Bab 5. Sebuah Harapan
Lisa berjalan menuju parkiran kampus, langkahnya ringan. Ia tersenyum mengingat pertemuannya dengan Joe, fotografer yang karyanya telah lama ia kagumi. Ia melangkah menuju mobilnya, sebuah mobil merah delima yang mencolok di antara mobil-mobil lain. Mobil itu hadiah dari orang tuanya, sebagai tanda sayang dan dukungan atas prestasinya di kampus.
Ia masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan melaju meninggalkan kampus. Di sepanjang perjalanan, pikirannya masih tertuju pada Joe. Ia masih teringat senyum tipis Joe, dan tawarannya untuk membimbingnya belajar fotografi. Ia merasa sangat beruntung telah bertemu dengan Joe. Ia yakin bahwa belajar fotografi dari Joe akan menjadi pengalaman yang berharga.
Tak berapa lama, Lisa sampai di komplek perumahan elite Darmo. Komplek perumahan yang mewah dan tenang ini adalah tempat tinggalnya. Seorang satpam yang ramah segera membukakan pintu gerbang untuk memberikan jalan bagi mobil Lisa. Lisa mengucapkan terima kasih dan melaju masuk ke dalam komplek.
Ia memarkir mobilnya di garasi rumah. Rumahnya adalah rumah mewah dua lantai dengan halaman yang luas. Ia masuk ke dalam rumah, dan langsung menuju ruang tamu. Di ruang tamu, ia mendapati ayah dan ibunya sedang membersihkan rumah. Hari ini, kedua orang tuanya tidak bekerja di perusahaan milik keluarga mereka. Mereka memanfaatkan waktu luang untuk membersihkan rumah.
"Ayah, Ibu," sapa Lisa, sambil mencium pipi ayah dan ibunya.
"Lisa, kamu sudah pulang," kata ibunya, sambil tersenyum. "Gimana acara wisuda di kampus kamu?"
Lisa menceritakan pengalamannya di acara wisuda, mulai dari keseruan acara hingga pemotretan yang dilakukan oleh Joe dan timnya. Ia menceritakan betapa profesionalnya Joe dan timnya dalam bekerja. Ia juga menceritakan betapa bagusnya foto-foto yang dihasilkan oleh Joe.
"Ibu, tadi aku ketemu fotografernya, lho," kata Lisa, dengan semangat. "Dia keren banget! Namanya Joe. Dia punya studio foto sendiri, namanya Studio Joe."
Ayah Lisa mengerutkan kening. "Studio Joe? Aku belum pernah mendengarnya."
"Iya, Yah. Studio fotonya bagus banget. Foto-fotonya juga keren-keren. Aku sampai kepincut sama gayanya yang cuek tapi profesional," kata Lisa. "Tadi aku sempat ngobrol sama dia. Dia mau ngajarin aku fotografi!"
Ibu Lisa tampak senang mendengar cerita Lisa. "Wah, bagus sekali, Lis. Kamu harus memanfaatkan kesempatan ini. Belajar fotografi dari fotografer profesional pasti akan sangat bermanfaat untukmu."
Ayah Lisa masih tampak ragu. "Tapi, Lis, kamu yakin dia orang yang tepat? Kita harus hati-hati dalam memilih mentor."
Lisa tersenyum. "Yah, aku yakin kok. Dia terlihat profesional dan ramah. Lagipula, aku sudah melihat karya-karyanya. Keren banget!"
Lisa kemudian menceritakan detail pertemuannya dengan Joe, mulai dari bagaimana ia bertanya kepada Budi dan Anton tentang nama fotografer hingga bagaimana Joe menawarkan untuk membimbingnya belajar fotografi. Ia menceritakan betapa ramah dan baiknya Joe. Ia juga menceritakan tentang nomor telepon yang telah mereka tukar.
"Aku sudah tukeran nomor telepon sama dia, Yah, Bu," kata Lisa. "Nanti aku mau hubungi dia untuk menanyakan jadwal belajar fotografi."
Ayah dan Ibu Lisa akhirnya setuju. Mereka mendukung keinginan Lisa untuk belajar fotografi dari Joe. Mereka yakin bahwa Lisa akan mendapatkan banyak manfaat dari pengalaman tersebut. Mereka juga merasa lega karena Lisa telah bertemu dengan orang yang baik dan profesional.
"Baiklah, Lis," kata Ayah Lisa. "Ayah dan Ibu mendukungmu. Tapi, tetap hati-hati, ya. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."
Lisa tersenyum. "Tenang saja, Yah, Bu. Aku akan selalu berhati-hati."
Lisa merasa sangat senang karena orang tuanya mendukung keinginannya. Ia berjanji akan selalu menjaga diri dan selalu memberitahu orang tuanya tentang kegiatannya. Ia kemudian membantu orang tuanya membersihkan rumah, sambil sesekali masih memikirkan Joe dan rencana belajar fotografinya. Ia sangat antusias untuk memulai petualangan barunya di dunia fotografi.
***
Mentari sore mulai merunduk di ufuk barat, meninggalkan langit jingga yang memesona. Di kamarnya yang nyaman di lantai atas, Lisa duduk di depan meja belajarnya. Di tangannya, ia memegang ponsel pintarnya. Jantungnya berdebar-debar. Ia akan menelepon Joe. Ia ragu-ragu, takut panggilannya tidak dijawab atau bahkan ditolak. Namun, rasa penasaran dan keinginan untuk belajar fotografi dari Joe jauh lebih besar daripada rasa takutnya.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Kemudian, ia menekan tombol panggil pada nomor telepon Joe yang tersimpan di ponselnya. Detik-detik terasa begitu lama. Ponselnya berdering, dan jantung Lisa berdebar semakin kencang. Ia membayangkan berbagai kemungkinan, mulai dari Joe tidak mengangkat telepon hingga Joe menolak tawarannya untuk belajar fotografi.
Tiba-tiba, panggilannya dijawab. Suara Joe terdengar di seberang sana. Suara yang tenang dan ramah, namun sedikit terdengar lelah.
"Halo?"
Lisa tersentak. Ia hampir saja menjatuhkan ponselnya. "Halo, Mas Joe?"
"Iya, ini Joe. Ada apa, Mbak?"
Lisa menghela napas lega. Panggilannya dijawab. Ia mencoba untuk tetap tenang, meskipun jantungnya masih berdebar-debar.
"Mas Joe, ini Lisa. Kita ketemu di acara wisuda kemarin," kata Lisa, suaranya sedikit gemetar.
"Oh, Lisa. Iya, saya ingat," jawab Joe. "Ada apa, Mbak?"
Lisa memberanikan diri untuk menyampaikan maksudnya. "Mas Joe, saya ingin menanyakan tentang tawaran Anda untuk belajar fotografi. Kapan saya bisa mulai belajar?"
Joe terdiam sejenak. Ia terdengar sedang berpikir. "Maaf, Mbak Lisa. Saat ini saya sedang sibuk. Saya ada job pemotretan pernikahan di sebuah hotel. Jadwal saya padat sekali."
Lisa sedikit kecewa, namun ia berusaha untuk tetap tenang. "Oh, begitu, Mas. Tidak apa-apa. Kapan Mas Joe ada waktu luang?"
Joe kembali terdiam sejenak. Ia berpikir keras untuk mencari waktu luang di tengah kesibukannya. "Mungkin... minggu depan? Saya akan menghubungi Mbak Lisa lagi jika jadwal saya sudah lebih longgar. Bagaimana?"
Lisa merasa sedikit lega. Joe tidak menolak tawarannya. Ia hanya meminta waktu.
"Baik, Mas Joe. Tidak apa-apa. Saya akan menunggu kabar dari Anda," kata Lisa. "Terima kasih, Mas."
"Sama-sama, Mbak Lisa," jawab Joe. "Nanti saya hubungi lagi. Jangan khawatir."
Panggilan telepon berakhir. Lisa menghela napas panjang. Ia merasa lega karena panggilan teleponnya dijawab dan Joe berjanji untuk menghubunginya lagi. Ia sedikit kecewa karena harus menunggu, namun ia yakin bahwa menunggu itu sepadan. Ia akan belajar fotografi dari fotografer profesional yang karyanya telah lama ia kagumi.
Ia meletakkan ponselnya di meja, dan kembali duduk termenung. Ia memikirkan pertemuannya dengan Joe, dan bagaimana ia begitu terkesan dengan kepribadian dan keahlian Joe. Ia yakin bahwa belajar fotografi dari Joe akan menjadi pengalaman yang sangat berharga. Ia akan terus menunggu kabar dari Joe, dan ia akan mempersiapkan diri untuk belajar fotografi dengan sungguh-sungguh.
Lisa tersenyum, membayangkan dirinya kelak menjadi fotografer handal seperti Joe. Ia yakin, dengan kerja keras dan kesungguhan, ia akan mampu mencapai mimpinya. Ia bangkit dari kursinya, dan berjalan menuju jendela. Ia menatap langit senja yang indah, sambil memikirkan masa depan yang cerah di dunia fotografi. Ia merasa optimis dan penuh harapan.
*****