BAB 5
"Ben! Offkan jaringanku!" seru Aleksei pada kawannya yang bernama Beni.
"Kenapa? Sedikit lagi kita selesai. Kalau jaringanmu terputus, kita bisa ulang lagi dari awal," timpal Beni dengan wajah masam.
"Lakukan atau kuhancurkan data utama beserta kepalamu sekaligus!" teriak Aleksei menyambungkan ponselnya di komputer.
"Kamu selalu gila," gerutu Beni mengotak atik atik tombol komputer. Ia sama sekali tak punya pilihan.
Dengan mata menyala, Aleksei melacak keberadaan Luna. Tanda merah yang terus bergerak itu sedikit membuatnya tenang.
"Pindai kode mobil ini dan Aktifkan CCTV sekarang!" perintah Aleksei bersamaan dengan tangannya bergrilya cepat.
Beni dan sembilan kawannya tak punya pilihan. Kedua pasang tangan mereka bekerja bagai kilat, menerobos data rahasia dan membobol sistem keamanan lalu lintas.
"Aku harus memastikan wanita itu selamat sampai rumah," lirih Aleksei pelan hampir tak terdengar.
"Kau sangat mengkhawatirkan suamimu Angel dan aku sangat mengkhawatirkanmu sampai ke dalam sum-sum tulangku. Aaah memang gila," gumamnya sendirian menatap titik merah yang melaju sangat cepat.
"Boss!! CCTV seluruh kota mati dan sekarang sedang diperbaiki. Muncul layar hitam putih seperti kerumunan semut. Ini sudah berlangsung selama dua jam!" seru salah satu anggota Aleksei yang bertugas mengirim data CCTV.
Aleksei bangkit dengan cepat. Dadanya bertalu-talu. Cctv jalan raya kota mati serentak?
"Bagaimana bisa?!" tanya Aleksei terkejut.
"Sepertinya ada yang sengaja matikan!"
"Sesuatu yang sangat buruk pasti telah terjadi," desis Aleksei meraih ransel dan kunci motornya.
"Kamu mau kemana?! Bagaimana ini?!" teriak Beni kebingungan.
"Tutup layarku dan kembalilah bekerja. Aku akan segera kembali!"
Beni dan kesembilan temannya hanya bisa melongo melihat ketua mereka pergi meninggalkan pekerjaan genting. Namun satu yang mereka tahu, tidak ada yang jauh lebih penting daripada perempuan yang menjadi cinta pertamanya, Angel Gracelia. Berani melawan, siap untuk hancur.
"Semuanya! Lanjutkan! Lelaki itu memang sudah tak waras!" seru Beni sebagai tangan ke-dua Aleksei.
Kesepuluh pemuda itu kembali berjibaku dengan layar berisi algoritma dan huruf-huruf yang hanya mereka yang tahu. Sedangkan Aleksei langsung melompati meja yang menghalanginya dan melesat berlari. Suara kendaraannya memecahkan keheningan parkiran apartemen mewah itu, menembus dengan kecepatan seperti kilat.
'Jangan sampai ada bencana lagi, Tuhan ...,' bisik hati Aleksei.
Di sisi lain, Luna melajukan mobilnya dengan sangat kencang. Diabaikannya beberapa klakson yang sedari tadi tertuju padanya. Penuh isi kepala Luna dengan segala kemungkinan buruk. Namun ia berusaha menetralisir pikirannya dengan meracau sendiri.
"Ya Allah, pasti Mas Yudha sedang tertidur. Mas Yudha lagi nonton. Mas Yudha lagi makan."
Luna terus membuat kalimat yang meyakinkan dirinya kalau suaminya baik-baik saja.
"Sinyal lagi buruk. Hpnya kejebur air pas cuci piring. Mas Yudha lagi kasih Babon makan siang. Dia mungkin sekarang baru sampai kantor. Awas saja kalau dia pulang larut. Pasti dia meninggalkan rumah dalam kondisi berantakan!" lanjut Luna meracau.
Krrrreeettt!!!
Luna memarkir mobilnya lalu melompat keluar. Pintu rumahnya nampak terbuka.
"Apa ada tamu?" lirihnya dengan perasaan semakin was-was.
Sejurus Luna melihat tanah di depannya. Banyak tapak kaki besar dan dalam. Seketika aliran darahnya berdesir panas. Luna berlari. Seperti ribuan kilatan petir menyambar tubuhnya dalam bersamaan, Luna berdiri mematung.
"Mas Yudhaaaaaaaaa!!!!" teriaknya berlari menghambur memeluk suaminya.
Yudha tak sadarkan diri. Luna mengguncang-guncangkan tubuh suaminya keras namun Yudha tetap bergeming. Darah dari mulutnya masih basah dan mengental. Luna meraung dan mengusap wajah suaminya dengan hijabnya yang lebar.
"Mas!!! Ya Allah!!! Maas!!! Kamu kenapa Mas?!"
