Bab 3 Desakkan Menikah
Bab 3 Desakkan Menikah
Kayla menutup tugas-tugas yang tengah dia kerjakan. Kemudian mengambil tas selempangnya di meja dan bergegas pergi. Mendadak, Tania meminta untuk mengantarnya menuju butik untuk fitting baju.
Sebagai kawan yang baik, jelas Kayla tidak bisa menolak. Lagi pula, tugas kuliah yang harus dia kumpulkan minggu ini sudah selesai. Duduk di rumah pun tidak ada yang spesial.
"Tania, astaga! Aku kira kamu tidak akan datang!" pekik Tania begitu Kayla masuk ke dalam butik dan menemukan perempuan itu tengah berbincang dengan seseorang yang bertanggung jawab atas butik tersebut.
"Untukmu apa yang tidak, Sista?" Kayla mengerling, kemudian Tania terkekeh dibuatnya.
"Sebetulnya, aku butuh pendapatmu tentang gaun mana yang harus kugunakan nanti. Sungguh, Kay, semua gaun yang ditunjukkan cantik! Dan aku tidak bisa memilih dibuatnya."
Kayla tergelak. Dia menyisir pandang ke sekeliling dan berdecak kecil. Memang, kesemua gaun yang ada di sana cantik-cantik. Berbagai model gaun ada di sana. Entah itu yang tampak ringan sebab hanya berupa gaun lengan pendek yang memiliki ekor tidak begitu panjang dan terbuat dari bahan tipis. Yang memiliki lengan panjang tetapi belahan dadanya terlalu terbuka. Ada pula gaun berbentuk seperti gaun Cinderella yang roknya tampak mengembang besar. Yang paling membuat Kayla kagum tetapi merasa ngeri jika dia menggunakannya, adalah sebuah gaun dengan berbagai blink-blink yang penuh dan memiliki bahan tebal dengan ekor yang amat panjang. Kayla tidak bisa membayangkan berapa berat satu gaun itu.
"Kamu maunya konsep yang seperti apa? Sederhana? Mewah? Elegan? Simpel?" tanya Kayla memberondong usai melihat-lihat gaun di sana.
"Aku mau yang elegan dan mewah!" pekik Tania antusias, membuat pelayan perempuan berbaju hitam di sana tersenyum melihat calon pengantin itu.
Mendengar apa yang sahabatnya mau, Kayla segera menunjuk salah satu gaun, yakni gaun terakhir yang dia lihat tadi. Desain yang glamour tetapi cantik.
"Bagaimana? Gaun itu pasti cantik untukmu!" tukas Kayla, masih dengan telunjuk yang melayang di udara, menunjuk gaun tadi.
"Yash! Serius, Kay, seleramu benar-benar bagus!"
Tania dengan segera mengangguk, memberikan instruksi pada karyawan butik untuk mencoba gaun tersebut.
"Tunggu sebentar, ya. Aku akan mencoba gaun pilihanmu ini," ujarnya. Kemudian berlari kecil ke dalam fitting room untuk memakai gaunnya.
Sementara Kayla, dia duduk di salah satu sofa yang berada di ruangan luas yang diisi banyak gaun dan tuxedo tersebut. Menatap satu per satu baju-baju cantik yang terpajang. Rasanya, hanya melihat mereka saja sudah membuat Kayla senang dan matanya termanjakan.
Tak beberapa lama, tirai fitting room terbuka, dan Tania keluar dari sana dengan senyum malu-malu. Kayla membulatkan mata tak percaya seraya menautkan jari di bawah dagu.
"Tania, kamu cantik. Sangat cantik. Serius!" Kayla berdiri. Melihat sahabatnya tersebut lebih dekat.
Dia memutari tubuh Tania, melihat dengan saksama. Dan sungguh, Kayla kagum dengan betapa pasnya gaun itu di tubuh Tania, seolah memang gaun tersebut dirancang untuknya.
"Kamu harus memakai ini. Sungguh! Ini cantik, sangat cantik. Selain itu sangat pas di tubuhmu. Shit! Aku jatuh cinta padamu karena memakai gaun ini!"
Tania terkikik mendengar pujian berlebihan dari Kayla. "Wajahku masih polos, belum bermake-up. Jangan dulu jatuh cinta!" ujar Tania dengan rona merah yang tak mampu dia sembunyikan. Gadis itu sepertinya sangat bahagia.
"Mbak, saya ambil yang ini, ya, untuk hari-H," ujar Tania kepada karyawan butik. Dia kemudian masuk lagi ke dalam fitting room untuk mengganti pakaiannya dan kembali beberapa saat kemudian.
"Ternyata mengajakmu adalah pilihan paling tepat yang aku lakukan hari ini." Tania menggandeng tangan Kayla. Mereka keluar beriringan dari butik terkenal itu. "Haruskah kita makan bersama siang ini?"
"Semuanya sudah beres? Tidak ada yang ingin kamu lakukan lagi?" Kayla tanya.
Tania menggeleng. "Tidak ada. Semuanya sudah selesai, mulai dari undangan, dekorasi, katering, pengisi acara, dan gaun juga. Persiapan sudah benar-benar matang."
"Syukurlah kalau begitu." Kayla benar-benar lega untuk sahabatnya. "Jadi, sekarang kita makan. Let's go!"
