Bab 4 Keluarga Eva
Bab 4 Keluarga Eva
Eva memarkir mobilnya langsung di bagian paling belakang dari garasi. Ia lakukan itu karena ia tidak akan mungkin memakai mobilnya lagi untuk waktu yang lama, mengingat ia malas mengantar dan menungguinya di bengkel. Ia akan meminjam mobil mama atau papanya.
Sebelum turun, tak lupa ia mengambil plastik buah-buahan yang tadi ia beli. Akan ia simpan sementara di kulkas sebelum ia bawa ke kantor besok. Eva menaiki tangga yang terhubung langsung dengan pintu dapur. Ia masuk dan dapur terlihat sepi, walaupun banyak peralatan masak yang masih kotor dan tergeletak dimana-mana. Ia langsung merapikan bawaannya ke dalam kulkas.
“Eva pulang!” Serunya dari arah dapur disambut dengan keributan di ruang tengah.
“Akhirnya putri sulung Papa pulang juga,” kata Mars yang sedang duduk di kursi bar sambil memeluk pinggang istrinya Zaini yang berdiri menyandar, begitu melihat sosok Eva muncul.
Eva selalu saja terpesona dengan kemesraan papa dan mamanya. Sejak menginjak usia belasan tahun, Eva sudah sering melihat bahasa tubuh saling mencintai antara mama dan papanya. Eva belum pernah melihat mereka bertengkar di depan dirinya dan dua orang adiknya, Leo dan Olive. Kalau pun ada sesuatu yang tidak beres maka, Eva ingat yang terjadi adalah mereka duduk saling berjauhan dan tidak berbicara antara satu sama lain.
Namun, bentuk pertengkaran mulut atau kekerasan fisik tidak pernah ia lihat selama ia di rumah.
Kalau semuanya berjalan lancar maka mereka selalu berdekatan. Jika bukan papanya yang berjalan mendekati mamanya maka sebaliknya, ibunya yang menghampiri ayahnya. Seperti sore ini mereka terlihat begitu mesra.
“Kok diam, Sayang? Banyak pekerjaan, ya?” tanya Voni, tantenya mengusik lamunan sesaat Eva.
“Eh, maaf. Sore semua. Eva memang banyak masalah hari ini,” sahut konselor muda itu mencari posisi duduk di kursi yang masih kosong.
“Wah, sudah pada kumpul rupanya! Kak Eva mobilnya kenapa jadi penyok begitu?” tanya Leo spontan. Ia juga baru tiba dari kantornya.
“Memangnya mobil kamu kenapa, Kak?” tanya Mars ikut menimpali perkataan putranya.
Mars sekaligus bergerak turun dari kursi dan menuju ke garasi setelah mencium puncak kepala dari istrinya sekilas.
Eva dengan malas ikut bangun mengekori langkah papanya. Begitu pula Leo menyusul di belakangnya. Zaini, Dean dan Voni tetap bergeming menanti kabar dari Mars nantinya.
Sore itu, Dean dan Voni ikut berkumpul di rumah Mars dan Zaini karena mereka akan makan malam bersama merayakan hari ulang tahun pernikahan ke dua puluh dua dari kedua orangtua Eva.
Hanya Olive yang belum kelihatan karena ia masih di kamarnya. Si bungsu dari keluarga Morgan itu memang sukanya dandan sehingga ia selalu harus tampil prima untuk setiap kesempatan apalagi pada perayaan pernikahan orangtuanya seperti sekarang. Tak ada satu pun yang tahu apa yang Olive sedang lakukan di lantai dua.
Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki dari arah dapur semakin mendekat.
“Ada apa Pa?” tanya Zaini pada suaminya.
“Kakak coba jelaskan apa yang terjadi!” ujar Mars menatap putri sulungnya.
Semua orang akhirnya menatap pada Eva menanti penjelasan darinya.
“Ada orang yang iseng melakukan tabrak lari. Eva baru keluar dari pusat perbelanjaan tadi dan hendak belok ke kiri. Eva yakin sudah tidak ada lagi kendaraan dari arah sebelah kanan, sehingga Eva maju tapi belum juga moncong sedan Eva menukik, sebuah 4wheel drive hitam menerobos dan menyerempet bagian kanan si putih tulang. Akhirnya penyok, tapi syukurlah Eva masih bisa tiba di rumah dengan selamat.”
Eva kembali duduk di salah satu kursi setelah selesai berbicara. “Apa kita biarkan saja, Pa?” tanya Zaini menghampiri suaminya.
“Apakah ada kemungkinan CCTV yang menangkap peristiwa tadi?” tanya Dean menatap ke Eva.
“Kemungkinan kecil Om, karena Eva sudah berada di luar kawasan pertokoan tadi. Sudah keluar dari pelataran parkiran.”
“Kakak tadi berada di jalan yang mana, biar Leo coba hubungi teman Leo yang polisi. Mungkin mereka tahu titik kamera di jalan yang bisa memberikan petunjuk untuk kita.”
Eva menjawab pertanyaan adiknya. Leo lalu berdiri agak menjauh untuk berbicara melalui ponselnya.
“Besok Eva pinjam mobil Mama atau Papa, ya? Eva malas ke bengkel.” Suami istri itu hanya saling menatap dan belum ada yang menanggapi permintaan putri mereka. Sebaliknya Mars meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang.
“Kuncinya nanti jangan disimpan di kamar. Sudah ada teknisi langganan Papa yang akan datang besok dan membawa mobil Kakak ke bengkel. Sementara, bisa pakai mobilnya Mama dulu.” Mars bersuara setelah selesai berbicara di telepon.
“Hei! Hei! Hei! Bagaimana penampilan Olive?” suara melengking dari adik bungsu Eva mengalihkan perhatian semua orang. Olive turun dari lantai dua di mana kamar mereka semua berada. Ia memakai gaun panjang bak Cinderella ditambah bando dengan warna yang senada dengan baju hijaunya. Jangan lupa sepatu putih agak transparan setinggi 5cm mempermanis dandanannya.
Apabila ia berdiri berdampingan dengan Eva, maka akan terlihat perbedaan yang amat sangat. Bukan pada kecantikannya karena masing-masing menarik karena perawakan yang mereka miliki, tetapi pada cara berpakaiannya.
Eva baru merubah penampilannya karena tuntutan profesi kalau tidak ia akan selalu tampil kasual cenderung mengikuti gaya berpakaian Mars sewaktu masih lajang. Sementara Olive sangat feminin, sedikit melampaui cara berdandan Zaini. Mars memeluk Zaini dari belakang sambil mengomentari tampilan putri bungsunya.
“Cara berdandan dari putri bungsu Papa tidak pernah diragukan, bahkan jauh lebih hebat dari tampilan istri papa.”
Semua orang menyambut gurauan Mars dengan tawa sedangkan Olive terlihat senang dengan pujian papanya sehingga ia dengan bersemangat menanggapi, “Selamat ulang tahun pernikahan. Papa dan Mama adalah pasangan teromantis yang Olive tahu. Setelah itu baru Tante Voni dan Om Dean, tentunya!”
Olive memberikan ciuman pada kedua orangtuanya sekaligus kado yang ia sudah siapkan. Tadinya, ia sembunyikan di punggungnya.
“Terima kasih Sayang. Kamu memang sangat perhatian,” ucap Zaini menerima kado dari Olive.
Eva sendiri menepuk dahinya karena lupa akan hari istimewa dari orangtuanya sedangkan Leo hanya senyum saja melihat tingkah Olive dan juga Eva. Leo sendiri juga tidak siapkan kado tapi ia sudah memesan menu spesial yang disukai kedua orangtuanya untuk pelengkap makan malam mereka nanti. Dia hanya menunggu diantar. Harusnya beberapa menit lagi sudah sampai kalau pihak restoran menepati janjinya.
Leo duduk dekat Eva sambil berkata, “Kak, temanku masih coba mengecek kamera di jalan seputaran kawasan yang Kakak bilang tadi. Kata mereka ada beberapa titik memang tidak dipasang kamera.”
“Terima kasih. Kalaupun tidak terlacak anggaplah sebagai pembelajaran bagiku agar lebih berhati-hati lagi.”
Malam itu mereka melanjutkan canda tawanya sambil makan malam setelah menu pesanan Leo tiba. Kebersamaan mereka diakhiri dengan berdansa bersama dengan minum dua botol anggur merah yang dibagi sama rata untuk mereka bertujuh. Dean dan istrinya memilih untuk menginap dan akan kembali ke apartemen mereka pagi-pagi sekali karena Voni tidak mau Dean menyetir setelah minum alkohol.
Eva tidak banyak bicara malam itu. Ia ikut tersenyum dan tertawa bersama anggota keluarga yang lain. Ia kagum dengan kemesraan dua pasangan yang ada di hadapannya saat melihat mereka berdansa. Namun di dalam kepalanya, ia sibuk memikirkan akan seperti apa masa depannya nanti. Keluarga seperti apa yang ingin ia bentuk dan dengan siapa. Seseorang dengan tipe seperti Tommy ataukah seperti Ricky. Semuanya masih hitam karena baginya, menjalin hubungan itu rumit seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami.
Bersambung