Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4

"Hahaha. Jadi kau berteman dengan pria berotak komputer itu!? Sepertinya aku harus berhati-hati," ujar Razzor.

"Be-berikan ponsel itu!" seru Yudha mencoba meraih gawai yang di tangan Razzor.

Laki-laki bertopeng srigala itu menjulurkan tangannya. Yudha yang masih berada di bawah kakinya berusaha sekuat tenaga meraih gawai itu. Sekali lagi suara deringan ponsel terdengar.

"Tolong! Alekseeei! Tolong!!!" teriak Yudha memberontak tak peduli tubuhnya tersayat-sayat besi tembaga di kaki penjahat itu.

"Hahahaha! Ini lucu sekali!" ejek Razzor memperlihatkan layar ponsel itu. Benar. Nama Aleksei di sana. Yudha semakin tak terkendali.

Buuum!!!

Kaki Razzor menutup kasar mulut Yudha hingga membeliak kedua bola mata Yudha menahan sakit dan perih. Kedua tangan Yudha mencoba mengangkat kaki monster itu. Namun pijakan itu terlalu kokoh seperti memaku mulut Yudha. Rasa perih menjalar begitu cepat memenuhi wajah Yudha. Laki-laki itu semakin kesulitan untuk bernafas.

Razzor menekan tombol hijau. Pandangan monster itu mengejek Yudha yang begitu lemah di bawah kakinya.

"Hallo Yudha! Kau pulang kantor jam berapa? Aku mau ke sana makan malam. Adikmu sedang PMS, pusing kepalaku menghadapinya. Hallo! Hallo! Yudha?!" Suara Aleksei membuat Yudha semakin meronta-ronta. Dengan keras Yudha menghentak-hentakkan kakinya di lantai berharap Aleksei peka.

"Hallo! Apa kurang sinyal ya di sana?" tanya Aleksei.

"Hallo Yudha?! Apa kau bisa mendengarku?" lanjut Aleksei.

Razzor menyeringai.

Braaaak!!!

Ponsel itu melayang dan hancur menghantam dinding dapur. Benda itu tercerai-berai, berantakan tak beraturan. Sejenak Yudha merasakan sunyi sekali. Ia seperti kehilangan harapannya.

"Cukup hari ini kita bermain-main."

"Papa! Papa!!!"

Lagi-lagi Farid memanggil ayahnya. Kali ini suara balita itu sudah serak dan hampir tak terdengar ucapannya. Hati Yudha semakin sakit. Rasanya ia sedang menanggung beban kesusahan yang teramat dahsyat.

"Le-lepaskan aa-anakku! Tolong!"

Buuuum!!!

"Aaaaaakkkhhh!!!" teriak Yudha sekuat tenaga merasakan kesakitan teramat sangat di sekujur tubuhnya. Seperti seluruh tulangnya dipatahkan secara bersamaan.

Rupanya kaki besar Razzor lagi-lagi menghantam dada Yudha lalu pergi meninggalkan tubuh yang sudah lemah itu tanpa belas kasihan. Darah mengalir begitu deras dari mulut Yudha bersamaan dengan kesadarannya yang menguap. Hening. Berdenging dan ...

Gelap.

Kletaaak!

Suara polpen hitam berlapis tembaga putih di tangan Luna jatuh begitu saja. Ia sedang menandatangani sebuah perjanjian kerjasama.

"Astaghfirullah," lirihnya.

Tiba-tiba jantungnya berdentam-dentam begitu saja tanpa sebab. Luna memegang dadanya. Ia mengernyitkan dahi keheranan. Dalam hatinya ia berpikir, mungkin tekanan darahnya sedang naik. Jadi mudah tiba-tiba gugup begitu.

"Tak apa-apa Nyonya," ujar rekan kerjanya.

Jono yang di belakangnya maju berniat memungut polpen itu. Luna mengangkat tangannya sedikit, memberi isyarat agar Jono diam saja. Bodyguard itu mengangguk dan melangkah mundur. Di samping, adiknya Jene juga bersiap untuk terus melindungi Nyonyanya. Sudah tugas mereka kalau Luna bertemu klien dari negara asing, mereka selalu menemani. Untuk mengisi hari, Jono dan Jene bekerja di kantor Yudha bagian observasi lapangan. Merekalah yang memantau tanaman rempah-rempah di kebun Yudha.

Setelah selesai, Luna mengangkat sedikit kain penutup pergelangan tangannya.

"Sudah mau jam 1 siang. Aku sholat dzuhur di rumah atau di kantor saja ya?" gumamnya sendirian.

"Di kantor saja Nyonya. Biasanya nanti Nyonya suka ngebut kalau belum sholat," ujar Jene menimpali. Luna tersenyum.

"Oke deh. Kalian habis ini mau ngapain? Tadi WA bilang ada mau dibicarakan. Apa?"

"Anu Nyonya ... anu," Jene gagap. Tiba-tiba wajahnya merona.

"Jene mau lamar anak gadisnya Pak Somad, OB di kantornya Bapak, Nyonya!" seru Jono sumringah.