Berkali-kali Luna mencoba mengguncang tubuh suaminya namun nihil. Dengan cepat, Luna mengangkat ujung hijabnya lalu mengusap darah yang menutupi wajah suaminya. Wanita itu semakin pias dan hampir kehilangan keseimbanganya.
"Ayo kita ke rumah sakit sekarang Mas!"
Luna menelusupkan kedua tangannya di bawah punggung suaminya, berniat mengangkat tubuh itu huh. Namun sebelum ia mengerahkan tenaganya, pikirkan langsungnya terhenti. Farid. Farid anaknya dimana?
Refleks Luna meletakkan suaminya yang tidak sadarkan diri.
"Mas, tunggu aku sebentar. Tunggu Mas."
Luna berlari memeriksa box ayunan. Kosong. Tak peduli kakinya tersandung meja kayu, Luna melompat menuju kamarnya bersama suaminya. Legang. Luna semakin memucat. Dilepaskannya cadar yang menutupi wajah cantiknya yang memucat ketakutan.
"Farid!!! Fariiiid!!!" teriaknya membuka kamar pribadinya.
Hening. Luna frutasi berteriak memanggil nama anaknya. Bahkan ia menghamburkan selimut yang tertumpuk. Luna menggila. Ia bahkan mencari anaknya di bawah kolong kasur.
"Ya Allah mana anakku?!! Fariiiid!!!"
Luna merasakan dunianya berputar dan tak memiliki udara. Nafasnya tersendat. Wanita itu berputar lagi. Mana? Mana anaknya?! Tiba-tiba ia kembali mengingat salah satu penghuni kediamannya. King kobranya.
"Babon. Babon bagaimana?"
Luna berlari kembali, tak peduli gamisnya melebar dan menyambar guci mahal yang barusan ia beli. Beberapa pernak pernik yang tertata rapi bersamaan jatuh tak terelakkan. Luna lari sekencang-kencangnya menuju lorong halaman samping tempat kandang Babon . Suara gemerincing dan pecahan benda-benda bersahutan menambah ketegangan setiap telinga yang mendengar.
"Babon!!!! Babon ya Allah!!! Babon!!!"
Luna berteriak histeris mengangkat tubuh lemah ular peliharaannya. Berkali-kali ia pun mengguncang dan memeluk hewan melata itu. Sedikit ekor Babon masih meliuk yang membuat Luna membelalak. Ia mengusap air matanya agar penglihatannya kembali terang.
"Babon, bertahanlah!"
Luna berlari ke dalam membawa Babon yang sangat lemah. Suara sisik ekor ular itu pun terdengar bergemerisik menjuntai melewati lantai marmer mahal itu. Diletakkannya tubuh ular itu berdekatan dengan Yudha. Luna luruh seperti tak bertenaga. Pemandangan mengerikan di depannya, anaknya yang tak ada membuatnya terasa sesak nafas. Luna memegang dadanya mencoba mencari udara yang terasa sangatlah langka.
"Aleksei, Aleksei!"
Luna merayap menggunakan bokongnya meraih tas yang tak jauh dari suaminya. Sudah habis tenaganya. Ini sangat sulit sekali. Gemetar tangan wanita itu merogoh ponsel lalu mencari nomor Aleksei.
Tuuuut ... tuuuut ....
Ponsel itu jatuh. Tangannya tak cukup kuat untuk mengangkat benda itu. Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Ia mencoba kembali memungut gawainya. Kali ini ia berusaha lebih keras. Panggilannya terdengar berdering bersamaan dengan tangannya yang terkulai kembali.
"Aleksei ...," desisnya memegang jantungnya yang terasa sudah tak di tempatnya lagi. Ia berusaha keras mengatur nafasnya.
"Aku di sini Angel."
Suara dingin itu. Luna menengadah. Seketika air matanya kembali luruh disusul suara ponsel yang kembali jatuh terdengar. Aleksei mematikan panggilan yang masuk di hapenya.
"Mmaaas Yudhaaa ... Baaabon ... Farid ...," lirih Luna terbata-bata.
Aleksei mengangkat tubuh Luna yang sudah lema.
"Kau sudah melewati banyak kesedihan. Sekarang tegakkan badanmu. Kita ke rumah sakit sekarang."
Aleksei berlari meraih kunci mobil Yudha yang terbiasa tergantung di tiang dekat dispenser. Kebersamaan mereka yang sudah lama, membuat Aleksei begitu dekat dengan rumah itu.
"Jangan lupakan jati dirimu, Angel! Kau bukan wanita lemah. Otakmu bekerja di atas perasaanmu!" seru Aleksei kembali menegakkan tubuh Luna.
Mereka berdua berdiri berhadapan. Kedua bola mata Luna seolah akan terkatup, kehilangan kesadaran. Aleksei meraih kain hijab Luna lalu mengusap air mata wanita. Sejak Luna hijrah, seincipun kulit Luna tak pernah berani dia sentuh.
"Hapus air mata ini dan berpikirlah logis. Setelah ini, kita akan memecahkan kepala bandit yang telah melakukan ini semua! Kita akan berperang kembali Angel! Persiapkan dirimu!"