkah cepat. Luna tak kalah gesitnya. Keduanya sama-sama menunjukkan sorot mata yang sangat tajam.
Aleksei menatap layar laptop dan berusaha memunculkan rekaman cctv rumah Yudha.
Alisnya mengkerut namun ia terus bwrjibaku dengan berbagai tombol. Suara jentikan tangan kekarnya yang menyapu keyboard itu menjadi musik pemberi harapan bagi Luna. Sebentar lagi, ia akan mengetahui siapa yang membuat kerusakan di istananya.
Sembari menunggu Aleksei, wanita itu berusaha sekuat tenaga duduk dengan hembusan nafas yang teratur. Matanya terus berputar lalu mengatup lunglai. Aroma minyak telon Farid masih memenuhi rumah itu. Hati Luna seperti dihujam berkali-kali oleh ribuan belati. Ibu mana yang sanggup kehilangan anak?
"Sial! Bagaimana bisa?!!" seru Aleksei memecahkan keheningan rumah mewah itu.
Luna membuka matanya dengan cepat. Wanita bercadar itu melompat mendekati Aleksei. Raut wajah Aleksei membuat rasa was-was menyusup begitu cepat.
"Apa yang terjadi!?"
"Apa cctvmu rusak? Sama sekali rekamannya tak terlihat, Angel."
"Itu tak mungkin! Alat itu baru-baru ini dipasang untuk memantau Farid jika aku tak ada di rumah!"
Luna menongak CCTV yang terpasang di pojok dinding ruangan itu, tampak masih kokoh. Wanita itu langsung berlari ke arah dapur, mendongak. Tampak CCTV itu masih terlihat utuh. Ia kekuar melihat cctv di taman rumahnya. Sama. Tak ada tanda-tanda lecet.
"Aku harus memeriksanya langsung!" seru Luna kembali ke dalam.
"Biar aku saja!" sergah Aleksei. Laki-laki itu mengambil tangga di halaman samping. Ia melepaskan dan memeriksa dengan cermat ketiga cctv itu.
"Semua alat ini masih normal Angel. Tapi hasil rekamannya rusak. Itu artinya ...."
Aleksei berlari mendekati laptop milik Luna. Dengan cepat tangannya bergrilya lalu mengeluarkan sebuah hardisk dari ranselnya. Kedua mata Aleksei tak berkedip. Layar yang dipenuhi garis-garis pelangi tiba-tiba berkelap-kelip. Aleksei semakin cepat memainkan jemarinya bersamaan dengan jantungnya yang semakin cepat berdetak. Belum selesai laki-laki mengembuskan nafasnya setelah menarik udara dengan kuat, layar laptop tiba-tiba menjadi gelap. Aleksei terhenyak sejenak.
"Apa kamu tahu, siapa hacker terbaik selain aku?" tanya Aleksei dingin.
Luna menggeleng pelan.
"Mexzo, hacker hitam yang ditakuti oleh lawan dan disegani oleh kawan."