***
Rayhan baru saja menutup pekerjaannya dan hendak pergi untuk makan siang. Tapi dering ponsel di meja membuatnya mendesah panjang. Ibunya menelpon, dan Rayhan yakin bukan hal-hal yang enak didengar yang akan ibunya sampaikan.
"Temui Arinda sekarang."
Rayhan menjauhkan ponselnya sebentar, sekadar memastikan bahwa nomor yang menghubunginya adalah benar sang ibu. Kemudian kembali menempelkan benda pipih itu di telinga setelah dia yakin.
"Ada apa? Kenapa aku harus menemuinya?"
"Ibu mendapat laporan bahwa kamu sudah check-in beberapa kali dalam seminggu ini dengan gadis yang berbeda-beda, Rayhan!" pekik ibunya di seberang sana. "Jadi, pertimbangkan soal perjodohan kamu dengan Arinda, mengerti?"
Rayhan berdiri, berjalan keluar dari ruangan masih dengan panggilan yang tersambung pada sang ibu. "Aku tidak mau," balasnya.
"Lalu kamu mau apa? Arinda cantik, baik, dari keluarga terpandang, apa yang kurang dari dia?"
"Dia mau aku ajak ke hotel," Rayhan berbicara tenang. Padahal, hal yang dia utarakan sungguh tabu untuk anak lainnya bahas dengan orang tua mereka. "Kalau aku yang baru dia temui sekali saja dia mau, bagaimana dengan laki-laki lain? Ibu ingin punya menantu yang hobi dicelup sana-sini?"
"Lalu apa bedanya dengan kamu?" pekik ibunya lagi, membuat Rayhan harus menjauhkan sejenak ponselnya. "Kamu juga hobi celap-celup ke sana ke mari. Kalau kamu mau dapat perempuan baik-baik, setidaknya kamu berubah, Rayhan! Berhenti bermain perempuan dan kenalkan pada Ibu perempuan baik yang akan kamu nikahi. Umur kamu sudah 27 tahun. Tolong jangan kekanakan dan membuat Ibu pusing terus!"
"Bu."
"Adnan sudah menikah. Satya sudah punya dua anak yang lucu-lucu, lalu kamu?"
"Baru 27, Bu. Aku belum setua itu sampai harus cepat-cepat menikah. Santai sedikit saja, okay?"
Rayhan tersenyum begitu mendapati pegawai kantornya yang cantik dengan kemeja ketat yang menonjolkan sesuatu yang membuat pria kesenangan. Sesungguhnya, dia tidak suka tebar pesona di kantor. Tapi salahkan wajahnya yang terlalu tampan, sehingga dimanapun dia berada, tatapan penuh kekaguman selalu dia dapatkan, termasuk dari wanita itu.
"Tapi Ibu dan ayah kamu yang sudah tua, Rayhan. Darah tinggi Ibu sudah sering kambuh, bagaimana kalau Ibu meninggalkan kamu sebelum kamu taubat dan menikahi gadis baik-baik?"
Rayhan menghela napas panjang. Tak habis pikir dengan ibunya yang membahas hal itu sebagai alasan untuknya segera menikah.
"Bu, Ibu akan panjang umur. Percaya padaku," ujar Rayhan yang sudah sampai di lobi dan keluar dari gedung perusahaan tempatnya bekerja. Seorang gadis sudah menunggunya di depan sana. "Asal Ibu berhenti mengomel. Ibu tahu sendiri orang yang sering marah rawan terkena serangan jantung," lanjutnya.
Kemudian lengkingan suara ibunya yang menjerit kesal di ujung sana terdengar, "Anak durhaka! Awas saja kalau pulang. Ibu pasti akan--tutt!" Rayhan menutup sambungan, kemudian memasukkan ponselnya ke dalam saku jas.
Dia memang kurang ajar. Sudah hal biasa, meskipun dia tidak benar-benar serius.
"Sayang!" Rayhan tersenyum lebar begitu sosok perempuan dengan blouse ketat berwarna hitam menghampirinya dan segera bergelayut manja.
"Halo, cantik. Lama menunggu?" tanya Rayhan dengan senyuman maut yang mampu meluluhkan hati wanita mana pun.
"Tidak. Hanya sekitar... dua menit?" balas si wanita. Bibir yang dipoles lipstik merah darah itu mengecup singkat pipi Rayhan, membuat lelaki itu kesenangan.
"Baiklah. Kita makan siang lalu ketemu lagi sepulang aku bekerja, bagaimana?"
"Tentu."
Wanita itu lalu menggandeng tangan Rayhan dan pergi menuju kafe terdekat. Sama sekali tidak risih memamerkan kemesraan di depan umum meski dia sendiri sadar bahwa beberapa jam setelah ini dia akan dicampakkan oleh pria yang saat ini dia gendeng.
Yup! siapa pun yang sudi bersama sosok Rayhan, mereka pasti sudah tahu risiko yang akan mereka tanggung. Dicampakkan. Mereka tak masalah. Sebagian dari mereka justru benar-benar hanya ingin bermain saja dengan Rayhan. So, mereka tidak terikat, sebab sama-sama hanya pencari kenikmatan sesaat.
***