5
Semalam Bagas tidak tidur di rumah dan pagi ini dia tidak kembali ke rumah. Aku tidak peduli kemana dia pergi jadi itu bukan masalah untukku.
Beepp.. Bepp.. Nah, panjang umur. Itu pasti Bagas.
"S-selamat pagi." Aku menyapa wanita paruh baya yang ada di ruang tengah. "Anda mencari Tuan Bagas??" Aku bertanya padanya.
Wanita itu menatapku lekat, memeriksa penampilanku dari bawah hingga ke atas.
"Siapa kamu?" dia bertanya.
"Saya Kirana, pelayan Tuan Bagas."
"Saya Mamanya Bagas, Panggil saja Bu Sandra."
"Ah, Bu Sandra. Tuan Bagasnya sedang tidak ada di rumah."
"Tidak apa-apa, Ibu datang kemari hanya untuk merapikan apartemen ini tapi ternyata ada kamu yang membereskannya."
"Iya, Bu. Saya baru bekerja disini."
"Ya sudah, bawa ini ke dapur." Bu Sandra mengangkat dua kantung yang berisi sayuran.
"Ibu mau minum apa?"
"Apa saja."
"Baiklah, saya buatkan dulu, Bu."
Aku ke dapur dengan dua kantung yang dibawakan oleh ibu Sandra tadi, aku merapikannya di dalam lemari pendingin lalu aku membuatkan secangkir teh untuknya.
Bu Sandra tidak ada di sofa, aku meletakan teh di atas meja lalu mencarinya.
"Bu."
Dia membalik badan.
"Oh, iya." Bu Sandra membalik tubuhnya. "Minumannya sudah ada ?"
"Sudah, Bu."
"Ibu emang suka liatin foto kakaknya Bagas kalau kesini. Nggak tahu kenapa kalau liat fotonya disini jadi ngerasa sedih." Bu sandra melangkah, aku mengikutinya hingga ke ruang tamu.
"Itu kakaknya Tuan Bagas? Saya pikir Adiknya." aku memang berpikir seperti itu, aku tidak akan mengira itu foto pacar Bagas karena wajahnya mirip dengan Bagas. Kalau dilihat dari foto itu umurnya mungkin 18-19 tahun.
"Reina memang terlihat muda di foto itu karena itu di ambil saat Reina berusia 18 tahun. Foto itu diambil satu minggu sebelum Reina meninggal." Jelas Bu Sandra dengan nada syarat akan kesedihan.
"Meninggal?"
"Ya, Reina meninggal karena kecelakaan saat ia ingin menjemput Bagas yang mendapatkan masalah di sekolahnya."
"Maaf kalau saya membuat Ibu mengingat ini lagi."
"Saya selalu ingat anak saya, Na. Dia itu harapan Ibu dan juga Papanya Bagas. Reina itu anaknya penurut, rajin, terus pintar. Dia juga sangat menyayangi adik-adiknya, Bagas dan Nasya."
Aku tahu sakitnya kehilangan itu seperti apa, mungkin itu seperti aku yang kehilangan bunda dan juga ayah.
"Kehilangan memang selalu menyisakan kenangan yang tidak bisa dilupakan, Bu. Menyisakan sakit karena tak bisa melihat lagi mereka yang telah pergi."
"Kamu sepertinya tahu sekali rasanya, Na." Bu Sandra mentapku lekat.
"Terlalu banyak kehilangan yang aku rasakan, Bu. Ayah, Ibu, Kakek dan yang paling menyakitkan adalah saat aku kehilangan satu-satunya pelipur laraku. Satu-satunya pria yang aku harapkan akan terus membuatku tersenyum."
"Kamu ternyata tegar juga, ya, Na."
"Aku nggak punya pilihan lain selain tegar, Bu. Hidup terus berlanjut meski seribu kehilangan dirasakan. Bisa atau tidak melewatinya hanya tergantung kemauan saja. Aku masih punya nenek yang harus aku rawat jadi aku harus tetap berjuang, meski badai tak pernah berhenti menghantam."
Bu Sandra tersenyum menatapku, aku tidak tahu kenapa aku bisa menceritakan dukaku pada orang asing, hal ini tidak pernah aku lakukan sebelumnya karena aku tidak ingin ada orang yang melihat betapa berlobangnya hidupku, betapa kelam dan gelapnya jiwaku.
"Kamu wanita yang kuat, hadapi semua jalanan terjal di depanmu, dengan begitu kamu akan sampai ke kebahagiaan atas semua kehilangan yang kamu rasakan."
"Aku tidak ingin terlalu banyak berharap, Bu. Harapan itu selalu menyakitiku, lagipula aku sudah kehilangan harapan untuk bahagia. Aku telah kehilangan segalanya."
"Sayang, janji Tuhan tidak mungkin salah. Cobaan ada, nikmati saja prosesnya. Kemenangan akan ada untuk orang-orang yang bertakwa. Kebahagiaan akan datang sebagai hadiah dari kesabaranmu."
"Bu, Tuhan itu tidak ada untukku. Dia tidak pernah mengulurkan tangannya untukku." Aku berkata sumbang, ada kalanya aku meyakini Tuhan benar-benar ada dan saat ini keyakinanku sudah tak tersisa lagi. Biarlah aku jadi orang yang lalai, aku tidak pernah ingin berharap lagi karena harapan hanya akan melukaiku, karena harapan hanya akan menyakitiku dan karena harapan akan membunuhku secara perlahan.
"Ibu tahu saat ini keyakinanmu berkurang, tapi seiring berjalanannya waktu Ibu yakin keyakinanmu akan kembali."
Dan itu kapan? Aku tidak yakin jika aku akan kembali meyakini Tuhanku setelah semua yang terjadi padaku.
"Silahkan dinikmati tehnya, Bu. Saya akan mengambilkan cemilan untuk Ibu." Aku sudah tidak ingin membahas hal ini lagi, dengan segera aku membalik tubuhku kembali ke dapur, membuka lemari pendingin dan mengambil pie susu dan coklat yang sudah aku buat tadi malam.
"Semoga Ibu menyukai ini." Aku meletakan piring berisi pie tadi.
"Terimakasih, Na. Temani Ibu disini dulu."
"Ya, Bu."
Bu Sandra mencicipi pie yang aku buat. Aku tidak tahu bagaimana lidah orang-orang kaya tapi dilidahku pie itu sudah sangat layak untuk dimakan.
"Ini enak, Na. Kamu pintar membuat makanan ternyata."
"Aku pernah bekerja di toko roti, Bu. Jadi aku belajar dari sana." Bekerja di banyak tempat memang berguna untukku, aku bisa belajar memasak dari sana.
Bepp,, bepp, pintu apartemen terbuka, itu pasti Bagas yang pulang karena ini sudah jam 7 malam, jam pulang bekerjanya seorang Bagas.
"Mama."
"Baru pulang, Bang? Kok malem bener?"
"Iya, Ma. Mama ngapain disini?"
"Kenapa nanya? Emangnya Mama gak boleh kesini?"
"Boleh, Ma. Cuma kenapa nggak ngasih tau dulu?"
"Suka-suka Mamalah."
Percakapan itu ku dengarkan tanpa berniat menguping mereka karena saat ini aku sedang meraih tas kerja Bagas.
"Siapkan air mandi untukku!" Peritnah Bagas.
"Hm." Aku berdeham lalu segera naik ke atas. "Ah, aku melupakan ponselku di dapur." Akhirnya aku turun lagi.
"Kenapa Abang lakuin ini? Apa sebenarnya yang ada di otak Abang? Kak Reina udah tenang, Bang. Udah selesain aja sampai sini." Dan kali ini aku mendengar mereka lagi tapi hanya sekali lewat karena aku tidak berniat menguping mereka.
"Ma, Abang nggak bisa ngelupain kematian Kak Reina gitu aja, ini karena dia."
"Bang, Kirana nggak salah apa-apa. Ini kecelakaan. Kenapa Abang keras kepala seperti ini? Abang tidak punya hak menyiksa dia seperti ini Bang!" Suara agak keras Bu Sandra membuatku berhenti melangkah, mereka membicarakan tentang aku.
"Ma, aku nggak mau ngelawan Mama jadi tolong Mama jangan ikut campur dalam masalah ini, dia istri aku sekarang, Ma. Hak aku mau ngapain aja sama dia."
"Bang, dia udah kehilangan dan menderita, apa nggak keterlaluan kamu ikut buat dia menderita?"
"Ma, aku nggak mau bahas ini lagi. Kalau Mama mau terus bahas ini aku mending keluar lagi."
"Mama cuma nggak mau Abang nyesel. Mama udah selesai, sopir udah jemput jadi Mama pulang aja. Main ke rumah, Papa nanyain kamu, adik kamu Nasya juga nanyain kamu."
"Aku akan ke rumah besok, Ma. Aku juga udah kangen sama Nasya dan Papa."
"Ya sudah, Mama pulang, ya."
Setelah mendengarkan itu aku tidak jadi mengambil ponselku dan segera naik ke kamar.
Ma, Abang nggak bisa ngelupain kematian Kak Reina gitu aja, ini karena dia.
Bang, Kirana nggak salah apa-apa. Ini kecelakaan. Kenapa Abang keras kepala seperti ini? Abang tidak punya hak menyiksa dia seperti ini Bang!
Aku? Reina? Apa hubungan kematian kakaknya Bagas denganku. Aku saja tidak kenal dengan kakaknya Bagas, aku juga tidak pernah menyebabkan orang kecelakaan. Bagaimana bisa aku jadi bagian dari kematian kakaknya Bagas?
"Kau sudah tahukan kenapa aku membencimu!" Suara itu membuatku terkejut. "Karena kau sudah membuat satu-satunya Kakakku pergi meninggalkan perih di hidupku dan juga keluargaku."
"Apa hubungan kematiaan Kakakmu dengan aku? Aku tidak pernah membunuh orang, aku juga tidak pernah terlibat dalam kecelakaan? Jelaskan padaku, bagaimana bisa aku masuk dalam kejadian itu?" Aku benar-benar tidak mengerti.
"Aku tidak akan memberitahumu lebih banyak, cukup kau ingat saja bahwa kematian kakakku ini semua karenamu. Bahwa aku sangat membencimu dan sangat ingin membuatmu menderita." Bagas melihatku dengan semua kebencian di iris birunya.
"Kau yakin kalau kematian kakakmu benar-benar karena aku? Lalu kenapa kau tidak memenjarakan aku?"
"Itu karena aku ingin membuatmu menderita dengan tanganku bukan dengan penjara!"
Aku terhenyak, apakah aku benar-benar sudah membuat nyawa orang lain melayang? Apakah ini penyebab aku kehilangan orang yang aku cintai?