Bab 5 Buket Pengantin
Bab 5 Buket Pengantin
"Kamu tidak akan bertanggung jawab setelah mencium bibir dan menyentuh kejantananku, ha?!"
Kayla bergegas berjalan kembali menghampiri pemuda tinggi itu. Ditatapnya dengan tajam wajah tersebut, berharap sang empunya bisa takut atau ciut sedikit saja. Tapi nihil.
"Kamu tidak waras, ha?!" desis Kayla, melirik sekitar di mana orang-orang menatap mereka dengan penasaran. Beberapa di antara mereka bahkan secara terang-terangan tersenyum penuh arti karena salah paham dengan ucapan Rayhan tadi.
"Kenapa? Memang itu yang terjadi. Kamu malu?"
"Yak! Astaga. Dasar pria gila!"
"Kamu harus bertanggung jawab," tukas Rayhan lagi.
"Tanggung jawab? Apa yang harus dipertanggung jawabkan? Yang ada, di sini aku yang rugi!"
"Kenapa kamu?"
"Karena itu ciuman—" Kayla menghentikan ucapannya tiba-tiba. Dia tidak bisa mengatakan bahwa itu adalah ciuman pertamanya. Akan sangat memalukan jika orang-orang tahu bahwa di usianya yang sudah lebih dari dua dekade dia masih belum pernah berciuman. Astaga.
"Kenapa? Karena ciumannya memabukkan?"
"What the...." Kayla benar-benar tak habis pikir dengan lelaki ini. Bisa-bisanya dia membicarakan hal itu. "Oke, stop. Kita akhiri di sini karena aku benar-benar sibuk, okay?" Kayla mengangkat tangan menyerah. Dia tidak ingin memperpanjang urusan ini atau dia sendiri yang akan susah nantinya.
"Tidak bisa. Kamu harus tanggung jawab!"
Kayla menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya dengan kasar. "Terserah. Aku tidak merasa bertanggung jawab atas apa pun. Dan aku sudah telat, tidak punya banyak waktu untuk meladeni orang sepertimu."
Kayla benar-benar undur diri. Dia tidak menoleh sekalipun meski Rayhan memanggil berkali-kali. Sungguh, Kayla sudah telat sekarang.
Sementara itu, dari tempatnya, Rayhan terus memperhatikan Kayla sampai punggung gadis itu menghilang dari pandangan. Senyuman tipis terulas dari bibir seksinya.
"Sial! Entah itu musibah atau anugerah? Tapi, gadis itu unik."
Rayhan menyedekapkan tangan di dada. Lalu, dia merasa sesuatu yang janggal.
"Sepertinya, aku melupakan sesuatu," gumamnya pada diri sendiri. Tapi, meski berulang kali dipikirkan, Rayhan tidak ingat apa-apa yang dia lupakan itu.
Dering ponsel membuat Rayhan mengenyahkan segala pikiran aneh yang merasuk di benak. Kali ini dia menarik napas panjang begitu melihat siapa gerangan penelepon di ujung sana.
"Ya, Rin?" jawab Rayhan begitu panggilan tersambung pada Arinda.
"Aku sudah menunggumu selama seminggu ini, kenapa kamu tidak pernah menemuiku?" Suara di seberang sana terdengar mengiba. Tapi, Rayhan tidak terpengaruh sama sekali.
"Aku tidak tertarik menikah denganmu," balas Rayhan ringan. "Sepertinya alasan itu sudah cukup untuk aku tidak menemuimu lagi."
Rayhan berjalan menuju mobil. Lalu menyandarkan punggungnya di pintu mobil miliknya. Ketika seorang wanita berambut cokelat kemerahan turun dari salah satu mobil di parkiran, Rayhan mengulas senyum manis dengan lambaian tangan menggoda.
"Kita sudah tidur bersama, Ray! Bagaimana bisa kamu tidak mau menikah denganku?"
Rayhan masuk ke dalam mobil begitu wanita tadi berlalu. Ternyata dia datang bersama seorang pria, yang dilihat dari wajahnya saja sudah terlihat bahwa dia sudah berumur paruh baya.
"Kalau aku harus menikahi semua gadis yang tidur denganku, aku pasti sudah memiliki hampir seratus istri, Arinda Sayang," tutur Rayhan manis, tetapi menusuk. "Lebih baik abaikan ucapan ibuku. Lagi pula aku yakin, bukan cuma aku laki-laki yang pernah tidur denganmu. Right?"
"Rayhan!"
"Aku akan mengemudi jadi aku tutup telponnya, oke. Silakan hubungi kalau kamu butuh servis hebat dariku saja."
Lalu, Rayhan benar-benar menutup panggilan sepihak. Tak menunggu jawab Arinda terlebih dahulu. Masa bodoh. Dia hanya ingin istirahat seharian di apartemennya yang nyaman hari ini.
***
“Taniaaa!" jerit Kayla heboh ketika dia menemukan sahabatnya duduk di depan meja rias dengan tampang bete. "Sori, aku tidak benar-benar telat, kan?" tanyanya.
Perempuan yang duduk dengan gaun putih panjang menjuntai beserta riasan yang sudah siap, menatap sahabatnya dengan sudut bibir melengkung turun.
"Nyaris, Kay. Nyaris," jawabnya muram.
Kayla mendekat pada Tania, duduk di depan gadis itu dengan sebuah cengiran lebar. "Untunglah," desahnya lega. "Aku masih bisa menyaksikan kamu dan calon suamimu mengikrarkan janji suci."
Tania merengut sebentar. Tapi melihat Kayla masih mempertahankan senyum lebar, akhirnya Tania ikut tersenyum. Diraihnya tangan Kayla ke genggaman, lalu berkata, "Terima kasih sudah mau jadi temanku. Kamu bahkan rela meluangkan waktu demi memilih gaun cantik ini untuk hari sakral yang kupunya. Aku sangat beruntung memiliki sahabat seperti kamu. Kamu tahu kan, Kay?"
"Tahu," jawab Kayla tersenyum lebar. "Aku memang sahabat paling baik di dunia. Jadi jangan lupa, cepat-cepat beri keponakan untukku!"
Gelak tawa menguar di dalam ruangan itu. Sampai gedebuk suara pintu yang dibuka kasar membuat keduanya menghentikan tawa dan menatap sumber suara. Wajah keduanya berangsur berubah menjadi datar melihat sosok yang datang.
"See, Kay? Ternyata ada yang lebih telat dari kamu."
Cengiran lebar disuguhkan oleh si gadis bergaun merah panjang yang barusan datang dengan keanggunan yang hilang entah ke mana; Clarita. Dia berjalan ke hadapan Tania dan juga Kayla, lantas duduk di kursi single di sisi Tania.
"Aku bangun kesiangan. Semalaman harus bergadang karena mengejar deadline. Sori, guys."
Kayla dan Tania serempak memutar bola mata seraya mengembuskan napas keras.
"Aku dimaafkan, kan?" tanya gadis itu lagi. Mengerlingkan matanya seperti anak kucing.
"Dimaafkan. Asal bantu Kayla untuk mendapatkan buket bunga yang aku lempar nanti, supaya dia tidak jomlo lagi."
"Sialan!" umpat Kayla mendengar penuturan Tania. Kemudian ketiganya kembali tergelak.
Pengucapan janji suci Tania dan Arlan yang sudah menjadi pacarnya sejak zaman kuliah akhirnya selesai. Kini, mereka sudah resmi menjadi suami istri baik di mata agama mau pun negara.
Resepsi masih berlangsung. Dan seperti yang dikatakan Tania tadi, Clarita membantu Kayla untuk mendapatkan buket bunga yang dilempar Tania. Setelah berbagai drama aneh, benar saja buket jatuh pada tangan Kayla.
"Yash! Bulan depan Kayla akan menyusul menikah, guys!"
Jangan tanya siapa yang bicara saat itu. Jelas saja si pengantin perempuan yang di hari pernikahannya saja masih bisa pecicilan. Kayla tak habis pikir dengannya.
"Yes, bulan depan kita prasmanan lagi!" Clarita ikut berteriak diikuti oleh tawa saudara-saudara perempuan Tania beserta teman lain—yang ikut menangkap buket.
"Ya Tuhan, kampret sekali teman-temanku," gerutu Kayla seraya memukul kepalanya dengan buket bunga yang dia genggam.
Sampai tiba-tiba, karena memukul kepalanya, Kayla jadi mengingat kejadian memalukan tadi dengan si pria asing. Jika diingat-ingat, sepertinya Kayla pernah melihat orang itu, tapi entah di mana.
Artis? Tidak. Dia bukan seseorang yang Kayla lihat di televisi, Kayla yakin. Teman kampus? Sorry to say, dia tampak terlalu tua untuk ditemukan di kampus. Kalau kating... tidak-tidak. Pokoknya Kayla yakin tidak pernah menemui lelaki itu di kampus. Lalu di mana?
"Kay!" pekik Clarita, menepuk bahu Kayla hingga perempuan itu mengerjap dan menatap sahabatnya tersebut. "Astaga, kamu melamun. Jangan-jangan kepikiran mau nikah dengan siapa gara-gara mendapatkan buket ini?" Clarita bertanya tanpa filter. Kadang Kayla ingin sekali menyumbangkan sedikit sel otaknya untuk gadis itu supaya ucapannya bisa disaring dulu ketika berada di keramaian seperti ini.
"Tidak, astaga. Untuk apa?" tukas Kayla ketus. Lalu berjalan menuju meja prasmanan untuk mengambil makanan. Mengenyahkan pikiran tidak penting terhadap sosok asing tadi.
"Lho, memang kamu tidak akan menikah, huh?" Clarita membuntuti. "Kamu benar-benar tidak mau memiliki kisah asmara dengan siapa pun?"
Kayla meminum es jeruk yang dia ambil dari meja, kemudian mengangkat bahu acuh. "Tidak, untuk saat ini," katanya kemudian, membalas pertanyaan Clarita.
"Kamu yakin?"
"Jelas saja aku yakin. Aku belum tertarik menikah. Sungguh. Masih banyak hal yang belum bisa aku capai dan akan lebih sulit untuk digapai jika sudah menikah."
"Tapi biasanya, kalau kamu menolak keras, justru akan datang lebih cepat dari yang kamu duga, Kay."
Kayla menoleh, menatap Clarita dengan raut penuh tanya.
"Pernikahan. Pasangan yang akan menemani kamu sehidup semati. Dia akan datang lebih cepat saat kamu berusaha menghindar."
***