Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2

Setelah mendapat kabar dari Sisil disinilah aku berada sekarang dengan pakaian yang pas untuk seorang pelacur. Aku tidak pernah memiliki pakaian seminim ini tapi karena pekerjaan yang baru saja aku ambil aku harus menggunakan pakaian ini.

Aku merasa berdosa pada Nenek karena membohonginya, tapi sudahlah, akan ada banyak dosa lain yang aku buat setelah ini.

Aku membuka ruangan yang diberitahukan oleh Sisil lewat pesan singkat. Sebuah ruangan hotel yang besarnya lebih besar dari rumah kontrakanku. Betapa beruntungnya orang-orang yang lahir dengan kemewahan dalam hidupnya, kemewahan yang pernah aku rasakan 16 tahun lalu.

Aku tidak tahu harus melakukan apa di ruangan ini selain duduk menunggu diatas sofa.

Satu jam sudah aku menunggu tapi tak ada yang datang, aku mencoba menghubungi nomor ponsel yang Sisil berikan padaku tapi tidak dijawab. Aku mengirim pesan pada Sisil dan dia memintaku untuk menunggu karena pria itu sudah mengirimkan Dp 50 juta untuk malam ini.

Lelah menunggu akhirnya aku tertidur, tapi baru 10 menit aku menutup mataku kini sudah terbuka lagi karena pintu ruangan ini terbuka dan seseorang melangkah masuk. Ini adalah pelanggan pertamaku, pria yang akan merenggut kesucian yang aku jaga untuk pria yang sudah tiada.

Dingin menyergap tubuhku tapi aku mengepalkan tanganku, ini keputusanku. Tak akan ada yang bisa membiayai pengobatan nenek jika aku tidak melakukan hal ini.

"Lepaskan pakaianmu." Suara itu begitu dingin namun begitu tenang. Aku mengangkat wajahku melihat ke sosok pria yang membayar 150 juta untuk tidur denganku.

"Apa yang kau lihat? Kau tidak dengar apa yang aku katakan?!" Dia menatapku tanpa ekspresi.

"B-baik."

Aku bangkit dari dudukku, memejamkan mataku beberapa saat, memantapkan pilihanku lalu membuka satu persatu pakaianku dimulai dari kaos ketat yang aku pakai menyisakan bra berwarna putih, ku turunkan rok ketatku hingga menyisakan celana dalam berwarna sama dengan braku.

Terbesit keraguan di benakku, apakah benar aku melakukan ini? Tapi saat bayangan nenek muncul, aku tidak punya pilihan lain. Aku membuka bra yang aku pakai dan juga celana dalam yang aku kenakan. Aku kini telah melumuri hidupku dengan dosa.

"Membosankan!!" Dia berkomentar sinis, mengeluarkan sesuatu dari paper bag yang ia bawa tadi lalu melemparkan aku dengan uang yang banyak.

"Aku tidak tahu kalau pelacur yang akan dikirim untukku seperti ini, terlalu memuakan." Katanya sinis lalu melangkah keluar dari ruangan hotel meninggalkan aku yang membeku.

Dia melemparkan uang yang begitu berarti untukku dengan sangat santai, bahkan dia tidak menyentuhku sedikitpun. Dia pria yang begitu arogan, menjatuhkan harga diriku ke dasar jurang, aku segera memakai pakaianku dengan cepat, mengejar pria tadi dengan paper bag yang berisi uang miliknya.

"Tunggu!" Aku menahan tangan pria arogan tadi.

"Ada apa? Aku sudah membayarmu, lepaskan tangan kotormu dari tanganku!!" Pria ini tidak memiliki mulut yang sopan, ia menyentak tanganku hingga terlepas dari tangannya.

"Aku tidak menerima uang yang bukan dari hasil kerjaku!! Ambil ini!!" Aku kembalikan uang yang ia berikan padaku tadi.

"Kau pelacur yang angkuh rupanya, aku tidak pernah mengambil kembali apa yang sudah aku berikan. Kau mau ambil atau tidak itu urusanmu, kau buang juga itu pilihanmu." Dia pergi lagi. Sebuah mobil berhenti di depan tangga hotel lalu ia masuk ke mobil mewah itu.

Ring,, ring,, ponselku berdering.

"Kenapa, Nad?" Jangan beritah buruk lagi, jangan.

"Nenek tidak sadarkan diri lagi."

"A-aku segera kesana, Nad."

**

               Dokter semakin menakutiku dengan mengatakan usia nenek tidak lama lagi. Bagaimana bisa dokter menentukan hidup mati seorang manusia? Apa dia Tuhan?? Nenekku, akan baik-baik saja, tidak akan ada yang memisahkan aku dari nenekku.

Pria tadi,, benar dia. Aku yakin dia bisa meminjamkan aku uang, aku tidak peduli jika dia akan menghinaku. Aku harus mencoba dulu, ya aku harus mencoba.

Ku keluarkan ponsel murahku, ku dial nomor pria itu.

"Hallo." Itu benar suaranya.

"I-ini aku."

"Aku tahu, pelacur angkuh. Katakan!"

"A-aku ingin bertemu denganmu."

"Aku sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun."

"Aku mohon, aku butuh bantuanmu." Memohon, aku sudah terbiasa merendahkan diriku sekarang.

"Akan aku kirimkan alamat tempatku." Klik, dia memutuskan sambungan teleponnya.

Beberapa detik kemudian pesan masuk aku terima, aku segera bangkit dari tempat dudukku dan pergi ke tempat yang tertera di pesan itu.

Apartemen di kawasan hunian elite disinilah aku berada sekarang. Menekan bel sebuah apartemen dengan perasaan gelisah dan wajah tak tahu malu. Aku tidak memikirkan tentang malu lagi, jika aku malu maka nenekku akan berakhir di timbunan tanah.

Pintu apartemen terbuka, "Masuk!"

Aku segera masuk dan berdiri di sebelah pria arogan yang saat ini hanya mengenakan kaos v neck dan celana santai selutut.

"Katakan hal yang membuat kau menggangguku tengah malam ini!" Dia bahkan tidak mempersilahkan aku duduk, tapi bukan itu yang penting saat ini.

"Aku ingin meminta bantuanmu."

"Bantuan?" Dia menaikan alisnya. "Aku pikir wanita angkuh sepertimu tidak butuh bantuan. Katakan berapa uang yang kau butuhkan."

Aku menatapnya dengan tatapan 'bagaimana diab isa tahu?'

"Setiap pelacur yang datang padaku pasti ingin uang. Jadi katakan berapa yang kau butuhkan."

Aku tertampar karena ucapannya tapi sekali lagi perasaanku tak penting.

"1,5 Milyar."

Dia tertawa kecil, apakah itu lucu?

"Dengan apa kau akan membayarnya? Dengan tubuhmu? Sayang sekali, aku tidak tertarik pada tubuhmu."

"Aku akan melakukan apapun yang kau mau, aku akan menjadi pelayanmu, atau apapun itu."

"Aku memiliki banyak pelayan."

"Aku mohon, hanya kau yang bisa menolongku."

"Bagaimana kau berpikir aku akanmenolongmu?"

"Karena kau menganggap uang tidak penting."

"Kau salah, uang penting. Tidak ada uang maka kau akan mati."

Aku meremas jariku, kini aku mulai takut kalau dia tidak akan meminjamkan uang itu padaku.

"Kau benar-benar akan melakukan apapun?"

"Ya, apapun." Aku menjawab cepat.

"Aku menginginkan seorang anak untuk penerus keluargaku."

Aku terdiam, anak? Maksudnya dia ingin aku mengandung anaknya.

"Akan aku berikan uang lebih dari 1,5 milyar jika kau mau melakukan itu." Sambungnya.

"Kenapa aku?"

"Karena hanya itu yang bisa melunasi uang itu."

"Kau akan menikahiku?"

"Tentu saja, aku tidak mau memiliki anak diluar nikah, setelah kau melahirkan kita akan bercerai."

Cerai.. aku akan jadi janda di usia muda.

"Kau akan menjauhkan aku dari anak yang lahir dariku?"

"Tentu saja, anakku tidak boleh tahu kalau dia lahir dari rahim seorang pelacur. Anak itu hanya akan jadi anakku." Aku tersentak, terdiam dengan pikiran yang bercabang.

Akan selalu ada pengorbanan disetiap kemudahan yang aku dapatkan.

"Jika kau tidak mau kau bisa keluar dari sini."

Dia tidak memberikan aku waktu untuk berpikir sama sekali.

"Aku mau."

Dia yang sudah membalik tubuhnya jadi mengurungkan langkahnya.

"Aku ambilkan uangmu dan besok kita akan menandatangani perjanjian." Dia kembali melangkah, beberapa saat kemudian dia keluar dengan tas yang aku yakini berisi uang. "Jangan coba-coba untuk kabur karena aku bisa menghancurkan hidupmu saat aku menemukanmu."

"Aku tidak akan kabur. Terimakasih karena sudah menolongku." Aku menerima uang yang dia berikan lalu setelahnya keluar dari sana dengan perasaan yang tak bisa aku jelaskan. Aku lega karena aku mendapatkan uang untuk operasi nenekku tapi aku merasa takut karena ada hal lain yang akan aku korbankan.

              Operasi nenekku berjalan lancar, saat ini dia sudah dalam tahap pemulihan. Satu minggu sudah berlalu sejak hari dimana aku menandatangani perjanjian yang akan membunuh seluruh jiwaku. Besok adalah hari pernikahanku dengan pria yang aku ketahui bernama Bagas. Pria itu mengingatkan aku pada nama seseorang tapi tidak mungkin karena orang itu berbeda dengan Bagas yang akan menjadi suamiku besok.

"Kak Rana, mikirin apaan sih?" Nadia duduk disebelahku.

"Gak mikirin apa-apa, Nad."

"Masih ragu kalau Tuhan itu dengerin doa Kakak?"

Aku menghembuskan nafasku, "Tuhan menolong Kakak tapi pada akhirnya dia akan mendatangkan duka yang lebih besar lagi." Aku sudah mencapai titik lelah hingga akhirnya aku tak percaya bahwa Tuhan itu ada.

"Kakak, nggak boleh ngomong gitu. Nggak ada duka yang abadi, Kak. Kakak udah lewati semuanya sejauh ini dan Kakak pasti bisa lewatin cobaan lainnya."

Aku tersenyum pada Nadia, dia baru berusia 16 tahun dan dia juga tidak pernah berada di posisiku jadi dia bisa berkata seperti itu. Coba rasakan jadi aku dan aku yakin dia tidak akan sanggup, aku yakin dia akan lebih memilih mati daripada bertahan hidup dengan semua duka dan derita.

"Duka memang nggak ada yang abadi, Nad. Tapi duka datang silih berganti, menindih duka lain yang bahkan belum pergi."

"Kakak inget Kak Dirga, ya?"

Dirga,, Nadia mengingatkan aku pada sosok pria yang aku rindukan tiap harinya hingga hatiku membeku karena kata rindu.

"Dirga kira-kira inget aku nggak, ya, Nad?" Aku memandang ke langit biru tempat dimana Dirgaku berada saat ini.

"Kak Dirga cinta banget sama Kak Nana, dia pasti inget Kakak. Walau dunia kalian udah beda tapi perasaan kalian masih tetap sama." Nadia menggenggam tanganku.

Yang bisa aku kenang dari Dirga adalah cintanya yang begitu kuat untukku, cinta juga yang membuatnya meninggalkan aku. Dirga kehilangan nyawanya saat dia ingin menjemputku di tempat aku bekerja paruh waktu. Malam itu hujan deras, Dirga tidak pernah membiarkan aku pulang sendirian, dia selalu menjemputku dengan motor maticnya yang ia dapat dari hasil bekerja keras, hujan deras membuat jalanan jadi licin, pengendara mobil tanpa lampu menghantam Dirga hingga dia meninggal di tempat.

Aku cinta kamu, Na, sampai aku mati. Sampai jiwa terlepas dari ragaku, sampai tubuhku terbungkus kain kafan, bahkan setelah semua itu aku tetap cinta kamu. Dan saat aku udah nggak ada aku pingin kamu hidup dengan baikm tetap tersenyum seperti Kirana yang aku kenal, tetap seperti Nana yang aku cintai selama 3 tahun ini.

Itu kata terakhir yang dia katakan, aku tidak berpikir kalau itu adalah kalimat terakhir dari Dirga untukku. Dirga selalu mengatakan kata yang manis, kalimat yang menguatkan aku saat masalah menghantamku. Cuma Dirga yang bisa membuatku tersenyum setelah semua rasa lelah.

Aku kangen kamu, Ga. Kenapa cepet banget kamu ninggalin aku? Kenapa cepet banget kamu pergi dari aku? Aku cinta kamu, Ga.

"Kak, masuk yuk. Nenek udah bangun." Nadia mengajakku masuk.

"Hm, ayo."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel