Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6

Satu minggu sudah Bagas tidak pulang ke apartemen, malam waktu dia mengatakan tentang alasan kebenciannya dia keluar begitu saja dari kamar.

Otakku tak bisa menemukan kapan aku membuat orang lain mengalami kematian.

Bepp,, bepp,, pintu apartemen terbuka. Ah, Bagas, itu pasti dia.

Aku segera mendekat ke pintu ternyata Bagas tidak datang sendirian tapi bersama seorang pria.

"Dia?" Pria itu tampak mengenaliku sementara aku tidak mengenali dia.

"Dia pelayan gue, kenapa selera loe sama dia? Sikat, kalau loe suka."

"Gas, bukannya dia?"

"Loe nggak kenal, udah sana ke ruang PS."

"Tapi kok gue berasa kenal, ya? Ah perasaan gue aja, kali. Ya udah, gue ke ruang main PS duluan." Setelahnya pria itu melangkah, ia berhenti sesaat di sebelahku, mengamatiku lalu menggelengkan kepalanya dan setelahnya dia segera melangkah.

"Kenapa kau melihatku seperti itu!" Bagas menatapku bengis.

"Aku ini apasih, Gas, sebenarnya? Kok kamu main sikat-sikat aja gitu?"

"Kau itu sama seperti bidang bisnisku, properti!"

"Kontrak pernikahan kita, tidak ada point kamu boleh membuatku seperti ini!"

"Lantas? Kau mau membatalkan kontrak? Kau punya uang? Kau mau dipenjara?"

"Kamu sudah keterlaluan, Bagas. Aku disini hanya untuk memberikanmu anak bukan untuk menerima penghinaan!"

"Diamlah, Rana. Jika kau punya uang kau baru boleh bersuara. Aku tidak pernah menahanmu jika kau memiliki uang!"

Uang,, dia tahu benar kalau aku tidak memiliki uang untuk mengganti pinjamannya, di tambah aku bukan harus mengembalikan 1,5 Milyar tapi 3 Milyar jika aku membatalkan kontrak.

"Ini tidak adil untukku, Bagas. Aku tidak tahu bagaimana aku menjadi penyebab kematian Kakakmu dan aku tidak bisa menerima hukuman darimu tanpa aku tahu kesalahanku!"

"Kau tidak perlu tahu kesalahanmu dimana, Rana. Berhenti mengoceh dan siapkan makanan untukku dan Gilang." Bagas selalu seperti ini, meninggalkan aku saat aku belum selesai bicara.

"Aku hanya ingin tahu, Bagas. Agar aku bisa menebus kesalahanku, agar aku bisa meminta pengampunan dari kakakmu." Aku menatapnya datar.

Aku selesai membuatkan cemilan untuk Bagas dan temannya, Gilang. Aku menggoreng irisan kentang lalu membawa pie yang masih ada di kulkas dengan dua cangkir lemon tea untuk mereka.

"Gas, gue inget. Dia Kirana, Kan?" Aku berhenti melangkah, Gilang dia tahu namaku.

"Loe salah orang."

"Gue nggak mungkin salah, itu pasti dia. Yang kata loe nyebabin Kak Reina kecelakaan, kan? Yang kata loe dia itu ce-"

"Nggak usah ngebahas masalah yang itu, Lang. Gue udah lupain semuanya."

"Loe yakin?"

"Gue yakin."

"Tapi kok gue yang nggak yakin ya, Gas."

"Gak usah bahas Kirana. Gimana loe sama si Tania?"

"Beh, udah gue putusin. Kasian tuh anak nangis-nangis. Tapi, loe serius tentang Kirana? Gue boleh deketin dia?"

"Ya elah, gue udah bilang kalau loe suka ya sikat. Dia pelayan ini."

"Cantik dia, Gas. Bodynya bagus lagi."

"Bagusan juga bodinya Citra."

"Sial, loe. Si Risa apa kabar?"

"Udah gue buang ke laut. Bosen gue sama dia."

Aku masuk ke dalam ruang bermain PS membuat Gilang menoleh ke arahku tapi tidak dengan Bagas yang sibuk memainkan stick di tangannya.

"Kok di buang? Risa kan baru jadi pacar loe satu minggu."

"Kalo gue bosen, satu hari aja gue buang, Lang. Kek nggak tahu gue aja."

"Beh, sayang bangetkan, padahal itu si Risa model yang lagi naik daun."

"Apa hubungannya sama gue?"

Aku tak tertarik mendengarkan percakapan mereka tapi aku masih mendengar karena aku tidak bisa menulikan telingaku.

"Ada lagi yang kalian butuhkan?" aku bertanya pada Bagas dan Gilang.

"Nggak ada! Keluar sana!" selalu, Bagas tak bisa menggunakan kata yang benar.

Aku memang tidak ingin berlama-lama di dekat dua pria penjahat kelamin seperti Bagas dan Gilang, mereka benar-benar tipe pria yang aku benci tapi sayangnya Bagas adalah suamiku.

Aku kembali ke kamarku, mengambil ponselku dan menelpon Nadia. Aku merindukan Nenek.

"Hallo, Kak Rana."

"Nad, nenek dimana?"

"Ada lagi nonton tv sama Ibu. Kak Rana mau bicara sama Nenek?"

"Ya, Nad. Kangen nih sama Nenek."

"Gak kangen sama aku?"

"Kangen juga, Nad. Kamu kan adik kecilnya Kak Rana."

"Bentar, ya. Nadia keluar kamar dulu."

Setelahnya Nadia memberikan ponselnya ke nenek dan aku berbicara pada nenek, menanyakan tentang kabarnya dan yang lainnya. Aku merindukan Nenek, aku tidak pernah terpisah lama darinya dan ini sudah hampir 2 minggu aku tidak melihat nenek.

**

Pagi ini aku memutuskan untuk ke supermarket karena aku harus mengisi kulkas Bagas dengan bahan makanan.

"Nana." Aku berhenti memilih sayur.

"Sisil."

"Ya ampun, kebetulan kita ketemu disini. Waktu itu lo ada mau ngasih tau gue sesuatu, kan? Apaan tuh?"

"Kita cari tempat bicara dulu, yuk."

"Ngopi aja gimana?"

"Boleh, Sil."

Aku dan Sisil sudah duduk di sebuah cafe, memesan kopi kesukaan masing-masing.

"Jadi gimana ceritanya loe dapetin duit buat operasi nenek lo?"

"Dari orang yang loe cariin buat gue."

"Om-om itu? Gimana bisa?"

"Om-om?" Aku mengernyit bingung, Bagas masih muda, dia usianya 21 tahun hanya beda satu tahun dariku.

"Iya, Om-Om yang bayar 150 juta itu."

"Dia masih muda, Sil. Usianya baru 21 tahun."

"What?" Sisil terkejut. "Ah, mungkin om-om yang memesan loe waktu itu suruhannya si pria itu. Terus?"

"Gue nikah sama dia."

"A-apa?!" Dia menaikan nada suaranya.

"Bukan pernikahan serius, Sil. Dia butuh anak, jadi setelah gue ngelahirin anak buat dia, kami akan cerai."

"Loe gila, Na! Loe gila!" Sisil menatapku kecewa. "Gimana bisa loe lakuin itu? Na, nantinya loe yang bakal susah."

"Gue udah biasa susah, Sil. Harus ada yang gue korbanin untuk yang ingin gue selametin."

"Tapi kenapa harus anak sih, Na?"

"Sil, gue nggak mau bahas ini lebih jauh. Gue cuma mau kasih tau lo aja, dan gue harap loe gak usah bicarain ini sama siapapun karena dia gak mau ada yang tau tentang pernikahan kami."

"Clarissa?"

"Dia juga nggak tahu, lagian gue udah nggak bisa hubungin dia lagi karena nomor ponselnya nggak aktif."

"Gue denger dia kecopetan, dan ya, sekarang dia udah nggak di Bandung lagi tapi udah di LA. Dia lanjutin kuliahnya disana."

"Ah, itu, iya dia pernah kasih tahu gue."

"Na, suami loe nggak kasarkan sama loe?"

"Nggak, Sil. Loe nggak liat gue luka-luka, kan?"

"Dia baik apa nggak sama loe?"

"Kami jarang bicara tapi dia lumayan baik." Aku tidak ingin membuat Sisil memikirkan aku jadi berbohong sedikit bukan masalah.

"Mungkin udah saatnya loe mencintai pria lain, suami loe maksud gue. Keputusan dia bisa berubah kalo kalian udah saling cinta."

"Gue gak bisa jatuh cinta lagi, Sil. Udah mati hati gue." Cinta,, aku tidak ingin jatuh cinta lagi karena aku tidak ingin merasakan sakit saat aku kehilangan,cukup Dirga saja, aku tidak ingin ada pria lain lagi yang membuatku terpuruk dan nyaris tak bisa bangkit.

"Gak ada salahnya loe mencoba, Na. Dirga udah nggak bisa hidup lagi."

Aku tersenyum miris. "Dia masih hidup, Sil. Di hati gue."

"Na, Dirga juga gak bakal seneng kalo lo gini. Dia juga pastinya pengen loat loe sama laki-laki lain, laki-laki yang gantiin dia jagain loe."

"Gak ada yang seperti Dirga, Sil. Nggak ada yang sama. Dirga terlalu sempurna untuk gue."

"Itu karena loe nggak pernah mau deket sama laki-laki lain, Na. Gue bukannya mau bilang banyak yang lebih sempurna dari Dirga tapi diluar sana nggak mungkin nggak ada pria yang bisa buat loe lupain Dirga."

"Sil, lihat deh, pasangan remaja itu. Gue jadi inget Dirga." Aku menunjuk ke sepasang remaja yang saat ini tengah mendengarkan lagu dari satu headset sambil menikmati kopi mereka. Aku pernah seperti itu, melalui cinta yang sangat manis.

"Na, lagu yang ini bagus, ya." Dirga memutar lagu, menggantikan lagu yang sedang kami dengarkan.

"Bagus, Ga." Aku dan Dirga sama-sama diam, tangan kami saling berkaitan dengan satu tangan memegang telinga gelas lalu menyeruput kopi hitam kesukaan kami.

"Na, nanti kalau kita udah tamatt sekolah kita nikah yuk, Na."

"Ada-ada aja kamu, Ga. Mau kasih makan aku apaan?"

"Kan aku bisa jadi penerus perusahaan Papa, Na. Hidup kamu pasti terjamin."

"Nenek aku gimana?"

"Tinggal sama kitalah. Kita urus nenek kamu bareng-bareng."

"Loe nggak akan bisa lupain Dirga kalau loe kayak gini terus, Na." Suara Sisil membuyarkan ingatanku tentang Dirga saat kami masih sekolah menengah atas.

Aku mengembalikan pandanganku ke Sisil. "Gue nggak ada niat lupain Dirga, Sil."

Sisil menghela nafas. "Gue susah kalau ngomong sama loe, batu."

"Loe belum ngerasain cinta yang begitu kuat, Sil. Ntar pas loe udah ngerasain loe pasti bakal ngerti."

"Gue nggak mau kayak loe, Na. Gue hidup realistis aja, Na. Yang mati biarin mati, yang hidup harus lanjutin hidup. Cinta sama orang yang udah mati sama aja loe ikutan mati. Ogah, gue." Sisil, dia memang wanita yang pikirannya sangat simple, dia bukan tipe wanita yang suka main perasaan.

Andai aku tahu cinta yang terlalu kuat akan membuatku seperti ini maka aku juga tidak akan terlalu dalam mencintai.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel