Bab 15 Rasa yang Baru
Bab 15 Rasa yang Baru
Eva dan Ricky sudah tiba di sebuah restoran yang dipilihkan oleh Ricky. Hampir saja Eva tertidur karena ia memang sudah lelah.
Mereka ingin menempati sebuah meja untuk empat orang dekat kasir, tapi Eva menangkap sosok yang ia kenal sedang duduk dengan seorang lawan jenis.
Eva menarik Ricky untuk menyembunyikan dirinya karena ia tidak mau terlihat oleh orang yang ia kenal tersebut.
Eva menunduk, melangkah dengan rapat di samping Ricky sambil menarik lengan pria itu agar tetap menjadi tameng untuk dirinya.
Ricky tidak mengerti apa yang Eva inginkan, tapi juga tidak menolak sampai mereka sudah duduk.
“Jangan sebut namaku, pria di meja sebelah itu pamanku Dean. Tapi ia tidak sedang bersama dengan tanteku,” ujar Eva mencondongkan tubuhnya agar apa yang ia katakan tidak terdengar.
“Jadi, apa kita mau pindah restoran?” selidik Ricky ikut memelankan suaranya.
“Tidak, biar saja di sini. Aku ingin tahu, apakah ini pertemuan bisnis atau romantis.”
Eva menganggukkan kepalanya sekali untuk menegaskan perkataannya. Ricky mengalah dan menuruti keinginan Eva. Dalam situasi seperti ini pastilah Eva tidak ingin menjadi pusat perhatian, sehingga Ricky menginisiasi semuanya. Pelayan menghampiri mereka dan mencatat menu yang dipesan.
Percakapan serius tentang ide yang pernah mereka bahas bersama di kantor Eva, disampaikan dengan jelas oleh Ricky. Intinya, atasannya telah setuju dengan program tersebut.
Nantinya akan ada berbagai format, yang perlu mereka siapkan untuk mengikat kerjasama yang akan berlangsung.
Satu tahun percobaan dulu, sebelum perpanjangan kerjasama.
Sambil berbicara dengan Ricky, sesekali Eva menajamkan pendengarannya. Kesempatan besar saat Ricky ijin ke kamar kecil. Eva bisa mendengarkan percakapan pamannya dan lawan bicaranya.
“Saya serahkan semua keputusan pada Ibu. Saya hanya bisa mengikuti perintah atasan.” Ava bisa menebak itu suara pamannya.
“Akan lebih baik jika Pak Dean yang mendampingi saya. Saya ambil keputusan ini karena, proyek tersebut sudah menjadi tanggung jawab Pak Dean dalam enam bulan terakhir.”
“Siap Ibu,” balas Dean lagi.
“Apakah kita sudah bisa menjadwalkan keberangkatan satu minggu dari sekarang?” Ava mendengar suara wanita.
“Saya akan pastikan waktunya lagi. Saya perlu diskusi dengan istri saya dulu.”
“Pak Dean sangat menghargai istri Bapak.”
“Tentu saja Bu. Saya tidak bisa hidup sendiri tanpa istri saya.”
Mendengar perkataan pamannya membuat hati Eva menjadi hangat.
“Saya sangat berharap suami saya juga bisa memiliki pikiran yang sama dengan Pak Dean.”
Kalimat wanita itu barusan membuat Eva ingin berdiri dan segera membubarkan pertemuan mereka. Eva hafal betul dengan motivasi di balik kalimat yang baru saja terdengar. Wanita itu sedang mengeluarkan jurus untuk mendapatkan simpati dari pamannya.
Lalu Eva tidak bisa mendengar dengan jelas percakapan selanjutnya, karena Ricky sudah kembali.
“Mobilmu di mana?” tanya Eva saat hidangan mereka sudah hampir selesai.
“Tadi memang aku keluar dengan taksi. Tiba-tiba saja malas menyetir.”
“Kalau begitu nanti aku yang joki saja dalam perjalanan pulang.”
“Aku bisa dengan taksi saja dari sini ke kantor. Mobilku ada di sana.”
“Aku bisa mampir kok. Sepertinya searah menuju rumahku,” balas Eva.
“Kalau begitu aku yang nyetir. Nanti kamu bisa lanjut lagi dari kantorku.”
“Pastilah, kan kamu sudah turun!”
Mereka berdua sama-sama mengakhiri percakapan dengan tawa kecil.
“Apakah pamanku masih ada?” tanya Eva setelah makanan penutup mereka sudah tak tersisa secuil pun.
“Tidak ada lagi. Mereka sudah pergi dari tadi,” balas Ricky sambil menandaskan jus di gelasnya dan membersihkan mulutnya dengan tisu.
“Menurutmu, aku harus kabari tanteku atau tidak? Aku bingung.”
“Memangnya kamu mencurigai sesuatu?”
“Entahlah. Aku hanya akan merasa bersalah sekali, jika memang pamanku punya wanita idaman lain.”
“Itu bukan urusanmu. Itu masalah dari mereka. Tidak usah dipikirkan.”
“Tapi aku seperti menyembunyikan sesuatu dari tanteku jika dugaanku tidak meleset.”
“Kamu nanti di mobil bisa pura-pura menelepon tantemu dan tanyai kabar mereka.”
“Ide bagus. Inilah kelemahanku. Selalu saja ingin mencampuri urusan orang lain.”
“Bukan kelemahan, namun terlalu peka.”
Menjelang pukul sembilan barulah Ricky dan Eva meninggalkan restoran.
Seperti yang sudah dibahas saat makan. Eva langsung berbasa basi dengan tantenya per telepon. Dia mendapat kabar kalau pamannya memang sedang makan malam bisnis dengan atasannya. Mereka sedang merencanakan perjalanan ke luar kota untuk urusan pekerjaan.
Apa yang ditakutkan Eva ternyata salah. Ia bersyukur karena setelah berbicara dengan tantenya, ia merasa lebih tenang.
“Calon istri kamu bisa marah jika tahu kalau kamu sedang bersama aku sekarang,” ujar Eva saat mereka sudah setengah perjalanan menuju kantor Ricky.
Eva baru ingat kalau ia baru saja makan malam bersama calon suami wanita lain.
Ricky tertawa terbahak-bahak mendengar perkatan Eva. Ia lalu berkata, “Kamu ada-ada saja. Dia nggak bakal tahu karena masih di luar negeri.”
“Jadi kalian para cowok seperti itu, ya. Tidak merasa penting untuk berbicara pada calon istri sendiri, tentang apa yang kalian lakukan.”
“Pasti bicara kalau dia tanyakan.”
“Aku baru saja mencurigai wanita yang bersama pamanku tadi. Tanpa menyadari sama sekali akan kelakuanku. Tidak tertutup kemungkinan, kalau orang lain juga bisa berpikiran yang sama tentang diriku. Aku memang bodoh.”
“Ini baru kelemahanmu. Tidak baik suka menyalahkan diri sendiri. Tidak selamanya apa yang dilihat dan dianggap orang lain itu benar.”
Eva tidak menanggapi perkataan Ricky. Selanjutnya suasana hening saja yang ada. Setiap mereka berkutat dengan pikiran masing-masing.
Ricky merasakan hal yang berbeda. Kekagumannya pada Eva tetap tidak luntur. Namun timbul pemahaman yang baru bagi Ricky. Gadis di sampingnya ini terlihat kesepian. Ricky bisa tangkap kesan itu karena percakapan mereka hanya seputar kerja dan keluarga. Walaupun Ricky mencoba bertanya tentang hubungan pertemanan dekat dengan seseorang, Eva selalu berhasil mengelaknya, sekaligus mengalihkan topik percakapan.
Kendaraan putih tulang milik Eva akhirnya berhenti mulus di depan kantor Ricky.
Pria itu turun dan mereka saling pamit. Lalu Eva meluncur cepat untuk bisa tiba di rumahnya.
Ia sudah sangat letih dan butuh kasur empuknya.
Selama perjalanan Eva memikirkan kembali kejadian sepanjang satu hari, terutama di sore hari. Anehnya, ia sudah tidak merasa kesal lagi kepada Rara. Mengingat sahabatnya itu, Eva meraih ponselnya dan mengecek jika ada pesan baru.
Rara mengomelinya karena pergi tanpa pamit. Tetapi, sudah hal biasa bagi mereka berdua untuk saling melampiaskan kemarahan. Membawa makanan kesukaan Rara nanti, akan selalu bisa meluluhkan hatinya dengan cepat.
Eva sampai di rumahnya dan ia dapati semua lampu sudah dipadamkan.
Hampir semua penghuni rumah sudah berada di kamar masing-masing.
Eva melihat mobil sudah lengkap di dalam garasi termasuk milik dari Leo, adiknya.
Jam dinding berbunyi tepat pukul sepuluh saat pintu kamar Eva ia tutup dengan perlahan.
Setelah membersihkan diri, Eva langsung melompat di atas kasur kesayangannya.
Ia mengingat kembali kejadian sepanjang hari yang baru ia lewati. Eva merasa kesepian. Tidak jauh berbeda dengan apa yang Ricky pikirkan.
Tetapi ada satu hal yang menarik. Sebelum terlelap, wajah Ricky tetap ada dalam pikiran Eva.
Konselor muda itu mencoba mencerna apa yang ia rasakan saat bersama Ricky malam ini. Satu kesimpulan bahwa ia bisa melupakan segala kejengkelannya saat ada bersama Ricky tadi.
Eva mulai mengakui kalau Ricky menarik. Tapi ia belum rela membenarkan kalau ia mulai memiliki rasa untuk pria itu. Rasa yang terlarang karena pria tersebut sudah menjadi milik orang lain.
Bersambung