Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Selidik Demi Selidik

Bab 6 Selidik Demi Selidik

Sementara itu, Rayhan tengah berendam di bathtub ketika bayangan perempuan yang tak sengaja menciumnya melintas di benak. Dia yang tengah memejamkan mata seraya menghirup aroma terapi yang menenangkan, seketika membuka mata.

"Tunggu. Sepertinya aku pernah melihat perempuan itu," monolognya.

Rayhan bergeming, berpikir keras dimanakah gerangan dia bertemu dengan perempuan mungil berparas manis itu. Sungguh, wajahnya tampak tidak asing.

Setelah cukup lama memikirkan tetapi tidak mendapat jawab sama sekali, Rayhan menyerah. Dia membilas tubuh lantas memakai jubah mandi untuk kemudian keluar, membuat kopi di mesin khusus dan memanaskan roti di mesin pemanggang yang kemudian dia olesi selai kacang.

Selesai dengan menu sarapan yang akan dia santap pagi ini, Rayhan berjalan ke arah sofa malas. Menyimpan sarapannya di meja, lalu memutar musik jadul di pemutar piringan hitam. Kaset yang dia pilih pagi ini adalah album Rumours dari Fleetwood Mac yang dirilis pertama kali pada tahun 1977. Dari beberapa lagu yang ada di dalam album itu, Rayhan sangat menyukai satu yang berjudul Dreams. Menurutnya, Dreams selalu enak didengarkan dalam situasi apa pun. Terdengar santai, ringan, dan menyenangkan.

Ada cerita di balik terciptanya lagu Dreams. Rayhan sangat tahu karena dia merupakan fans garis keras band aliran rock yang melegenda itu. Katanya, lagu Dreams ditulis ketika Stevie Nicks, vocalis band tersebut, sedang bertengkar dengan kekasihnya yang merupakan gitaris dari band itu sendiri, yakni Lindsay Buckingham. Selama masa pendinginan atas hubungannya yang buruk, Stevie menumpang tinggal di studio temannya yang juga merupakan musisi papan atas. Saat itulah dia menciptakan lagu Dreams, menuangkan semua isi hatinya ke dalam lagu tersebut.

Mungkin, karena sejarah lagu itu Rayhan jadi menyukainya, atau karena aspek lain, dia tidak tahu. Yang jelas, lagu tersebut selalu menemaninya di kala suntuk atau di kala dia butuh sedikit hiburan.

Selama alunan musik terdengar, Rayhan menyantap sarapannya dalam diam. Tampak tenang dan elegan. Namun ketika sarapan usai dan bayangan sosok perempuan mungil tadi merasuk ingatannya lagi, Rayhan segera membuang napas kasar.

"Sialan!" desisnya. "Kenapa wajah perempuan itu terus muncul? Aku pasti gila."

Rayhan mengedikkan bahu, mendesah pelan sebab dia benar-benar merasa pernah melihat perempuan itu. Meski begitu tetap saja dia tidak ingat di mana. Dan itu membuatnya frustrasi bukan main. Apalagi hal tersebut berlangsung selama hampir satu minggu.

Yup, satu minggu Rayhan dibingungkan dengan bayangan gadis itu yang terus bergelayut di benak. Menjengkelkannya dia tidak tahu siapa gadis itu apalagi kontaknya. Yang dia ingat hanya... great! Rayhan menjentikkan jari seketika itu. Membuat Adnan, sepupu yang sejak tadi duduk dengannya mengernyit karena dia bereaksi tiba-tiba.

"Kenapa?" Adnan bertanya skeptis.

Rayhan menggeleng. Tapi diam-diam segera menghubungi hotel tempat dia bertemu dengan gadis itu seminggu lalu. Dari penampilan gadis itu yang tampak sangat rapi dengan rambut disanggul dan gaun peach yang digunakannya, Rayhan yakin saat itu dia tengah menghadiri acara pernikahan yang diselenggarakan di hotel tersebut. Maka, Rayhan harus mencari tahu mulai dari siapa gerangan yang menikah di sana saat itu.

Dan, okay. Selain tampan dan jago bermain di ranjang, Rayhan juga jago dalam hal lainnya.

"Sempurna," gumam Rayhan, memuji dirinya sendiri ketika dia mulai mendapat informasi mengenai si gadis yang mengganggu kesehariannya belakangan ini.

***

Kayla mengusap kasar wajahnya ketika lagi-lagi dia mendapatkan kabar bahwa pengajuannya ditolak. Yup, di semester lima kuliahnya, seharusnya Kayla sudah mulai magang sekarang. Tapi sialnya, lebih dari lima pengajuan yang dia ajukan, ditolak semua. IYA, SEMUA. Betapa semesta amat jahat pada gadis kecil sepertinya.

Rasanya, Kayla ingin menenggelamkan diri saja di kali Ciliwung setiap kali pemberitahuannya ditolak muncul. Tapi tidak. Dia masih ingin mencari pacar dan merasakan kehidupan yang lebih baik. Mati cepat tidak membuatnya bahagia juga.

Menyambar ponsel di meja, Kayla berdiri lalu keluar dari kamar. Tak peduli dengan tampang dan rambutnya yang sama-sama kusut keriting. Dia harus mencari udara segar untuk menjernihkan pikirannya yang kalut.

"Kay? Ke mana?" tanya sang ibu yang melihatnya keluar dengan tampang ditekuk.

Wanita paruh baya yang berumur lebih dari lima dekade itu tampak sedang membuat adonan di dapur—yang letaknya dengan ruang tengah dan ruang makan hanya disekat oleh sebuah meja pantry panjang berwarna hitam dan abu-abu. Dia memakai daster berwarna merah cabe plus celemek hitam yang menggantung di leher. Riasan wajahnya masih oke meski sudah berkeringat.

Sekar—nama wanita itu—memang tidak pernah lepas dari make-up. Katanya meskipun di rumah, dia harus tetap tampil cantik. Jaga-jaga kalau suaminya yang juga merupakan ayah kandung Kayla—Bima—pulang dadakan. Sebagai seorang istri baik yang tidak ingin suami direbut pelakor, jurus jitunya adalah cantik kapan pun dan di mana pun. Yeah, Kayla akui, ibunya memang masih terlihat muda dan cantik meski sudah memiliki dua orang anak yang sudah dewasa.

Sementara ayahnya... oke, dia juga tampan. Sangat. Kata ibunya, ayahnya adalah seorang player ketika masih muda. Dia memiliki pacar di setiap jurusan di kampus. Gila? Memang. Kayla juga terkejut ketika pertama kali mendengarnya. Kadang Kayla bertanya-tanya, jika sekarang saja ayahnya yang merupakan seorang jenderal itu masih tampan dan gagah, bagaimana rupanya dulu?

Dan perihal bagaimana ayahnya bisa berlabuh ke pelukan sang ibu, itu masih jadi tanda tanya besar yang mandek di kepala Kayla. Mungkin, pelet ibunya cukup kuat sehingga ayahnya bisa bertekuk lutut dan bucinnya minta ampun seperti sekarang.

Kayla mendesah panjang. Menatap Sekar dengan lelah. "Mencari elemen angin supaya elemen api di dalam hati ini tidak meledak. Bisa kebakaran seluruh jagad raya dan isinya entar. Aku butuh udara segar agar hati ini tenang dan damai," balas Kayla dramatis.

"Memang kamu Avatar?" seloroh sang ibu, geleng-geleng kepala.

"Bukan. Aku Cat Woman, roarrr!" Kayla meraung sambil membuat gerakan mencakar.

Lalu gelak tawa seorang bocah laki-laki terdengar. Ketika menoleh ke arah sumber suara, ternyata ada seonggok pemuda berbadan kurus kerempeng yang tengah gegoleran di sofa sambil bermain ponsel. Dia ketawa sampai hampir ngejungkal. Herlan, adik Kayla yang umurnya terpaut 6 tahun lebih muda darinya.

"Sejak kapan kucing meraung seperti macan, astaga!"

"Heh! kamu tidak sekolah?" tanya Kayla, alih-alih menjawab pertanyaan unfaedah Herlan barusan.

Herlan membenarkan posisi duduknya, lantas mengangkat bahu dengan acuh. "Sekolah? Memang masih zaman?" tukas pemuda yang dua bulan lagi berusia 17 tahun itu.

"Idih, bego! Kamu, tuh, harus sekolah yang benar! Nanti kalau sudah sepertiku baru menyesal kenapa dulu males-malesan."

"Ya, itu kamu, Kak. Kalau kamu lupa, aku masuk lima besar satu angkatan."

Pada saat itu juga Kayla ingin mengambil panci sayur yang sedang dibawa Sekar ke meja makan lalu melemparnya ke arah Herlan. Untung saja dia lebih kuat dari setan yang menghasutnya sehingga Kayla bisa menahan diri. Secara tidak langsung, Herlan sedang membanggakan diri karena dia lebih unggul dalam hal akademik daripada Kayla.

Menjengkelkan.

Tak cukup dengan itu, Herlan kembali bersuara, "Aku pergi ke Jepang tahun depan, wleee!" ucapnya pongah.

Sekarang bukan hanya panci sayur yang ingin Kayla lempar, tapi sekalian dengan semua piring yang ada di lemari, meja makan sekalian juga boleh.

"Nyombong terus!" decak Kayla keras, lalu keluar dari rumah sebelum dirinya benar-benar membuat Herlan babak belur.

Kayla berjalan-jalan di sekitar komplek rumahnya sambil sesekali meregangkan otot dengan mendorong lengannya ke atas dan ke depan. Menghirup udara banyak-banyak kemudian mengembuskannya perlahan. Meski udara Jakarta masih panas, tapi setidaknya, tempatnya berjalan sekarang tidak begitu dipenuhi polusi udara.

Sudah lama rasanya Kayla terjebak dengan banyak hal menjengkelkan perihal kuliahnya, sampai dia merasa kehidupannya terenggut oleh tugas-tugas sialan itu. Dan kini, meski keadaan belum lebih baik, setidaknya dia bisa keluar rumah untuk sedikit merefresh otak.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel