Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 14 Jadi Obat Nyamuk

Bab 14 Jadi Obat Nyamuk

Eva menatap Rara yang dengan tenangnya berjalan menghampiri mejanya.

“Maaf, Say. Masih menjemput dia lho, makanya agak terlambat,” bisik Rara sambil mengerling pada cowoknya.

“Kamu kan bisa kabari bakal selama apa baru tiba di sini, waktu kirim pesan tadi. Jadinya aku tidak menunggu sendirian seperti jomblo yang menyedihkan.”

“Aku traktir kamu deh, malam ini. Jangan cemberut lagi!”

“Itu siapa?” tanya Eva begitu pemuda yang digandeng sahabatnya berjalan menuju toilet.

“Pacar aku dong!”

“Jadi, kamu bawa dia buat pamer ke aku?” sahut Eva ketus.

“Kamu itu psikolog paling labil yang pernah ada di muka bumi.”

“Aku mengakhiri hari kerjaku sangat buruk. Kebetulan semua pemicunya adalah para kaum adam. Dan kamu, datang dengan salah satu dari mereka.”

“Jadi, dia nggak boleh ikut nyanyi dengan kita?”

‘Kamu juga telat karena menjemput dia. Kenapa semua orang seperti kompak, untuk membuat aku dongkol sore ini,’ geram Eva tanpa mengucapkan dengan lantang.

“Sepanjang dia tidak mengganggu kesenangan kita,” timpalnya membuang pandangannya dari Rara.

“Aku tidak tahu kalau kamu sedang bad mood.”

“Sudah terlanjur. Yuk! Biar kita pulangnya tidak terlalu malam.”

Eva berdiri karena ia melihat dengan ekor matanya, pacar Rara sudah mendekati mereka.

Eva memang akan sangat bebas, menunjukkan apa yang ia rasakan pada Rara seperti saat ini. Sahabatnya juga sudah maklum dengan hal itu. Mereka tadi memang hanya saling mengirim pesan. Jika sempat saling menelepon, mungkin akan berbeda hasilnya. Rara bisa mendengarkan nada kekesalan dari Eva. Dengan begitu ia bisa tahu perasaan sebenarnya dari Eva.

“Kenalkan, sahabatku.” Rara menebar senyum manisnya begitu cowoknya mendekat.

Pacar dari Rara mengulurkan tangannya. Eva menyambutnya sekilas dengan menyebut namanya, “Eva Morgan.”

“Steve.”

Rara memberikan tanda pada pacarnya untuk bersabar sebentar, biar mereka bisa pesan tempat. Pemesanan untuk dua jam, dibayar oleh Rara seperti janjinya.

Termenung sambil mengamati Rara melakukan semuanya, Eva sudah berpikir. Ia akan coba untuk mengendalikan stresnya. Ia tidak mungkin mengusir Steve dan membuat sahabatnya jadi kecewa.

Ia akan berlagak pilon saja kalau sudah ada di dalam ruangan bersama mereka berdua. Paling lampunya akan ia minta petugas redupkan, sehingga matanya tidak terganggu.

Salah satu derita tak terbilang bagi Eva, yang harus menyaksikan kemesraan dari sahabatnya nanti. Sisi positifnya, ia akan memiliki waktu lebih banyak untuk bernyanyi. Pengalaman sebelumnya, mereka harus saling rebutan mikrofon karena masih belum puas, sedangkan waktu hampir selesai.

Mereka berdua mendapatkan bilik yang berbeda dari yang biasa mereka gunakan.

Berjalan bersama, Eva membiarkan Rara dan kekasihnya memimpin di depan, mengikuti petugas yang mengantar mereka.

Mereka tidak kesepian. Bunyi musik terdengar keluar, dari celah pintu dari beberapa bilik yang tidak tertutup rapat. Mereka harus melewati lorong untuk mencapai bilik yang telah dipesan. Persis dugaan Eva, setelah semua perlengkapan karaoke dinyalakan, Rara meminta agar cahaya ruangan diredupkan.

Sejenak Eva lupa akan kekesalannya karena ia mulai membuat daftar lagu yang ia sukai. Sementara Rara yang duduk tepat di samping Eva, menyebutkan beberapa lagu yang ia minati sambil ngobrol dengan Steve. Tamu cowok yang Eva tidak undang itu, sesekali menatap layar ponselnya terutama saat Eva dan Rara terlihat asyik berbicara.

Lima belas menit berlalu dan meja mereka sudah berisi beberapa camilan dan minuman dingin. Awalnya, Rara masih betah berduet dengan Eva. Selanjutnya, Rara sudah mulai kehilangan fokus. Ia sudah menaruh mikrofonnya di atas meja dan memberi tanda pada Eva untuk bernyanyi sendiri. Steve sepertinya sudah mulai bosan. Pria itu tidak suka bernyanyi tapi sudah janji untuk menemani Rara. Pasangan itu terlihat asyik di ujung sofa bersenda gurau, membiarkan Eva berkutat dengan nyanyiannya. Mereka hanya akan bertepuk tangan di akhir setiap lagu yang Eva selesaikan.

Eva terpaksa harus ke toilet di tengah keasyikannya bernyanyi. Saat ia kembali, matanya harus ternodai dengan aksi saling tukar saliva dari pasangan, yang duduk di sampingnya. Rara dan Steve juga terlalu sibuk sehingga tidak menyadari kehadiran Eva. Mereka semakin lengket dan mengeluarkan suara-suara aneh yang membuat Eva terpaksa mengeraskan volume. Eva melirik batas waktu di layar televisi. Masih tersisa sekitar empat puluh menit.

Karena sudah merasa canggung akan merusak kesenangan Rara, konselor muda itu perlahan-lahan keluar dari bilik tersebut dengan membawa serta semua benda kepunyaannya.

Setidaknya, ia sudah mewujudkan niatnya untuk bernyanyi demi menyalurkan emosi negatifnya.

Eva melangkah dengan cepat untuk sampai ke tempat parkir mobilnya. Jam menunjukkan hampir pukul tujuh malam. Tanpa Eva sadari, seorang sedang mengamatinya dan berusaha untuk mendekatinya. Namun, Eva melangkah sangat cepat. Ia seperti itu karena ingin segera menghilang dari gedung agar tidak terlihat oleh Rara. Akibatnya si pengikut itu terpaksa mengusik kesendirian Eva. Ia berteriak, “Eva! Eva!” Gadis itu akhirnya berhenti dan menoleh pada panggilan ke dua.

Seorang pria. Ia berlari kecil mendekati Eva yang sudah terpaku di satu posisi. Gadis itu sesekali masih menatap ke arah tempat hiburan yang ia barusan tinggalkan.

“Malam, Rick. Kamu ada di sini rupanya.”

Pria itu ternyata Ricky, si pengacara.

“Apa aku mengganggumu? Kamu sepertinya sedang terburu-buru?” jawab Ricky.

“Aku harus segera pergi dari sini,” balas Eva.

“Apa kita bisa bicara sebentar?” tanya Ricky enggan melepas kepergian Eva.

Eva mulai melangkah dan Ricky mengikutinya.

“Apakah tidak bisa ditunda lagi pembicaraan kita?”

“Apa kamu tidak ingin mengetahui hasil percakapan terakhir kita waktu itu?” balas Ricky balik bertanya.

“Baiklah. Kita bicara tapi jangan di sini.”

“Boleh aku ikut dengan mobilmu?”

Ava mengangguk dan mereka menghilang ke dalam lift. Kotak listrik itu meluncur mulus, menghantar mereka ke lantai dasar gedung.

Ricky mengiringi langkah Eva sambil berkata, “Biar aku yang membawa mobilnya.”

Eva tidak membantah. Ia mengeluarkan kunci mobil dari dalam tas kecilnya.

“Tolong jangan sebarkan pada siapa pun kalau mobilku berantakan,” kata Eva saat keduanya sudah di dalam.

Ricky hanya mendehem. Ia menyalakan lampu dalam bagian depan untuk mengenali interior dan semua panel yang ada di sana sebelum mengendarainya.

Eva sendiri meraih ponselnya dan mengirimkan pesan pada Rara.

Ia hampir lupa kalau ia tadi melarikan diri dan belum pamit. Pesan untuk sahabatnya penuh dengan sandiwara. Ia sampaikan maaf karena tidak sempat pamit karena terlalu panik. Orang rumah meneleponnya untuk segera pulang saat itu juga, karena ada seseorang yang sudah menantinya. Tamunya itu bersikeras ingin tinggal sampai bisa berbicara dengan Eva. Akhirnya ia tegaskan kalau ia memang harus balik. Ia takut tamunya adalah salah satu kliennya yang butuh bantuan. Setelah itu ponselnya ia getarkan dan disimpan dalam tasnya.

Eva melirik Ricky yang terlihat serius menyetir. Pria itu bungkam saja sejak mereka berada di dalam mobil.

“Kita sambil makan malam, ya? Aku sudah lapar.” Akhirnya suara bariton itu menyapa gendang telinga Eva.

“Tempatnya terserah kamu. Aku bisa makan apa saja.”

Hening kembali tercipta di antara mereka.

Mobil Eva menembus keramaian lalu lintas di malam hari dari kota West.

Dalam kesunyian Eva membatin, ‘Asyik juga kalau ada sopir yang bisa mengantar ke sana sini apalagi dalam keadaan lelah dan kesal seperti ini. Mungkin, begini rasanya kalau memiliki pasangan. Kamu akan merasa dimanjakan. Tidak harus melakukan semua hal sendiri. Bisa merasa santai. Tidak merasa cemas.’

Sebentar, ada yang aneh bagi Eva.

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel