3
"Nek, Nana dapet kerjaan di luar kota. Nenek sementara ditemenin sama Nadia dan Bi Risma nggak apa-apa, ya." Aku berbohong lagi pada nenekku. Aku tidak akan bekerja di luar kota tapi aku akan pindah ke apartemen Bagas sampai aku melahirkan. Dua jam lalu aku sudah resmi menjadi istri Bagas, kami menikah siri, kata Bagas dia tidak mau repot mengurusi proses perceraian di pengadilan agama.
"Berapa lama, Na?"
"Kontraknya sih satu tahun, Nek. Nana nggak bisa pulang sebelum kontraknya selesai, Nana bakal sering telepon Nadia biar bisa ngobrol sama Nenek."
"Ini semua karena Nenek, kalau Nenek tidak dioperasi maka kamu tidak akan seperti ini."
Ku peluk tubuh nenekku. "Nenek kenapa ngomongnya gitu? Itu bukan salah nenek, Nana, kan memang harus kerja. Sekarang nenek udah baik-baik aja jadi Nana bisa leluasa ninggalin nenek tanpa cemas."
"Jaga diri baik-baik.."
"Iya, Nek."
"Tetap jadi Nana yang nenek kenal."
Aku tersenyum lembut lalu mengecup kening nenekku. "Nana inget semua pesen nenek." Tapi pada akhirnya nenekku akan kecewa padaku karena kenyataannya aku akan menjadi wanita yang paling jahat, meninggalkan anakku sendiri. Sudahlah, inilah jalan yang aku pilih, baik atau buruk akulah yang akan menanggungnya, selama keadaan nenek baik-baik saja maka itu baik untukku.
"Kapan kamu berangkatnya?"
"Hari ini, setelah mengantar nenek kembali ke rumah."
"Kak, udah nih barang-barangnya." Nadia selesai mengemas barang nenekku.
"Ya udah, kita tunggu taksinya di depan, ayo, Nek." Aku membantu Nenek untuk turun dari ranjang.
Sesampainya di rumah aku segera pamit pada Bi Risma dan Nadia. Dua orang ini adalah orang yang sudah seperti keluarga bagi aku dan nenek, kami hidup bersebelahan sejak 10 tahun lalu. Sejak pertama aku dan nenek pindah ke Bandung.
Aku melihat sekali lagi ke kontrakanku, lalu melempar senyum pada Bi Risma, Nadia dan juga Nenek yang berdiri di depan pintu kontrakan kami setelahnya aku segera masuk ke dalam taxi.
Aku berjanji akan membawa nenek, Bi Risma dan Nadia keluar dari kawasan kumuh itu. Setidaknya kami harus hidup lebih baik setelah aku selesai dengan membayar hutangku.
Malam sudah datang, sejak tadi aku sibuk membersihkan apartemen Bagas, mulai dari hari ini tak ada pelayan yang akan membersihkan tempat ini karena akulah yang akan membersihkannya. Bagas memberhentikan seluruh pelayannya karena dia mengatakan aku sebagai seorang istri harus bisa mengurusi rumah saat dia tidak ada dan aku aku paham itu. Aku wanita yang dibesarkan oleh nenekku yang selalu memberitahukan aku tugas seorang wanita yang bersuami. Nenekku sering menceritakan kehidupannya dan juga almarhum kakekku yang sudah tiada 20 tahun lalu. Nenek adalah istri yang sangat baik, yang mengurusi anak dan suaminya tanpa kata lelah.
Beep,, beep,, pintu apartemen terbuka. Aku melihat ke arah pintu, suamiku, ehm Bagas maksudku sudah pulang dari bekerjanya, hari pertama kami menikah dia sudah bekerja, aku tahu pernikahan ini tidak penting bagi Bagas. Aku belum menjelaskan tentang pekejaan Bagas, dia adalah CEO dari Angelo Company. Aku tahu ini saat aku menandatangani berkas-berkas perjanjianku dengan Bagas. Jadi sangat wajar jika dia memiliki banyak uang.
"Sini tasnya biar aku yang bawa." Aku meminta tas dari tangan Bagas. Dia memberikan itu lalu segera melangkah ke sofa, melepaskan sepatunya.
"Biar aku saja." Aku melepaskan kaos kaki yang ia kenakan.
"Siapkan air mandi untukku." Dia bangkit dari sofa setelah aku selesai membuka kaos kaki yang dia kenakan.
"Hm," Aku segera membawa tasnya ke kamar, setelah itu aku menyiapkan air hangat untuknya.
"Air mandinya sudah siap." Aku mendekat ke Bagas yang hendak melepaskan pakaiannya.
"Aku bisa sendiri, jauhkan tangan kotormu dariku!"
Aku terdiam membeku, tanganku segera ku jauhkan dari tubuhnya.
"Jangan terlalu nikmati peranmu jadi istriku karena aku bukan butuh istri tapi butuh anak. Kau boleh melakukan tugasmu yang lain sebagai seorang istri tapi jangan terlalu sering berada di dekatku karena aku tidak tahan dekat dengan bekas pelacur."
Air mata hampir jatuh dari mataku. Apakah kata-katanya harus semenyakitkan itu?
"Maaf." Aku hanya mengeluarkan kata itu lalu segera keluar dari kamarnya.
Aku menarik nafasku lalu membuangnya lagi. "Udah biasa, Na. Kok masih sakit aja sih." Aku menasehati diriku sendiri.
"Nana harus bahagia, gitu kata Dirga. Aku bahagia kok, Ga. Nih, aku senyum." Aku tersenyum menatap ke langit-langit apartemen Bagas. Dirga, aku butuh Dirga sekarang.
Aku terpuruk di sofa. "Ga, Nana gak bisa bahagia tanpa Dirga. Nana kangen Dirga." Aku menangkup wajahku dengan kedua tanganku, perlahan air mata merembes dari mataku.
Nana, aku nggak suka kamu nangis. Kamu jangan nangis ya, kan ada aku. Suara itu terngiang di benakku membuatku menjauhkan kedua tanganku dari wajahku.
"Maaf, Ga. Nana suka gini, baperan." Aku segera menghapus air mataku. Aku harus kuat, ini baru permulaannya saja, aku yakin Bagas masih punya stok kata-kata yang lebih pedas dari ini.
Aku segera menyiapkan makan malam untuk Bagas, aku tidak tahu apa yang Bagas sukai dan tidak sukai jadi hari ini aku hanya memasak gurame asam manis, tumis katu, dan perkedel jagung. Aku harap ini sesuai dengan lidah Bagas.
"Gas, makan malamnya sudah siap."
"Aku sudah makan di kantor. Buang saja makanannya."
Lagi-lagi hatiku terasa nyeri, Tuhan, kuatkan aku.
"Orang kaya emang mudah ya buang makanan."
"Kalau kamu nggak mau buang ya abisin sendiri, sana aku mau tidur jangan ganggu!"
Aku menghela nafasku dan segera keluar kembali dari kamar Bagas, aku akhirnya makan makanan itu sendirian, aku tidak bisa menghabiskannya dan jadi aku membuangnya.
Setelah selesai makan aku naik ke atas ranjang, ponsel Bagas berdering. "Gas, Bagas." Aku menyenggol tubuh Bagas.
"Apaansih, Na! Ganggu tau!"
"Ponsel kamu bunyi tuh."
"Berisik!" Dia kembali tidur. "Sial!!" Selanjutnya dia memaki. "Kau membuatku tidak bisa tidur, pelacur!"
"Gas, bisa jaga bicara kamu, nggak? Kamu manggil istri kamu pelacur gitu apa gak keterlaluan?" Aku akhirnya jengah, aku hanya baru satu kali menjerumuskan diriku tapi image pelacur melekat di diriku karena Bagas yang selalu mengingatkan aku pada hal itu.
"Wanita yang menjual dirinya apa namanya kalau bukan pelacur!" Bagas menatapku menghina. "Jangan banyak omong, sekarang jalanin tugasmu sebagai seorang pelacur."
Mungkin ini balasan dari Tuhan karena aku mengambil keputusan yang salah.
Bagas mendorong tubuhku lalu menindihku. Menciumiku dengan kasar memperlakukan aku layaknya seorang pelacur.
"Ashh, Bagas."Aku meringis karena Bagas meremas dadaku dengan kuat.
"Enak, kan? Seberapa sering kau merasakan ini? tiap malam?" Dia mencelaku lalu melumat kembali bibirku sebelum aku menjawab ucapannya.
Bagas membuka kaosnya, membuka celana pendek santai yang ia kenakan.
"Aku tidak ingin lama-lama terjebak denganpelacur seperti kau. Jadi hamillah secepat mungkin." Katanya sambil melepaskan pakaian yang aku kenakan. Ia membuka semuanya hingga aku tidak mengenakan apapun lagi.
Bagas mengangkat kakiku dan memasukan kejantanannya tanpa melakukan foreplay. Aku meringis, sakitnya sampai ke otak.
"Ckck, ternyata kau benar-benar perawan. Kau kira iklan di internet itu hanya untuk menaikan nilai jualmu saja. Pelacur pemula rupanya." Bagas berdecak dengan senyuman mencelanya, sampai kapan dia akan menganggapku pelacur.
Aku terisak di dalam kamar mandi, kenapa hidupku semenyedihkan ini? Menikah dengan pria yang sama sekali tidak mencintaiku, jangankan mencintai menghargai saja tidak. Sepanjang dia bersetubuh denganku dia selalu memanggilku pelacur, membuat dada dan telingaku sesak karena mendengarkan ucapan pedihnya.
"Ga, Nana gak bisa hidup seperti ini." Aku menangkup wajahku dengan kedua tanganku, kembali mengingat Dirga yang tak pernah menyakitiku sedikitpun.
"Na, nanti kalau Dirga udah kaya lagi, Dirga bakal ngelamar Nana, hidup bahagia sama Nana terus punya banyak anak. Nana maukan nikah sama Dirga?"
"Maulah, Ga. Hidup susah sama kamu aja aku mau."
"Aku nggak akan nikahin kamu kalau aku belum bisa nafkahin kamu, Na. Tungguin aku ya, Na."
"Kamu manis banget, Ga. Aku bakal nunggu kamu, Ga."
Kenangan satu tahun lalu membuatku semakin merindukan Dirga. Tuhan, sampaikan salam sayangku untuknya. Sampaikan sejuta rinduku untuknya dan katakan padanya bahwa aku selalu mencintainya. Selalu hanya Dirga di hatiku.
Aku tahu kesalahan masih mencintai Dirga saat aku sudah menjadi istri pria lain tapi aku tidak bisa menghapus cintaku pada Dirga, aku tidak bisa melupakannya karena kenangan kami yang terlalu indah. Tuhan, maafkan aku karena tak pernah bisa merelakan Dirga. Aku sudah berusaha merelakan, tapi nyatanya merelakan tak semudah mengatakannya.