Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kata Pisah Yang Membuat Gila

Vania meringkuk di ranjang karena badannya terasa begitu letih dan lemas.

"Mengapa kamu begitu tega padaku." Lirihnya sambil menatap foto Ronald yang terdapat di ponsel, sedetik kemudian airmata pun mulai membasahi pipinya. Hatinya begitu sakit mengingat kejadian dimana ia mendapati Ronald yang tertidur lelap dalam pelukan wanita malam tanpa sehelai busana yang menutupinya.

"Hiks hiks hiks sakit." Rintihnya dalam pilu sembari meremas dadanya yang terasa sesak bak tertusuk sembilu. Rasanya tidak adil di saat dirinya yang begitu menjaga martabat sebagai seorang wanita dan menyerahkan kesuciannya pada satu pria yang begitu ia cintai dan memiliki masalalu yang kelam musti dibalas dengan kekecewaan atas pengkhianatan kekasihnya itu. Ia lantas memegang perutnya dan teringat jika terakhir kali mereka melakukan hubungan terlarang di saat dirinya tengah dalam masa subur dan Ronald tidaklah mencabut miliknya saat keluar. Vania lantas meraih ponsel miliknya dan mengaktifkan nya setelah dua hari ia menghindar dari Ronald. Vania melihat kalender dan menyadari jika seharusnya ia sudah datang bulan.

Vania menggigit bibir bawahnya karena kini hatinya semakin pilu, apa yang akan ia lakukan jika sampai ia hamil. Sebuah keinginan terbesar dapat memiliki seorang anak dari benih laki laki yang ia cintai, namun haruskah ia membesarkan anaknya sendiri setelah semua yang terjadi karena untuk memaafkan Ronald rasanya begitu berat. Di saat bersamaan ponselnya berdering, sebuah panggilan masuk dari Ronald untuk yang kesekian kalinya. Karena saat ia mengaktifkan ponselnya begitu banyak notifikasi panggilan dan pesan dari Ronald. Vania tak menjawab nya, ia lantas meminta anak buahnya untuk pergi ke apotik mencari alat tes kehamilan. Setelah itu meletakan ponselnya di atas meja.

Di tempat lain, Ronald rasanya ingin sekali membanting ponsel miliknya dan meneriaki Vania di telinganya agar mengangkat telfon darinya.

"Nyatanya gue hampir gila Van saat lo benar benar marah." Ucapnya seraya menjambak rambutnya dengan kasar.

Vania melirik ke arah ponsel miliknya yang tak kunjung berhenti berbunyi. Ia lantas menarik nafas panjang dan menguatkan hati menjawab telfon dari Ronald.

[Van] lirih Ronald tak percaya saat Vania mengangkat telfon nya.

[Katakan apa yang ingin kamu katakan] jawab Vania.

[Van gue minta maaf Van, tapi sweer gue gak bermaksud demikian. Gue mabuk Van gue gak tau] Ronald mencoba menjelaskan.

"Maaf Nona ini tespack nya." Ucap anak buah Vania yang baru saja datang dan membawa pesanan Vania. Vania lantas melotot ke arah anak buahnya dan melambaikan tangan sebagai kode pengusiran.

[Tespack?] Ucap Ronald yang baru saja mendengar suara anak buah Vania.

[Tidak apa tidak perlu di jelaskan semua sudah jelas]

[Van tunggu Van, gue dengar Van lo baru saja beli tespack]

[Dengar baik baik, aku minta maaf jika selama ini selalu mengekangmu dan mengatur kehidupanmu. Mungkin sekarang saatnya aku melepaskanmu agar kamu bisa kembali seperti kamu yang dulu Mr.R] jawab Vania dengan menahan kelu dan menitikan airmatanya.

[Van stop, ini hanya kesalah pahaman dan lo musti tau itu Van. Satu lagi jawab gue Van tentang tespack itu] Ronald mulai kebingungan sekaligus merasa gila, ia tak menyangka jika Vania akan meninggalkan nya. Belum lagi ia mendengar sendiri anak buah Vania yang yang baru saja memberikan alat tes kehamilan.

[Percayalah aku baik baik saja, jaga dirimu tanpa perlu perduli lagi padaku. Detik ini juga aku melepaskan mu agar kamu bahagia]

[Van please!!! Van!!! Gue gila dengan semua ini bukan bahagia Van!!] Teriak Ronald penuh frustasi, namun jemarinya dengan sigap mencari tau keberadaan Vania melalui titik kordinat telfon.

[Thank you untuk semuanya, aku bahagia bersamamu meski pada akhirnya aku musti sesakit ini hiks] Vania tak sanggup lagi melanjutkan kata katanya. Ia menangis dan mengakhiri panggilan. Sedang Ronald memaki dan merutuki semua kebodohannya. Dadanya terasa begitu sakit mendengar ucapan Vania.

Vania sendiri lantas menangis dan pergi ke kamar mandi membawa tiga alat tes kehamilan dan kemudian melakukan tes pada urin nya. Ia memasukan tiga alat sekaligus ke dalam urin yang telah ia tampung dalam sebuah gelas.

Setelah menunggu beberapa menit ia dengan tangan yang gemetar mengangkat satu alat tes. Vania lantas menutup bibirnya dengan pandangan tak percaya dan meraih dua alat yang tergeletak untuk memastikan jika hasilnya sama.

"Hiks hiks hiks." Vania terisak dan terduduk di lantai kamar mandi. Ia menangis sambil mendekap ketiga alat tes kehamilan yang ada di genggaman nya. Matanya tertuju pada perut dan kemudian sebelah tangan nya bergerak membelai perutnya itu sembari terus menangis dan semakin menguatkan tangisan nya seolah ia tengah mencoba meluapkan seluruh isi hatinya.

"Baik baik disini, momy akan menjagamu meski tanpa Daddymu sayang." Lirihnya terbata dengan begitu pilu sembari bangkit dari duduknya dan berpindah ke kamar. Vania meletakan dua alat tes kehamilan diatas meja dan memasukan satu ke dalam tas miliknya, ia lantas merebahkan dirinya dan mencoba untuk menetralisir perasaan nya, karena ia sadar seorang ibu hamil tidak di perbolehkan bersedih karena dapat mempengaruhi kandungan nya.

"Momy akan menjagamu, terimakasih telah hadir dalam hidup momy, kamu adalah kenangan sekaligus kado terindah untuk momy." Ucap Vania sambil membelai perutnya kemudian mencoba memejamkan matanya. Tubuhnya terasa begitu letih dan kepalanya begitu pusing karena terlalu banyak menangis.

**

Ronald berlari menuruni anak tangga membuat kedua orangtuanya mengernyitkan dahi.

"Are you okay bro." Tanya Daddy Ronald.

"Kamu mau kemana." Imbuh mama nya.

"Vania mom, Ronald musti menemuinya mom." Jawab Ronald dengan buru buru tanpa menjelaskan apa yang terjadi dan pergi begitu saja menuju garasi. Kedua Orangtuanya hanya bisa saling pandang tanpa mendapat jawaban atas pertanyaan mereka.

"Apa pacarnya bunuh diri?." Tanya Daddy Ronald.

"Lain kali lihatlah film kartun agar otakmu jernih." Jawab sang istri dengan kesal karena pertanyaan suaminya membuat bulu kuduknya merinding. Ia tau bagaimana Vania yang begitu mencintai Ronald, rasanya hal gila tersebut bisa saja terjadi jika keduanya bertengkar kemudian Vania tidak mampu berfikir jernih karena kehilangan putranya.

"Aku hanya bertanya."

"Ganti saja pertanyaan mu dengan pertanyaan anak SD, berapa buku yang dimiliki budi misalnya."

"Lalu berapa buku yang dimiliki nya."

"Stop being stupid, I'm really fed up!!." Jawab mommy Ronald dengan begitu frustasi.

"Okay, bahkan dia tidak bisa menjawab soal semudah itu." Gumam Daddy Ronald sambil kembali memainkan jemarinya diatas keyboard laptop memeriksa beberapa berkas kantor. Sang istri lantas pergi ke kamar dan mengambil ponsel miliknya, ia menghubungi Regina dan meminta Regina mencari tahu perihal apa yang terjadi pada Ronald dan Vania. Regina sendiri lantas meminta sahabatnya untuk bersikap tenang karena hal yang wajar terjadi dalam sebuah hubungan jika keduanya saling bertengkar untuk sementara waktu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel