Bab 9 Amplop Tanpa Alamat
Bab 9 Amplop Tanpa Alamat
Eva menjemput Rara di apartemennya dan mereka melaju ke tempat resepsi pernikahan dari Tommy, untuk menghormati tuan pesta yang telah memberikan undangan. Sampai di tempat tujuan, sudah banyak tamu yang hadir terlihat dari hampir penuhnya tempat parkir kendaraan beroda empat.
Sebelum turun dari mobil, Eva masih meminta pendapat dari Rara tentang penampilannya, karena ia yakin teman yang pernah berkantor dengannya, akan memperhatikan rinci tampilannya. Semuanya karena mereka belum pernah melihat Eva merias wajah dan memakai gaun selama ini.
“Kamu percaya diri tidak jalan denganku, dengan dandanan seperti ini?” tanya Eva.
“Kamu cantik Va. Ayo turun! Banyak laki-laki yang akan kagum dengan penampilan kamu malam ini. Olive memang jago. Harusnya dia pilih jurusan mode bukannya bidang hukum seperti yang sedang dia pelajari sekarang.” Rara terus berbicara selama mereka jalan berdampingan memasuki gedung di mana pesta akan digelar.
“Jangan pernah kamu ucapkan soal ide sekolah mode tadi di depan Olive. Anak itu pasti akan histeris dan langsung merengek untuk pindah jurusan. Mamaku pasti akan alami tekanan darah tinggi jika itu terjadi.”
“Nanti aku sampaikan kalau ia sudah selesaikan sarjana hukumnya.”
“Oke, lebih masuk akal.”
“Mau duduk di mana?” bisik Eva begitu mereka sudah di dalam ruang pesta. Terlihat pengantin sedang menyapa para tamu di bagian sudut kanan.
“Tempat yang dekat meja cemilannya biar aku bisa mencicipi semua jenis kudapannya,” balas Rara ikut berbisik.
“Ibu Eva, Wow! Sungguh berbeda malam ini. Saya sampai tidak mengenal Ibu,” seru Desi si resepsionis, mengarah pada histeris karena takjub dengan tampilan Eva.
“Hai, Si. Biasa saja. Kenalkan sahabatku, Rara.” Desi dan Rara saling berjabatan tangan. Setelah basa basi sebentar, mereka berpisah karena Desi datang bersama pacarnya yang sudah jalan terlebih dahulu, tidak menyadari kalau Desi sedang bersua dengan teman sekantornya.
Eva dan Rara duduk menikmati kudapan yang sudah tersaji di atas meja sambil mengikuti acara resepsi yang dipandu oleh pembawa acara.
Tiba saatnya mempelai menyampaikan satu dua patah kata, yang diwakili oleh pengantin laki-laki.
“Kami mengucapkan terima kasih untuk kehadiran semua teman dan kerabat ya sudah meluangkan waktu ada dalam resepsi pernikahan kami ini. Mungkin saja ada yang bertanya-tanya betapa persiapan kami sangat cepat untuk melangsungkan sebuah pernikahan.
Namun, saya ingin mengatakan kalau saya dan istri sudah berteman sejak kecil.
Keluarga kami sudah bersahabat sejak lama. Tentunya, saya dan istri sudah tahu apa yang disukai dan yang tidak sehingga mempermudah kami dalam menyiapkan segala sesuatunya dan hari ini, keinginan kami terwujud. Terima kasih sekali lagi untuk semua yang telah ambil andil berproses dan mohon maaf, jika ada pihak tertentu yang tidak kami libatkan dari awal. Akhir kata, kami mohon doa restu dari hadirin semua untuk kelanggengan dari pernikahan kami. Hanya ini yang bisa kami suguhkan. Silakan dinikmati dan semoga terhibur.”
Tepukan meriah menyambut perkataan pengantin dan musik langsung dimainkan lagi untuk mengiringi acara selanjutnya.
“Kamu dengar tadi?” tanya Eva pada Rara yang sedang sibuk menghabiskan potongan kue tart cokelat di piringnya.
“Dengar, pengantinnya sudah saling lama kenal dan persiapan pernikahannya singkat.”
“Pria yang sedang menikah ini namanya Tommy. Dua minggu yang lalu, ia bilang kalau suka denganku,” ujar Eva agar hanya di dengar oleh sahabatnya.
“Serius?” balas Rara ikut berbisik mengikuti kelakuan Eva.
“Iya. Dia bilang mau ke rumahku, bicara dengan orangtua untuk melamar aku.
“Lalu, kamu tolak?”
“Kalau aku terima, mana mungkin dia menikah hari ini?”
“Kamu mencurigai sesuatu?” selidik Rara menatap wajah Eva yang terlihat termenung.
“Aku tidak mau berandai-andai. Hanya saja menurutku, waktunya terlalu cepat dari melamar seseorang dan memutuskan untuk menikahi teman dari kecil.”
“Masuk akal!”
“Aku sudah puas melihat dia bahagia dengan pilihannya. Setidaknya rasa sakit hati karena aku tolak itu sudah tidak ada lagi.”
“Kamu yakin rasa sakit hatinya sudah hilang setelah menerima jawaban pahit darimu?
“Kalau rasa sakitnya masih ada, kenapa dia menikahi wanita lain?”
“Kamu kan ahlinya, kamu lupa kalau kamu itu psikolog? Kok balik bertanya sih?”
“Ya, harusnya pernikahan itu jangan hanya sekedar pelampiasan rasa sakit hati, tapi memang benar-benar ingin menikah.”
“Kalau kasus pengantin yang dijodohkan, gimana?”
“Ya, itu beda kasus.”
“Berarti, terjadinya pernikahan tidak harus selalu dari hati kan?”
“Jadi, maksudmu pernikahan yang sekarang kita hadiri ini, bisa jadi tidak dari hati?”
“Ya, bisa jadi! Kita kan tidak tahu?”
“Ya, semoga dugaan kita salah, kasihan istrinya.”
“Sudah, tidak usah dipikirkan lagi. Nikmati saja pestanya, musiknya, makanannya, dan tariannya.”
Eva mengangguk dan bertanya, “Bagaimana, kamu suka makanannya?”
“Enak! Enak! Kamu juga harus coba.” Kedua sahabat itu larut dalam acara pesta dan tinggalkan gedung menjelang pukul sebelas malam seperti kebanyakan tamu yang lainnya.
Keesokan paginya, Eva tiba di kantor lebih awal karena ada sesi jam delapan pagi.
Sampai di kantor, Eva sudah menerima surat kaleng di bawah pintu. Saat masuk, ia menginjak sesuatu. Ternyata sebuah amplop coklat tanpa alamat pengirim maupun penerima. Eva menggoyang-goyangkan amplop tersebut untuk mengecek isinya sebelum ia buka. Tak ada bunyi dan sangat tipis sehingga Eva berpikir bisa jadi isinya lembaran foto atau kertas.
Eva merobek penutup amplop untuk melihat isinya. Selembar kertas dengan gambar denah, angka dan beberapa kata. Selain itu tidak ada penjelasan panjang atau petunjuk apa pun.
Eva memotret kertas tersebut lalu ia kirimkan pesan ke grup keluarganya. Ia berharap papa dan mamanya serta adik-adiknya bisa membantunya untuk mengartikan maksud dari pesan tersebut.
Di tempat kerja Mars dan Leo, Morgan Corporation, ayah dan anak itu langsung bertemu di satu ruangan begitu menerima pesan dari Eva.
“Kamu bisa tolong hubungi temanmu yang polisi untuk mencari tahu itu lokasinya di mana, atau maksud dari denah itu apa. Namun, jangan sampai mereka curiga maksud kamu yang sebenarnya. Buatlah seperti kamu sedang iseng saja. Papa akan hubungi teman Papa untuk bisa mengawasi kakakmu. Kemungkinan besar dia akan menuju ke tempat itu.”
“Oke, Pa!” balas Leo.
Sementara di ruang kerjanya, Eva menunggu dengan harap-harap cemas. Tak lama kemudian Papanya mengirimkan pesan balasan. Isinya agar Eva bisa mulai bergerak menuju alamat yang mereka kirimkan sebagai tempat yang dimaksud dari denah. Mars juga minta agar Eva bersikap waspada dan berkendara dengan hati-hati.
Eva membalas agar mereka tidak memberitahu siapa pun, karena Eva khawatir ada hubungannya dengan salah satu kliennya. Orang yang Mars sewa untuk mengawasi Eva terus memberi kabar keberadaan putri sulung Mars Morgan itu.
Di sisi yang lain, sebuah mobil silver juga setia mengikuti pergerakan Eva. Mobil sedan putih tulang Eva yang sudah keluar dari bengkel, meluncur mendekati kawasan pantai. Eva berhenti di depan sebuah gedung tua bekas gudang penangkapan ikan yang sudah tidak terpakai lagi.
Suasana sepi dan tidak terdengar bunyi aktivitas apa pun juga, selain hempasan ombak di bibir pantai dan aroma air asin. Ada sebuah mobil berwarna biru metalik yang terparkir tidak jauh dari pagar pembatas pantai dan kawasan gedung. Dari jauh Eva melihat seseorang sedang berdiri memandang ke lautan lepas. Eva masih belum bisa tahu siapa orang tersebut, laki-laki atau perempuan.
Bersambung