Bab 6 Intimidasi Klien Baru
Bab 6 Intimidasi Klien Baru
Eva menyimak dengan serius setiap perkataan yang diucapkan kliennya. Ini merupakan pertemuan mereka yang ketiga. Awalnya wanita ini datang karena hanya ingin mengetahui apa manfaatnya jika melakukan konsultasi rutin dan besaran biayanya.
Eva menjelaskan kalau ia butuh melakukan asesmen awal sebelum menentukan lamanya pertemuan yang harus mereka jalani. Tergantung kasusnya juga dan seberapa terbuka si klien. Kisaran bayaran juga bisa dipilih per sesi atau kah per kunjungan rutin setiap bulan. Ia berakhir memilih untuk konsultasi per sesi dan pagi ini ia datang lagi.
Masalah utama yang ia hadapi yaitu perilaku mabuk-mabukan dari suaminya yang mulai menjurus pada kekerasan dalam rumah tangga yang tidak bisa dia tolerir lagi. Dia sudah sempat berpikir untuk bercerai namun ia memilih untuk berbicara dengan seseorang sebelum membuat keputusan yang akan ia sesali seumur hidupnya.
“Saya sudah mencoba untuk merubah sikap saya dengan lebih sabar saat ia pulang dalam keadaan mabuk. Memang benar, marah-marah atau berbicara dengan orang mabuk itu tidak akan membawa hasil.”
“Apa ada perubahan sedikit saja yang Ibu lihat setelah suami Anda sudah sadar?”
“Sejak saya memilih untuk diam saat ia pulang dalam keadaan mabuk, saat terjaga biasanya dia agak kaget karena sedang tertidur di dalam kamar. Dulunya memang saya tidak izinkan masuk kamar, jadi dia akan tertidur di ruang tamu entah di sofa atau di lantai. Saya yang mengalah dan tidur di kamar anak-anak. Paginya kalau terjaga dia akan bilang ‘maaf’.”
“Bagaimana perasaan Ibu setelah mendengar kata ‘maaf’ dari suami Ibu?”
“Ada rasa syukur tapi akan lebih baik jika dia berhenti dari kecanduannya.”
“Apakah ia masih memukul Ibu atau anak-anak atau merusak barang-barang saat mabuk?”
“Dua minggu terakhir ini tidak karena saya sudah mengubah sikap saya.”
“Apakah Ibu bangga dengan cara berbeda yang Ibu pilih saat ini?”
“Setidaknya mengurangi masalah beruntun karena perilaku suami saya.”
“Saya senang Ibu sudah berani membuat perubahan di sini. Memang tidak akan mudah untuk bertahan tapi tidak ada salahnya Ibu terus mencoba, karena ada hal positif yang terjadi pada suami Ibu. Sampai di sini, apa yang ingin Ibu lakukan lagi untuk melihat perubahan lainnya ke arah yang lebih baik?”
“Apakah saya bisa mengajak suami saya untuk ikut berkonsultasi di sini?”
“Justru bagus kalau ingin datang sama-sama dan konsultasi cara meningkatkan kualitas hubungan suami istri. Tetapi, saya tidak bisa kalau harapannya untuk menyembuhkan kecanduan dari alkohol.”
“Setelah ini, saya akan coba untuk bicara dengan suami saya untuk bisa mencari pertolongan menghilangkan kecanduannya.”
“Baiklah Ibu, saya pikir ada kemajuan dalam sesi kita. Kalau memang Ibu sudah menemukan solusi untuk masalah ini maka Ibu tidak harus bertemu saya lagi. Ibu sudah sangat mampu menghadapi perilaku suami Ibu tanpa perlu merasa khawatir akan menyakiti diri sendiri.”
“Saya juga berpikir demikian. Semoga kita tidak harus bertemu lagi di ruangan ini.”
“Terima kasih untuk kepercayaannya pada saya. Mungkin ada usul saran untuk jasa konsultasi kami?”
“Saya bisa isi di websitenya?”
“Boleh, Ibu. Kami tunggu usul dan sarannya.”
Jeda lima belas menit, sebelum klien berikutnya masuk ke ruangan, Eva gunakan untuk menghabiskan satu buah apel, sambil mengecek catatannya.
Dari tujuh klien dengan program rutin, satu kasus sudah selesai. Tamu berikutnya termasuk baru sehingga ia butuh energi untuk melakukan asesmen non formal melalui pengamatan, sebelum mendiskusikan program yang ingin diambil.
Deg! Deg!
Jantung Eva berdetak lebih cepat dari biasanya saat klien berikutnya masuk. Seorang pria dengan tampilan sangat rapi dengan kemeja lengan panjang putih dan berdasi corak hitam kotak-kotak hijau.
Sepintas Eva menebak usia dari raut wajahnya, mendekati usia papanya. Pria ini jika dibandingkan dengan papanya tentu lebih tampan Mars tetapi postur mereka kurang lebih sama.
Eva berusaha menguasai dirinya untuk tidak terlihat gugup di depan tamunya. Ia masih belum tahu mengapa jantungnya bertalu lebih cepat dari biasanya. Ia berdiri dan menyampaikan kalimat sambutan rutinnya untuk klien baru.
“Selamat pagi Pak. Terima kasih dan selamat datang di kantor kami. Perkenalkan, saya Eva yang akan mencoba membantu Anda pagi ini. Mari silakan duduk.”
“Terima kasih. Nama saya Ferry.”
“Baik Pak Ferry. Apa yang bisa saya bantu.”
“Sapaan apa yang cocok, Ibu atau Nona?”
‘Sialan, dia mencoba untuk mengintimidasi aku,” batin Eva.
“Sapaan apa pun yang nyaman untuk Pak Ferry, saya tidak keberatan.”
“Apakah Anda sudah menikah?” tanya Ferry dengan mata yang tak berkedip, beradu dengan netra dari Eva.
Eva menangkap tidak ada kesan hangat pada bola mata dari pria di depannya. Hanya hitam pekat tanpa riak apa pun. Tatapan tamunya ini lebih pada mencurigainya bukan ingin berteman dengannya.
‘Gila juga ini orang, dia pikir bisa seenaknya saja berbicara tanpa sedikit pun rasa hormat untuk orang lain,’ geram Eva dalam diam.
“Saya ulangi lagi. Saya sangat menghargai jika Pak Ferry bisa menyampaikan maksud dan tujuan ke sini dengan jelas agar saya bisa membantu Bapak.”
“Saya hanya bisa dibantu oleh orang yang sudah menikah.” Selain kalimat yang sarkas, pria itu juga memberikan senyum sinis
“Saya tidak tahu Pak Ferry dapat rujukan dari siapa tentang jasa kami, tetapi orang itu pastinya sudah merasakan manfaat baik dari kunjungannya. Fokus sesi kita pagi ini bukan tentang saya tapi Pak Ferry yang tanpa paksaan, sudah memilih untuk sampai di sini. Mohon maaf, saya tidak bisa menjawab pertanyaan Pak Ferry. Sekali lagi, boleh saya tahu, apa yang bisa dibantu?”
“Sepertinya Anda memang keras kepala. Saya hanya ingin agar Anda berhati-hati dan jauhi urusan rumah tangga orang lain. Anda tidak pernah tahu apa akibat yang akan ditimbulkan dari sikap keras kepala Anda. Semua yang Anda sampaikan yang menurut Anda adalah bantuan sebenarnya sudah mencelakakan orang yang ingin Anda bantu.”
Eva dengan segera bangkit dari tempat duduknya dan berkata dengan nada datar dan lembut tapi tegas, “Terima kasih untuk kunjungan Pak Ferry. Saya baru sadar kalau Anda tidak butuh bantuan apa pun.”
Eva langsung melangkah menuju pintu ruangannya dan membukanya serta berkata, “Silakan Pak! Selamat pagi.” Pria yang mengaku bernama Pak Ferry itu entah sejak kapan, tidak diketahui oleh Eva, sudah mengenakan kacamata hitamnya dan keluar dari ruangan dengan bungkam dan tidak menoleh pada pemilik ruangan sedetik pun.
Eva segera menutup kembali pintu ruang kerjanya dan menguncinya. Ia menenangkan degupan jantungnya yang kembali bertalu tanpa henti. Ia baru sadar kalau nalurinya sudah merasakan energi negatif sejak awal pria tadi masuk sehingga ia menjadi gugup dan khawatir. Untungnya ia bisa menguasai dirinya dengan baik dibawah tekanan dari pria tadi.
Eva bergegas mengecek agendanya dan bernafas dengan lega. Tamu berikutnya baru datang di pukul empat nanti sore. Masih ada jeda hampir empat jam termasuk waktu makan siang. Ia melirik tanggalan dan tersenyum. Ia tahu harus ke mana untuk bersantai. Sebelumnya ia mengirimkan pesan kepada seseorang.
Sambil menunggu balasan Eva melihat kembali daftar enam klien rutin yang sedang ia tangani. Sangat kebetulan semuanya perempuan. Ia sedang menebak klien yang mana yang kemungkinan besar memiliki suami seperti Pak Ferry. Dari kalimat terakhir pria itu, ia sepertinya berusaha mengancam Eva untuk tidak terlalu terlibat dalam urusan rumah tangganya. Pikiran Eva terusik oleh denting pesan di ponselnya. Dengan senyuman ia meninggalkan ruang kerjanya.
Bersambung