Bab 8 Undangan Pernikahan
Bab 8 Undangan Pernikahan
Satu minggu kemudian.
Tujuh hari setelah Eva mendapat ancaman dari Pak Ferry, pagi-pagi ia sudah menerima undangan pernikahan dari Desi, resepsionis di kantor mereka.
“Selamat ya, Si. Diam-diam ya, kamu pergerakannya. Tiba-tiba saja sudah ada undangan,” ujar Eva menerima uluran undangan dari Desi dan langsung melangkah untuk membuka pintu ruangannya.
“Dibaca saja dulu, Bu. Tapi terima kasih untuk pujiannya.” Eva tersenyum sekilas pada Desi lalu menghilang dari pandangan karena sudah masuk dalam ruang kerjanya.
Ia membuka kertas berwarna yang terlihat sangat manis desainnya dan membaca isinya.
Ia keluar kembali lalu menghampiri Desi, “Ini benar undangan nikahnya Pak Tommy?”
“Iya, Bu. Bukan punya saya itu, tapi Pak Tommy.”
“Iya, saya juga baru baca bukan nama kamu. Jadi, nanti kamu bisa hadir?”
“Belum tahu, Bu. Semoga nanti bisa, supaya bisa memberikan selamat untuk Pak Tommy dan istrinya.”
“Acaranya lusa malam ternyata. Baiklah!” Eva kembali melanjutkan rutinitasnya untuk hari itu. Ada sedikit tanda tanya dalam benaknya jika memikirkan jeda waktu antara pernyataan cinta Tommy dan tanggal pernikahannya. Genap satu minggu sejak pertemuan terakhirnya dengan rekan sekantornya itu.
Eva jadi penasaran, siapa jodoh yang telah dipilih oleh Tommy. Ia telah mengajak Rara untuk bisa menemaninya nanti lusa, sekaligus ia akan jujur tentang Tommy pada sahabatnya itu.
Sehari sebelum resepsi pernikahan Tommy, putri sulung Mars dan Zaini terlihat lelah mendengarkan pencerahan terkait cara berdandan dari adiknya, di kamar Olive.
“Karena kulit Kakak itu tidak terlalu putih maka sebaiknya menggunakan warna yang cerah sehingga wajah kakak terlihat bercahaya. Apalagi Kakak tidak suka berdandan, nanti wajahnya mudah berminyak dan terlihat kusut. Warna hitam, abu-abu, atau warna gelap lainnya hanya akan membuat Kakak terlihat kusam.”
“Jadi, aku harus pakai yang mana dari sekian gaun yang kamu punya?”
Postur tubuh Olive dan Eva memang tidak jauh berbeda. Tubuh Eva sedikit lebih tinggi, tetapi Olive masih dalam masa pertumbuhan sehingga sebentar lagi akan menyamai kakaknya.
“Sebaiknya warna kuning gading ini kak. Memang sedikit transparan tetapi kita bisa akali dengan Kakak memakai dalaman kaos hitam atau putih yang pas di badan.”
“Terserah kamu saja. Tapi, aku mau pakai sepatu yang nyaman ya, tidak mau yang terlalu tinggi haknya dan membuat aku berjalan seperti robot, lalu tiba-tiba terpeleset di tengah keramaian tamu.”
“Aku tahu padanan yang cocok untuk Kakak.” Olive menyanggupi semua kerewelan Eva dan dengan sabar mendorong kakaknya yang punya selera mode super kolot itu untuk sedikit berdandan.
Zaini dan Mars menjadi orang pertama memberikan penilaian pada tampilan Eva setelah dipermak oleh Olive, si juru rias.
“Anak kita ternyata bisa feminin juga, Pa!” seru Zaini menyolek bahu suaminya untuk melihat Olive dan Eva yang berjalan menuju kamar mereka yang pintunya kebetulan sedang terbuka.
“Permisi, ada artis baru mau numpang lewat,” seru Olive dengan segala keceriannya.
“Kakak cantik sekali, mau ke mana dandan sekhusus ini?”
Mars tersenyum simpul menatap lekat wajah Eva yang terlihat sangat menderita karena harus berada dalam posisi seperti sekarang.
“Coba, latihan jalan dulu,” timpal Mars berniat menambah penderitaan dari putri sulungnya.
“Pa!” teriak Eva protes.
“Jalan Kakak!” perintah Olive yang memang menjadi ratunya sore itu seperti kesepakatan mereka dari awal.
Satu jam sebelumnya Eva mendatangi kamar Olive hanya untuk meminjam gaun. Tapi kemudian berakhir dengan sesi tata rias yang berujung pada Eva harus mengikuti apa pun yang Olive katakan.
Dengan muka masygul, Eva berjalan dengan sepatu 5cm yang dipakaikan oleh Olive di depan kedua orangtuanya. Dari ambang pintu kamar menuju meja rias sekitar sepuluh langkah jauhnya.
“Ma, kalau Papa bilang sekarang Papa jatuh cinta sama putri Papa sendiri, Mama marah tidak?”
“Tidaklah kalau hanya jatuh cinta. Kalau niat menikah yang Mama bakal marah!”
“Papa dan Mama bercandanya, ngawur. Tidak lucu,” protes Eva.
“Kakak terlihat sangat cantik. Papa tidak bohong.” Mars mengangkat dua jarinya untuk menunjukkan betapa ia serius dengan perkataannya. Sejak Olive ada di antara mereka, untuk soal berpenampilan fisik berbeda, Eva selalu membutuhkan afirmasi positif dari orang-orang disekitarnya.
“Hore! Misi Olive berhasil. Besok malam Kakak tidak akan kalah cantiknya dengan pengantin wanita yang punya pesta.”
“Siapa yang menikah, Sayang?” tanya Zaini menatap Eva.
“Teman kantor Eva, Ma. Salah satu dari dua pria yang minggu lalu Eva cerita ke Mama,” balas Eva menuntut mamanya paham lewat tatapannya, agar ia tidak harus jelaskan lebih jauh. Ia malu jika papanya sampai tahu cerita tersebut.
“Kalau butuh pasangan, Papa rela temani Kakak,” tawar Mars serius.
“Terus semua tamu meledek aku karena tidak punya pasangan, makanya bawa Papa sendiri.”
“Daripada dikira simpanan Om kaya. Papa kan sudah terlihat tua,” timpal Mars.
“Justru Papa salah. Di kampus Olive, mending jadi gandengan Om kaya, daripada ke mana-mana dianggap anak Papi atau Mami,” sanggah Olive.
“Eva nanti pergi dengan Rara. Papa dan Mama tidak usah khawatir.”
“Ingat PR dari Mama. Besok juga bisa kerjakan lagi tugas yang sama,” ucap Zaini sambil mengedipkan salah satu matanya pada Eva.
“Belum selesai Ma, tugasnya. Eva baru ingat kalau ada PR. Seminggu ini lupa tugasnya tentang apa.”
“Dicatat makanya Kak, biar tidak lupa,” sambung Olive tanpa paham konteks.
Akhirnya kakak beradik itu meninggalkan kamar orangtuanya menyisakan tanda tanya besar bagi Mars akan percakapan terakhir Eva dan istrinya.
“Tugas apa sih yang Mama dan Eva bicarakan tadi. Terlalu banyak teka-teki yang papa tidak paham.”
“Ini rahasia perempuan. Jangan sampai Papa lontarkan di depan Eva. Bisa tidak percaya lagi dia untuk curhat ke Mama.”
“Oke!”
“Dua minggu yang lalu ada dua orang pria menyatakan suka pada Eva di hari yang sama. Tapi keduanya Eva tolak karena dia tidak ada rasa suka. Lebih tepatnya ia masih bingung, rasanya jauh cinta atau suka seseorang seperti apa. Jadi PR dari mama yaitu Eva coba fokus melihat wajah cowok, satu saja, dan diingat terus. Malam sebelum tidur, direnungkan apakah wajah cowok tersebut masih terbayang-bayang atau hilang total.”
“Bagi Papa, ini memperihatinkan. Eva sudah dua puluh lima tahun Ma. Mana mungkin ia tidak tahu menyukai seseorang seperti apa.”
“Kakak bilang, yang ada di kepalanya setiap hari itu hanya untuk fokus pada tugas apa berikutnya, yang harus ia selesaikan terkait pekerjaannya tentu saja.”
“Apa mungkin karena sejak kecil, Eva selalu fokus pada belajar dan mengerjakan tugas rumah, sehingga kita lupa memberikan kesempatan padanya untuk bergaul dengan sesama teman sebayanya.”
“Masa kecil Eva tidak semulus Olive sekarang. Kerumitan hubungan kita waktu itu, tentu Papa masih ingat. Menurut Mama, situasi waktu itu sangat mempengaruhi cara Eva memandang hubungan antara pria dan wanita. Belum lagi olokan dari teman SD-nya yang membuatnya lebih banyak menyendiri. Ia secara tidak langsung dipaksa untuk berpikir lebih dewasa dibanding teman sebayanya, apalagi menyangkut hubungan antara Papa dan Mamanya.”
“Papa mana mungkin lupa. Semuanya karena Papa yang kurang peka dengan kebutuhan Mama dan Eva waktu itu.”
“Kita harus bisa yakinkan Eva kalau apa yang ia alami di masa kecil, tidaklah seburuk kehidupannya saat ia kecil. Ia tidak boleh takut memiliki hubungan dengan lawan jenis yang ia suka.”
“Kita akan temukan caranya. Papa yakin, Eva itu tangguh dan cerdas seperti Mamanya. Seiring berjalannya waktu, ia akan bisa mengalahkan kekhawatirannya sendiri.”
Harapan dari kedua orang tua Eva merupakan doa yang akan membantu mengawal perjalanan hidup Eva.
Semuanya tergantung pada yang bersangkutan. Sejauh mana Eva akan berani mengambil resiko untuk menantang diri sendiri, di tengah ancaman tak terlihat yang akan segera dihadapi oleh gadis muda itu.
Bersambung