Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4

Jam 6 pagi, aku sudah bangun dari tidurku, membersihkan tubuhku lalu segera membuatkan sarapan untuk Bagas, sekali lagi aku tidak tahu apa yang Bagas sukai jadi aku hanya membuatkannya nasi goreng dengan potongan udang. Aku masih berharap kalau dia menyukai ini.

Setelah selesai masak aku menata meja makan, menyiapkan susu untuk Bagas lalu segera kembali ke kamar untuk membangunkan Bagas karena saat ini sudah jam 7 pagi, sebelum membangunkan Bagas aku menyiapkan air untuknya mandi. Lihat, aku benar-benar menjadi seorang istri yang baik, bukan? Meski ini pernikahan sementara aku tetap saja soerang istri.

"Bagas,, Bagas,," Aku membangunkan Bagas dengan sisa keberanianku, aku harusnya tidak membangunkan Bagas karena bisa saja dia akan memakiku karena mengganggu tidurnya seperti semalam.

"Ada apa, Na?" Dia membuka matanya, kali ini dia tidak memakiku.

"Sudah jam 7 pagi."

Dia melirik ke jam lalu segera bangun dari ranjangnya tanpa mengatakan apapun dia segera masuk ke kamar mandi.

Selagi Bagas mandi aku segera menyiapkan pakaian untuknya bekerja, mencocokan antara jas, kemeja, celana dan dasi.

"Semoga dia suka." Aku sudah selesai memilihkan baju kerja untuk Bagas, jas abu-abu, kemeja putih, dasi abu-abu dan celana berwarna abu-abu. Kulitnya yang putih sangat cocok dengan pakaian itu.

Setelah memilihkan pakaian aku kembali ke meja makan, menyiapkan surat kabar yang sudah diantar oleh kurir. Orang-orang seperti Bagas memang suka dengan surat kabar tidak sepertiku yang membaca surat kabar hanya untuk mencari lowongan pekerjaan.

Suara langkah terdengar di telingaku, aku melihat Bagas datang mendekat ke meja makan, dia mengenakan pakaian yang aku pilihkan. Tuhan, dia sangat cocok mengenakan setelan itu.

Tanpa banyak bicara Bagas menghabiskan susunya, ia tidak menyentuh nasi goreng yang aku buat.

"Tidak dimakan nasi gorengnya?"

"Aku akan keracunan jika memakan itu!" Dia berkata dingin.

"Aku tidak memasukan sianida disana."

"Ini akan membuatku mati!" Dia menunjuk ke udang.

"Kau alergi seafood?"

"Kau punya otak jadi pikir saja sendiri!"

Aku menghela nafas, apa memang begini cara bicara Bagas? Kasar, ketus dan dingin. Entahlah, rasanya aku tidak memiliki masalah sebelumnya dengan dia tapi dia sudah bersikap seperti ini padaku sejak aku melihatnya di kamar hotel.

"Kau akan makan malam atau tidak?" Aku bertanya karena aku tidak ingin membuang makanan lagi. Aku tahu bagaimana sulitnya mendapatkan makanan itu.

"Jika kau ingin masak, ya masak. Jika tidak mau, ya tidak usah masak." Ah, aku tidak pernah dapatkan jawaban dari pria ini.

"Aku akan masak, jangan makan di luar."

"Siapa kau melarangku?!" Dia menatapku tajam.

"Aku bukan siapa-siapa, aku hanya tidak ingin membuang makanan lagi."

"Membuang makanan itu tidak akan merugikanmu, itu semua aku beli dengan uangku." Dia bangkit dari kursinya dengan piring nasi goreng ditangannya lalu membuang ke tong sampah piring beserta nasi yang aku buatkan.

"Jangan mengajari aku, kau hanya perlu melakukan tugasmu." Setelahnya dia meninggalkan meja makan.

Berkali-kali aku menghela nafas. "Nana udah biasa diginiin, jangan sedih, Na. Jangan sedih." Aku menguatkan diriku sendiri, dunia memang seperti ini padaku. Menolakku. Aku tidak tahu kenapa Tuhan membuatku ada di dunia ini kalau hanya untuk di tolak oleh seisi dunia.

**

Berjam-jam berada di dalam apartemen Bagas membuatku bosan, tak ada yang bisa aku lakukan di rumah ini selain menonton televisi. Begini ternyata rasanya tak bekerja, benar-benar membuat penat.

Karena hari sudah jam 5 sore aku segera mandi, aku masih harus memasak makan malam untukku dan juga Bagas.

Mandi selesai, sekarang aku sudah berada di dapur. Mengiris tempe menjadi bagian kecil. Hari ini aku akan memasak ayam bakar madu, sambal tempe, telur orak-arik dan sayur sop. Ah, aku suka sekali dengan makanan yang akan aku buat ini.

Masakan selesai, aku menatanya di meja makan beserta dengan lalapan, timun, kol dan daun kemangi. Disana juga ada sambal terasi sebagai penyedap makan.

Bepp.. Bepp.. Bunyi pintu apartemen terbuka. Bagas sudah pulang. Aku segera melangkah menuju ke ruang tengah.

"Siapa dia, Gas??" seorang wanita menatapku tak suka.

"Pelayan." sret.. Rasanya hatiku baru saja tertusuk pisau. Pelayan? aku? Ya, tentu saja, apalah arti aku dihidup Bagas.

"Ah, pelayan." Dia menatapku lagi lalu melangkah menuju sofa dan duduk disana.

"Apa yang kau lihat? Letakan ini di kamarku lalu buatkan minuman untuk Risa." Bagas meletakan tasnya di sebelah tempatnya duduk, ia melonggarkan dasinya lalu membuka jasnya. "Sekalian ini."

"Baik." Aku segera menjalankan apa yang dia ucapkan.

"Sayang, malam ini aku menginap disini, ya."

Sayang??

"Jangan menimbulkan skandal, Risa. Pulang ke tempatmu setelah kita selesai."

"Skandal apanya? Kita memang sepasang kekasih." Percakapan mereka masih terdengar meski aku terus melangkah.

Aku tersenyum miris, suamiku memiliki wanita lain. Kenapa rasanya menyakitkan?? Mungkin ini naluriku sebagai wanita yang tak ingin di duakan meskipun dia hanya suami sementaraku.

"Ga, kalau kamu yang jadi suami aku pasti aku nggak akan ngerasain ini. Sakit rasanya, Ga." Aku mengadu lagi pada Dirga.

Kuletakan tas dan jas Bagas di tempatnya lalu segera keluar lagi karena aku harus membuatkan minuman untuk kekasih Bagas.

Ice lemon, aku membuatkan itu untuk kekasih Bagas dan juga Bagas.

Bagas..

Aku terhenyak saat melihat Bagas dan Risa sedang berciuman diatas sofa.

Bersikaplah santai, Na. Kau tidak berhak mengatakan apapun. Aku melanjutkan langkahku, meletakan dua gelas minuman ke atas meja.

"Tuan, Nona, minumannya sudah siap." Aku memberitahu mereka tapi mereka tidak peduli, mereka terus berciuman seakan aku hanyalah patung. Aku tidak ingin menonton mereka jadi aku segera kembali ke dapur.

"Wah, makan malamnya sudah ada. Aku lapar, Sayang. Kita makan dulu lalu setelahnya kita lanjutkan di kamar kamu." suara itu terdengar saat aku menyiapkan piring makan.

"Makanlah, aku tidak ingin kau sakit." Ternyata Bagas dingin hanya padaku karena pada kekasihnya dia sangat hangat, bahkan dia tersenyum. Ini pertama kalinya aku melihat dia tersenyum seperti ini.

Bagas dan Risa duduk di meja makan, Risa mengambil tempat duduk yang harusnya untukku. Pelayan tidak bisa makan dengan majikan dan aku tahu itu jadi aku tidak ikut makan bersama mereka, aku hanya menunggu mereka selesai makan.

"Kau pintar juga masak, ini enak." Risa menilai makananku.

"Terimakasih, Non." aku membalas ucapan Risa. Bagas tak mengatakan apapun, dia hanya makan dengan tenang.

Kali ini Bagas memakan masakanku hingga makanan di piringnya tak tersisa lagi.

"Udah, yuk, Sayang." Risa bangkit dari tempat duduknya begitu juga dengan Bagas, Risa menggandeng tangan Bagas lalu segera melangkah bersama.

Menyedihkan, aku selalu berakhir dengan tragis.

Mereka pergi dan aku membereskan bekas makanan mereka lalu setelahnya aku segera makan karena perutku sejak tadi sudah berdemo ria.

Selesai makan aku tidak naik ke kamar karena aku tidak ingin melihat hal yang akan membuat mataku sakit. Aku memutuskan untuk membuat kue pie untuk sarapan besok pagi.

2 jam kemudian aku selesai dengan kue-kueku. Suara ketukan heels terdengar di telingaku, sepertinya Risa san Bagas sudah selesai. "Gue balik, ya. Makasih, masakan lo enak." Dia pamit padaku, ternyata dia cukup ramah.

"Sama-sama, Non." Aku menampilkan senyuman palsuku. Senyuman inilah yang aku gunakan sebelum aku bertemu Dirga dan setelah aku kehilangan Dirga.

Aku lelah dan mataku sudah mengantuk, aku harus istirahat agar tubuhku kembali sehat.

"Astaga." Aku menghela nafas saat melihat pakaian Bagas tadi berceceran di lantai. Akhirnya aku memunguti pakaian itu dan membawanya ke dalam keranjang tempat pakaian kotor.

"Gas,, Bagas,," Aku menyenggol bahu Bagas yang tertidur.

"Apa lagi, Na!" Dia membuka matanya dan menatapku tajam.

"Kamu nggak mandi dulu?"

"Kau terlalu banyak bicara, Kirana!! Listen to me carefully,, jangan berbicara denganku lebih dari kata yang perlu kau ucapkan. Jangan terlalu banyak mengatur hidupku karena kau bukan siapa-siapaku!!"

"Kamu kenapa sih, Gas?? Salah aku sama kamu apaan? Kok kamu kayaknya benci banget sama aku? Kamu punya pacar, kenapa nggak minta anak sama dia aja?" dan akhirnya aku muak, apa sebenarnya salahku pada Bagas.

Bagas bangkit dari ranjang, berdiri di depanku dengan mata birunya yang terlihat marah. "Kau mau tahu kenapa aku benci padamu?!" Dia mencengkram rahangku dengan keras.

"Karena kau pelacur!! Dan salahmu adalah karena kau Kirana Cantika!" Brakk.. Dia mendorongku hingga terjerembab di atas ranjang.

"Pelacur!! Kamu tahu kalau aku perawan dan kamu masih bilang aku pelacur!!" Aku menatapnya marah, sampai kapan dia akan menganggapku seperti itu.

"Kau menjual dirimu, kalau kau ingat, Rana!"

"Aku melakukan itu karena-"

"Tak ada alasan yang membenarkan kau menjual diri, Rana!! Wanita yang menjual dirinya hanya ingin mendapatkan uang dengan cara cepat, mengangkang dan mendesah lalu mendapatkan imbalan. Tidak usah melakukan pembelaan karena kau memang bagian dari wanita-wanita menjijikan itu!!" dia pergi keluar dari kamar setelah mengatakan itu.

Kata-katanya begitu menyakitiku, bagaikan silet tajam yang menyayat-nyayat hatiku hingga luka yang tak pernah sembuh semakin terbuka lebar dan menganga.

"Karena kau tidak pernah berada diposisiku jadi kau bisa mengatakan itu. Aku juga tidak mungkin mengambil jalan seperti ini jika saja Tuhan memberikan pilihan lain tapi pada kenyataannya Tuhan tidak memberiku pilihan lain karena Tuhan tidak pernah mendengarkan doa-doaku."

Aku tidak lagi menangis karena kata-kata pedas Bagas, aku sadar kalau air mataku tidak pantas aku keluarkan untuk pria seperti Bagas. Aku hanya harus cepat melahirkan anak lalu pergi secepatnya agar aku tidak menerima penghinaan lagi. Hidupku sudah sulit dan aku tidak ingin semakin menyedihkan karena aku terus menerima hinaan dari Bagas.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel