Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Hati Seluas Samudera

Bab 7 Hati Seluas Samudera

Eva menekan pengunci pintu mobil otomatis milik mamanya, di sela-sela kerepotannya menenteng dua kantong plastik besar. Ia melangkah pasti menuju salah satu kamar di antara deretan sekian kamar yang ada di hadapannya.

Eva sedang mengunjungi salah satu apartemen termahal di kota Barat yang dihuni oleh sahabat sejatinya. Sebenarnya gedung apartemen itu memiliki beberapa lantai tapi karena Rara takut ketinggian, makanya ia membeli kamar di lantai pertama.

Rara bekerja di sebuah biro perjalanan domestik dan internasional di bagian administrasi. Ia membantu pendataan dan laporan sekian perjalanan yang berhasil diselenggarakan oleh kantor mereka. Orang tuanya cukup berada tetapi ia memilih untuk hidup mandiri dan bekerja di tempat yang ia sukai.

“Kamu kenapa selalu meliburkan diri dari kantor di tanggal sembilan?” tanya Eva saat ia sudah diberi akses masuk oleh Rara.

“Mana cukup, Va, di setiap tanggal sembilan. Jatah cuti tahunan saja cuma dua belas hari.”

“Bukannya kamu yang bilang kalau mau makan siang bareng mending setiap tanggal sembilan biar lebih pasti jadwalnya karena kamu hanya akan di rumah.” Keduanya bicara sembari sibuk membuka kotak makanan yang Eva bawa. Dua kotak pizza dengan berbagai rasa dan satu kotak donat ukuran sedang dengan campuran rasa asin dan manis.

“Iya benar. Kalau kerjaan sedang tidak numpuk maka aku minta cuti dan cenderung setiap tanggal sembilan sih.”

“Kenapa mesti tanggal sembilan?” tanya Eva baru selesai mencuci tangannya dan bersiap-siap selonjoran untuk menyantap pizza di atas meja kecil di hadapan mereka berdua.

“Karena aku lahir di tanggal tersebut dan aku suka angka sembilan. Kamu tahu, angka itu unik.”

“Eh, sebentar. Jumlah mantan pacar kamu sudah berapa?”

“Kok jadi yang ditanya mantan pacar?” protes Rara bingung.

“Jawab dulu, nanti aku jelaskan.”

“Sebentar, aku hitung dulu. Sekitar lima orang.”

“Semoga saja mantan kamu berhenti di angka sembilan dan tidak ada lagi kaum pria yang kamu sakiti.”

Rara tertawa lepas mendengar perkataan sekaligus sindiran dari Eva.

“Tapi ini aku datang khusus, membawakan makanan kesukaan kamu karena aku butuh konsultasi.” Eva berkata serius sambil menatap sahabatnya.

“Yuk, mau tanya apa. Aku layani kalau bisa. Jarang-jarang kan psikolog mau konsultasi dengan makhluk awam, sekolah tak tamat kayak aku.”

“Aku serius ini. Sunguh ingin tahu,” timpal Eva.

“Iya, Sayang. Apa yang bisa aku bantu?” ucap Rara pura-pura serius dengan menghentikan semua kunyahannya, menatap Eva tanpa berkedip. Sementara yang ditatap tetap sibuk dengan potongan pizza dengan berkata, “Kalau kamu pacaran hanya untuk akhirnya putus, kenapa kamu memilih pacaran dari awal?”

“Hah, kamu memang kuper, kurang pergaulan. Pacaran itu bukan untuk menikah. Kalau tidak cocok ya, putuslah! Untuk apa juga dipaksakan,” jawab Rara santai, melanjutkan mengais potongan pizza di dalam kotak yang tersisa empat potong, dari dua belas potong awalnya.

“Bagian mananya yang dianggap tidak sesuai harapan?”

“Laki-laki itu kadang suka mengatur, cemburuan juga, tidak boleh begini atau tidak boleh begitu. Selalu harus laporan kalau pergi tanpa dia. Tanya ke mana, dengan siapa, kapan pulang. Membuat pusing kalau terus begitu berulang kali.”

“Dari lima orang mantan kamu, semuanya seperti itu?”

“Beda-beda lho! Ada juga yang tidak punya modal. Setiap pergi berdua aku yang keluarkan uang. Bangkrutlah! Terus, ada juga yang pikirannya kotor terus. Maunya sentuhan terus. Belum juga jalan dua bulan pacaran, sudah minta hubungan badan seperti suami istri, ngerilah aku. Belum siap aku untuk menikah. Masih belum mauterikat pada satu orang laki-laki saja.”

“Lalu, bedanya kamu pacaran sama berteman dengan cowok yang bukan kamu anggap pacar, apa dong?”

“Pacaran itu menurutku, satu tahap yang lebih lagi daripada sekedar berteman. Lebih fokus dan ingin lebih tahu mendalam tentang orang yang dijadikan pacar.”

“Kalau sudah tahu lebih mendalam, terus ada yang beda, tidak sesuai harapan kamu, maka diputusin?”

“Putus itu tidak selamanya dari pihak aku. Salah satu mantanku itu selingkuh. Aku melihat dia sedang peluk pinggang perempuan lain setelah kita pacaran satu tahun lebih. Aku pikir akan serius dengan dia, eh ditipu. Ya, aku lepaslah. Sakit sih, sempat kesal dan malas keluar rumah.”

“Ah, aku ingat. Namanya Robi, bukan? Aku pernah ajak kamu nonton tapi kamu beralasan sedang sakit padahal patah hati.”

“Sudahlah. Tidak usah disebut-sebut namanya.”

“Masih belum bisa lupa, ya?”

“Tidak dong. Aku kan sudah punya yayang baru,” balas Rara antusias setelah beberapa detik sebelumnya agak melankolis. Eva hanya bisa menarik nafas dan menghempaskannya karena sudah terbiasa dengan sikap ceplas ceplos sahabatnya.

“Calon mantan keenam?” sindir Eva dengan lembut.

“Doanya jangan begitu, semoga yang ini menjadi yang terakhir.”

“Sudah ketemu bedanya selama bersama?”

“Ada, tapi masih bisa dibicarakan. Bisa dicari kesepakatan untuk bisa sama-sama nyaman.”

“Bagus berarti. Aku harap langgeng sampai ke pelaminan.”

“Terus, tanya-tanya aku buat apa, kalau kamu sendiri juga hanya diam di tempat. Tidak bergerak mencari seseorang untuk dijadikan teman dekat.”

“Aku mau cari yang langsung nikah. Tidak mau menjadikan atau dijadikan mantan.”

“Itu namanya cinta pada pandangan pertama.”

“Aku sedang mencari rumus cinta, yang bisa aku pakai, biar sekali bertemu langsung aku mantapkan hati dan tidak memikirkan untung ruginya, baik buruknya dan semua teori yang terkadang menjebak itu.”

“Jodohmu mungkin sesama psikolog. Biar kalian bisa saling memahami.”

“Saling memahami atau saling membunuh dengan mempertahankan teori masing-masing, lalu akhirnya bubar.”

“Menurut pendapat aku pribadi, ya. Kelemahan kamu karena belum mulai mencoba menjalin hubungan, sudah memikirkan akhir yang tragis seperti nasib para klienmu jadinya kamu tidak berani mengambil langkah.”

“Hanya mau bilang aku penakut saja, kalimatmu panjang sekali,” sanggah Eva.

“Memangnya benar, kamu merasa seperti yang aku bilang tadi? Aku cuma menebak padahal.”

“Kalau aku pribadi membela diriku dengan mengatakan aku belum siap. Selain karena aku memang belum tahu caranya mencintai seseorang tapi juga tidak ada niat untuk mengenal orang lain lebih dekat.”

“Jangan-jangan kamu punya orientasi yang berbeda dari wanita normal lainnya,” sahut Rara memasang tampang jijik pada Eva.

“Sembarangan! Aku suka laki-laki. Aku kagum dengan Papaku terutama. Suka sekali kalau lihat kemesraan Papa dan Mamaku. Aku ingin punya suami yang seperti Papaku.”

“Pasti adalah di luar sana laki-laki yang sesuai dengan kriteriamu. Kamu hanya butuh mencarinya. Kalau kamu hanya selalu berada di dalam kotak kecil ruang konsultasimu, kotak kecil mobilmu dan kotak besar rumahmu saja, sampai mati juga kamu tidak akan ketemu jodohmu.

Kecuali kamu punya peri sihir yang bisa menyediakan stok laki-laki seperti pameran, yang bisa kamu pilih dengan hanya menjentikkan jarimu dan ia hadir dalam hidupmu dan menjadi pangeranmu.”

“Entahlah. Aku tidak tahu seperti apa. Eh, aku sudah harus kembali ke kantor. Satu jam lagi klien rutinku datang. Aku tidak sempat bantu beres-beres lagi.”

“Tidak masalah. Jangan ngebut. Hati-hati.”

“Pastilah, kemarin si putih tulangku sudah diserempet, soalnya. Jadi hari ini pinjam mobil Mamaku.”

“Makanya lebih hati-hati lagi. Nanti gantian aku ke rumahmu ya. Sudah kangen aku dengan Olive dan Leo.”

“Oke! Jangan lupa bawa buah tangan kalau mau datang, atau aku tidak bukakan pintu.”

“Dasar rentenir!” teriak Rara membalas candaan sahabatnya.

Dalam perjalanan menuju kantornya Eva hanya bisa merenungkan semua perkataan Rara. Walaupun mereka banyak bercanda tapi perkataan Rara ada benarnya juga. Mustahil menemukan satu orang dan bisa langsung cocok, kecuali salah satu pihak punya hati seluas samudera untuk menerima perbedaan pasangannya. Sayangnya, Eva termasuk di dalam kelompok pemilik hati seluas lapangan tenis meja.

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel