Antara musuh dan teman
Karina-- WhatsApp
[Foto]
[Tiara, aku turut prihatin atas kejadian kemarin, aku tahu ini semua karena aku dan aku sungguh minta maaf. Aku yakin kamu pasti mendapatkan lelaki yang lebih baik. Itu hasil foto USG calon bayiku, aku tidak bermaksud pamer hanya saja ... aku ingin berbagi kebahagiaan denganmu.]
"Berbagi kebahagiaan? Setelah menggagalkan pernikahanku." Tiara langsung menutup pesan WhatsApp dari Karina, wanita yang baru saja merebut kekasihnya dan menggagalkan pernikahannya.
"Wanita tidak tahu malu. Pamer foto USG ... dia sudah gila."
"Siapa yang gila?" tanya Siska yang tiba-tiba muncul.
Tiara hanya diam saja tidak menghiraukan wanita itu yang membawakannya segelas susu dan salad buah yang disimpannya di atas meja. Tiara melirik hidangan itu dengan sinis.
"Apa ini?" tanyanya demikian.
"Susu dan salad buah," jawab Siska dengan senyum ramahnya.
"Aku tahu ini susu, maksudku kenapa kau memberikan ini? Apa aku anak SD yang harus meminum susu sebelum tidur?" Nada bicara Tiara sangat tinggi terlihat kesal yang sedang menahan amarah.
"Bukan begitu. Kau pergi lama hari ini, kau membuat aku cemas. Aku, Leo, dan Farel kami semua mencarimu. Aku tahu kamu melewati masa sulit aku takut kamu depresi hatimu sangat terguncang. Jadi ku berikan kau susu sebagai nutrisi kalsiummu dan salad buah biar pikiranmu tenang. Fisik dan pikiranmu harus tetap kuat," ujar Siska panjang lebar. "Makanlah!" titahnya membujuk Tiara agar segera memakannya.
"Sebenarnya aku tidak lapar, tapi apa yang kau katakan benar aku harus kuat," ungkap Tiara yang langsung menyantap salad buahnya.
Siska tersenyum, lalu melirik ponsel Tiara dan mengambilnya karena penasaran siapa yang Tiara bilang gila. Matanya terbelalak seketika, mulutnya menganga dengan lebar pesan whatsapp yang Karina kirimkan membuatnya syok.
"Kembalikan! ini privasiku," ucap Tiara saat mengambil paksa ponselnya.
"Apa wanita itu sudah gila? Untuk apa dia mengirimkan hasil USG-Nya. Dia sengaja ingin membuatmu cemburu, kan? Tiara kenapa kau hanya diam saja kau tidak membalasnya."
"Kenapa kau yang emosi?" tanya Tiara santai.
"A-Aku ... tapi itu sangat menyebalkan."
"Pergilah!" usir Tiara. "Pergilah! Aku ingin sendiri!" tegas Tiara.
Siska keluar dari kamar dengan tatapan sedih, Tiara sangat menyedihkan dan mencemaskannya. Namun, Tiara tidak butuh seseorang untuk cerita, Tiara terlihat baik-baik saja tapi tidak jika sedang sendiri. Gadis itu akan menumpahkan air matanya sebanyak mungkin, mulutnya berkata baik-baik saja tapi tidak dengan hatinya. Belum lagi saat ini tidak ada seorang pun yang berada di sampingnya, Tiara butuh seseorang yang mendukungnya, menyemangatinya, memeluknya, dan mendengar cerita sedihnya.
"Mama ... Tiara rindu Mama."
Ya, yang Tiara butuhkan saat ini adalah seorang wanita hebat, yang menyayanginya dengan tulus, yang selalu ada untuknya saat senang atau sedih. Mama, Tiara butuh Mama tapi wanita hebat itu sudah pergi jauh meninggalkannya ke surga.
"Sirsak," panggil Leo pada Siska yang turun dari kamar Tiara dengan wajah sedih. Kali ini gadis itu tidak marah dengan panggiln Leo, Siska terduduk sedih di atas sofa membuat si Ubi lembu penasaran ada apa dengan teman satu jabatannya itu.
"Hei Sirsak kenapa kau bersedih? Apa Tiara menangis? Dia tidak ingin makan?"
"Tidak, justru dia makan dengan lahap."
"Lalu?"
"Si rubah betina itu dia membuatnya cemburu. Pikirkan saja, apa ada waktu untuk mengirimkan foto USG setelah menghancurkan pernikahannya? Bukankah dia wanita yang tidak punya malu," ujar Siska dengan emosi. "Ingin rasanya aku menghajarnya," sambungnya dengan geram.
"Kenapa tidak, kita hajar dia sekarang," balas Leo dengan suara jantannya. Sepertinya pria itu ingin menghajarnya juga.
Siska meliriknya sesaat lalu berkata, " kau seperti lelaki jika marah."
"Ya, kejantananku akan muncul jika sedang emosi, dan aku tidak bisa mengendalikan diri kejantananku juga ikut terbangun," liriknya pada Siska.
Awalnya Siska biasa saja gadis itu terus menatap Leo, sebelum akhirnya matanya membulat seketika saat benda panjang menonjol dibalik celana Leo bagian bawah. Sontak Siska berlari terbirit-birit.
***
Tiara duduk melamun seraya memandang foto ibunya, seandainya ibunya tidak pergi jauh mungkin akan berada di sampingnya saat ini.
"Mama, jika kau melihatnya tadi apa yang akan Mama lakukan pada Damian? Mama juga tahu, kan Karina ... dia temanku semasa SMP. Mama selalu menyiapkan bekal untuk kami berdua Mama begitu baik, tapi apa yang Karina lakukan sekarang ... sungguh sulit ku percaya. Seharusnya dia katakan dari awal jika menyukai Damian, kenapa harus pada hari pernikahanku dan lagi ... dia mengatakan sedang hamil. Apa yang harus Tiara lakukan Mah? Apa yang harus Tiara lakukan ...."
Isakan tangisnya kembali terdengar, dan tiba-tiba berhenti. Tiara kembali teringat pertemuannya dengan Gio, pria itu yang menolaknya tapi tiba-tiba mengajaknya menikah. Contract love Tiara kembali teringat pernikahan kontrak yang Gio tawarkan.
"Pria itu ... kenapa aku lupa menanyakan namanya."
Ya, mereka sudah bertemu dua kali tapi tidak saling mengenal satu sama lain.
Gio juga sedang bersedih sekarang, pria itu terduduk di samping ranjang pasien yang mampu membuat roda hidupnya berhenti. Malam itu ... Gio tidak pernah menyangka Sukma nenek yang dia cinta harus dilarikan ke rumah sakit. Sebelumnya Sukma baik-baik saja tiba-tiba saja jantungnya kambuh dan harus dirawat di rumah sakit.
"Gio, nenek tidak ingin mati sebelum melihatmu bahagia. Nenek ingin melihatmu menikah, dan menjadi saksi pernikahan mu. Nenek tidak ingin kamu sendiri."
Perkataan itu yang selalu Gio ingat. Neneknya memang benar, Gio tidak sanggup sendiri dan belum siap kehilangan neneknya. Pria itu terus saja melamun sampai tidak sadar sudah berjalan sangat jauh dan berada di sebuah pantai. Pantai Ancol yang indah, dan tenang pada malam hari. Begitupun seorang gadis yang duduk tenang di pesisir pantai. Gio melihat gadis itu melamun sampai tidak sadar ombak menyapu kedua kakinya.
Entah, kenapa Gio tertarik pada gadis itu yang dianggapnya sedang bersedih. Kedua kakinya mulai melangkah mendekati gadis itu, semakin dekat dan semakin jelas wajah cantik itu terlihat. Bukannya tersenyum Gio malah terkejut gadis itu adalah gadis gila yang melamarnya di hotel.
Namun, Gio sudah tahu siapa namanya dan apa alasannya karena hampir di semua media membicarakan gadis itu. Kabar pernikahan yang batal sudah tersebar. Begitulah pertemuan mereka, terjadi tanpa di sengaja.
Lalu, bagaimana selanjutnya?
Apa mereka akan bertemu lagi?
Gio sepertinya ingin mewujudkan keinginan sang nenek untuk menikah sebelum Sukma tiada.
"Bagaimana keadaan Ibu?" tanya Anjaya mengejutkan lamunannya.
Gio bangkit berdiri yang menatap paman dan bibinya yang baru saja datang menjenguk Sukma. Tidak terlihat sedikit pun kecemasan atau kesedihan pada raut wajah mereka, Anjaya terlihat biasa saja melihat ibunya yang terbaring di atas ranjang.
"Kau bilang akan menjaga nenekmu, kenapa tiba-tiba ibuku ada di rumah sakit?"
"So peduli," gumam Gio sinis. "Apa kau tidak ingat ibumu punya penyakit jantung? Seharusnya kau yang lebih memperhatikan. Nenek tidak akan ada di sini jika tidak karenamu." Tatap Gio tajam, Gio masih ingat sebelum melarikan neneknya ke rumah sakit Gio sempat melihat lembaran berkas dana keuangan perusahaan induk yang menurun, mungkin karena itu neneknya serangan jantung.
"Jika kau tidak becus memimpin perusahaan, aku yang akan memimpinnya."
"Apa maksudmu? Kau baru saja merendahkan pamanmu? Apa kau tidak tahu kau siapa di sini." Viona tersulut emosi, tidak terima dengan perkataan Gio yang merasa merendahkan suaminya.
"Aku ... tentu saja aku tahu. Aku cucu satu-satunya dari keluarga Atmaja."
Viona tersungging remeh. "Cucu satu-satunya kau bilang? Sarah putriku juga cucu dari keluarga Atmaja jadi kau bukan satu-satunya."
"Tapi aku satu-satunya cucu yang dianggap," ujar Gio menimpali. Viona terlihat kesal, tapi Anjaya mencoba menahan emosinya agar tidak keluar batas.
Anjaya maju selangkah mendekati Gio, pria itu pun berkata, "Kau lupa aku anak satu-satunya dari Sukma Atmaja, posisimu lebih rendah dariku, kau hanya cucunya jadi yang berhak berkuasa adalah aku. Jangan terlalu bangga hanya karena kamu mendapat penghargaan CEO terbaik, karena pewaris satu-satunya adalah aku!" tegas Anjaya.
"Uruslah nenekmu dengan baik," ucap Anjaya sebelum pergi meninggalkan rumah sakit.
Gio menatap sendu neneknya, ia merasa sedih karena Anjaya putra satu-satunya Sukma saat ini tidak pernah menyayanginya. "Nenek, apa kau lihat tadi ... putra mu tidak menyayangimu, aku ragu apa itu putra kandungmu atau bukan. Tapi nenek tenang saja selama ada aku tidak akan ada yang bisa menyakiti nenek." Gio berkata seraya menutupi tubuh Sukma dengan selimut.
"Kalau begitu menikahlah." Perkataan itu sungguh mengejutkan Gio.
"Nenek!"
Sukma bangun dari tidurnya, wajah datarnya menatap polos cucunya. "Kamu bilang menyayangi nenek, kan? Jadi menikahlah."
"Nenek, kenapa tidak bilang jika sudah sadar?"
"Jika aku bilang, aku tidak akan tahu sifat buruk putraku dan menantuku."
"Apa Nenek tidak tahu aku begitu khawatir?" tanya Gio dengan emosi. "Jika Nenek seperti ini lagi aku tidak akan pernah lagi datang."
"Kau merajuk atau mengumpat? Sudahlah, yang jelas nenek sangat menyayangimu itu sebabnya Nenek ingin kau cepat menikah."
"Nenek menikah itu bukan hal yang mudah."
"Kenapa? Apa begitu sulit? Kau tidak perlu mencari wanita Nenek sudah menyiapkannya untukmu."
"Tidak-tidak! Memangnya kenapa Nenek ingin aku cepat menikah?"
"Apa kamu belum sadar juga?" tanya Sukma dengan tatapan tajamnya. Sukma terdiam sejenak lalu berkata, "Aku tidak mempercayai putraku sendiri, aku ingin kau yang menjadi komisaris Atmaja grup, dan salah satu syarat agar kau bisa memilikinya kau harus menikah. Dengan begitu Nenek bisa pergi dengan tenang."
"Memangnya apa salahnya jika belum menikah?"
"Dasar cucu tidak berguna. Kau tidak sayang pada Nenekmu hah!"
"Nenek!" Mereka terus saja berdebat tapi pada akhirnya Gio akan mengalah pada neneknya.