Kedua bola mata Luna menyipit menandakan ia sedang tersenyum lebar.

"Jadi kamu mau langkahin kakakmu?"

"Kaa-kaaalau diterima, Nyonya. Saya tak punya apa-apa. Syukur-syukur ada yang mau," jawab Jene.

"Loh, kan selama ini kalian hanya mau mengambil gaji untuk biaya makan saja. Pastilah sudah banyak. Sekedar untuk biaya pernikahan itu lebih dari cukup. Kalau kurang, nanti kita gesek kartu hitamnya Bapak," kekeh Luna yang membuat Jene semakin berbinar-binar.

"Doakan semoga diterima, Nya," lanjut Jene masih menunduk.

Luna mendekati Jene dengan langkah santai. Meskipun tertutup cadar dan pakaian lebar, aura dalam diri wanita itu memancar kuat. Tak heran, kawan bisnisnya selalu merasa sungkan.

"Kalian adalah tanggung jawabku. Jadi, aku yang akan ke sana menemanimu melamar calon istrimu. Kira-kira siapa yang berani menolak?" bisik Luna.

Jene mengangguk berkali-kali dengan mata berkaca-kaca. Kebahagiaan berkumpul di dada, merasakan kehangatan sikap tuannya. Sedangkan Jono mengusap bulir bening yang menutupi bola matanya. Kedua saudara itu tersenyum lebar menatap tuannya berjalan meninggalkan mereka.

"Kelak, biarkan anak keturunan kita tetap melanjutkan pengabdian kita Jen. Nyonya Angel adalah ibu kita dan akan selamanya menjadi tuan kita," ujar Jono yang dianggukan oleh adiknya.

Luna hanya menenuaikan sholat dzhur empat rekaat saja. Biasanya ia selalu mengiringinya dengan empat rakaat sebelum Dzuhur dan dua rekaat setelah Dzuhur. Namun kali ini entah mengapa hatinya tak tenang.

"Kenapa sih kok bayang-bayang wajah Mas Yudha sama Farid aja dari tadi?" lirihnya memperbaiki hijabnya.

"Apa aku telpon saja ya? Tapi sekarang biasanya Farid lagi tidur siang. Nanti malah bikin dia bangun," lanjutnya menggumam.

Tak tahan dengan perasaannya, Luna mengeluarkan ponselnya. Dua kali panggilan ke nomor suaminya tak tersambung.

"Apa Mas Yudha sudah di kantor ya? Kok tumben hapenya mati?"

Segera Luna menelpon Karmila. Kepala brand manager perusahaan suaminya itu mengatakan bahwa Yudha belum sampai kantor. Luna mengernyitkan dahi.

"Aku telpon Ratna ajalah, mungkin Mas Yudha lagi antar Farid."

Semakin bingung, Luna mendapati informasi dari Ratna bahwa suaminya belum sampai rumahnya.

"Aneh Mas Yudha ini. Apa dia ketiduran ya? Biasanya juga hapenya tetap nyala."

Luna memakai sepatu pantofelnya dan segera melangkah menuju parkiran. Tiba-tiba ponselnya berdering. Segera ia merogoh tasnya, mungkin suaminya yang menelpon balik pikirnya.

"Eeih. The Moriz," lirih Luna menatap layar.

"Hallo! Angel?! Kau masak apa nanti malam?" suara Aleksei melengking dari seberang.

"Apa pentingnya kau menanyakan urusan dapurku. Jangan bilang kau akan datang nanti malam. Sudah berkali-kali kuperingatkan. Jadwal berkunjung hanya di malam Minggu! Kamu akan selalu berhasil membuat Mas Yudha begadang sampai tengah malam dan terlambat sholat subuh. Kau membawa dampak buruk!" omel Luna sambil membuka mobilnya.

"Hahaha. Apaan sih?! Buatkan aku ayam panggang seperti biasa lengkap dengan jus apel kesukaanku. Kau tahu, adik iparmu membuatku sakit kepala. Apa wanita setiap menstruasi selalu berubah jadi monster?!" seru Aleksei yang membuat Luna tersenyum.

"Ya sudah. Aku baru pulang dari kantor dan sekarang akan menyetir. Aku tutup."

"Nanti malam jam 8 aku ke sana. Masih ada proyek pengujian pembobolan sistem keamanan sebuah perusahaan. Sedikit lagi selesai. Syukur sinyal bagus sekarang. Tadi aku telpon Yudha tak terdengar suara hanya angin saja. Oke see you!" cerocos Aleksei seperti akan menutup panggilan.

Luna terkesiap.

"Tunggu Aleksei! Kapan kau menelpon Mas Yudha?"

"Baru saja," ujar Aleksei.

"Baru kapan?!"

"Yaaa ... ada sepuluh menit lalu. Karena tak terdengar suara apa-apa, ya aku hubungi kamu!"

"Barusan aku menghubunginya tapi tak terhubung."

Suara Luna mulai berat. Aleksei terdiam.

"Aku pulang sekarang Aleksei!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel