Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13 Para Pria Aneh

Bab 13 Para Pria Aneh

Satu minggu telah berlalu sejak pertemuan terakhir antara Eva dengan Ricky, namun belum ada kabar sama sekali dari pengacara muda itu.

Eva dengan aktivitas rutinnya sudah membuka pintu ruang kerjanya untuk pulang, begitu rekan kerjanya Tommy menghadang di ambang garis pintu.

“Punya waktu? Saya ingin bicara sebentar.”

“Tentu saja Tom. Mari masuk!” sahut Eva dengan ramah memberi jalan dengan bergeser.

“Hanya sebentar saja, saya hanya ingin memperingatkan kamu!” balas Tommy memaku tubuhnya di satu titik setelah melangkah masuk di ruangan. Tommy memasang wajah datarnya, walau Eva sudah berusaha bersikap ramah.

“Aku dengarkan!” balas Eva tidak kalah seriusnya melihat tampang Tommy yang tidak bersahabat. Mereka berdua berdiri saling berhadapan.

“Kalau kamu kerjanya tidak benar, maka akan mempengaruhi citra dari semua konselor yang mencari nafkah juga di gedung ini.”

Mata Eva membeliak, kaget mendengar perkataan dari Tommy.

“Tidak usah pura-pura bingung. Aku menerima banyak keluhan dari klien yang mengunjungi kamu belakangan ini. Mereka tidak puas dengan apa yang kamu kerjakan. Mereka tidak merasa terbantu. Kamu hanya membuat mereka berpikir sendiri tanpa memberikan solusi. Itu saja yang aku mau bilang!”

Tommy langsung melengos keluar tanpa menanti tanggapan dari Eva.

Gadis itu menggerutu dengan menghentakkan kakinya karena kesal dengan sikap Tommy yang tidak sopan sama sekali.

“Dia pikir dirinya siapa! Main asal umpat! Atasan bukan, teman dekat bukan, apalagi sebagai ayah,” gumam Eva pada dirinya sendiri dengan menyentak tali tas kerjanya. Ia agak membanting pintu saat menguncinya untuk segera keluar dari ruang kerjanya.

Tiba-tiba saja gedung itu terasa lebih panas dari biasanya. Ia melewati resepsionis tanpa mampir untuk ngobrol sejenak, seperti yang biasanya ia lakukan karena jengkel pada rekan kerjanya Tommy, tersebut.

Eva setengah berlari menuju parkiran mobilnya, ia hanya ingin cepat melampiaskan emosinya dengan berteriak sekencang-kencangnya tanpa mengganggu lingkungan sekitarnya.

Ia segera masuk ke dalam mobil dan mengunci semua pintu dan jendela serta memutar musik agak keras dan ia mulai berteriak sekuat yang ia mampu.

Musik ia hidupkan hanya untuk mengimbangi jika ada yang mendengar teriakannya. Biarlah mereka berpikir, ia sedang bernyanyi tanpa nada yang jelas.

Puas sudah melampiaskan amarahnya, Eva memilih untuk bersenang-senang dan ia mengirimkan pesan pada Rara untuk bisa menemaninya. Dalam keadaan perasaan yang terganggu seperti sekarang, Eva biasanya akan menuju tempat karaoke. Kebetulan Rara, sahabatnya sangat suka bernyanyi sehingga Eva harap, temannya itu sudah pulang dari kantor.

Di tempat yang berbeda, Alda yang adalah klien Ricky dan juga Eva sedang berada di dalam ruang kerja suaminya.

Wanita setengah baya itu sedang menahan rasa sakit hati karena, ia terpaksa harus menyaksikan hal yang menjijikkan untuk ke sekian kalinya. Selain perabot dan peralatan kantor, ada ruang lain dengan pintu kaca, sebagai tempat suaminya beristirahat jika kelelahan padahal masih banyak kerja. Sayangnya, keberadaan ruangan itu mulai disalahgunakan lima tahun belakangan.

Dari tempatnya berdiri di ambang pintu, Alda bisa melihat seorang wanita tanpa penutup tubuh bagian atas membelakanginya. Sepasang tangan terlihat melingkari punggung polos tersebut yang tak lain adalah milik dari suaminya. Alda muncul di ruangan itu hendak menyampaikan tekadnya yang sudah bulat untuk bercerai dan mengabari suaminya agar bersiap-siap bertemu di pengadilan. Tetapi karena suaminya sangat sibuk bersama entah sekretaris yang ke berapa, Alda mengurungkan niatnya dan menelan kenyataan pahit itu sendirian.

Alda menutup kembali pintu dan berlalu dari sana. Namun sebelumnya, Alda mengambil gambar perbuatan suaminya sebagai bukti. Niatnya untuk berpisah semakin menguat. Sudah tidak ada lagi tembok penghalang baginya karena ia sudah mendapatkan seorang pengacara yang akan mendukungnya. Alda butuh mendekati anak perempuannya yang berusia lima belas tahun, dan memberikan penjelasan akan apa yang akan mereka hadapi nanti.

Kembali ke salah satu pusat perbelanjaan di Kota West, yang juga menyediakan beragam hiburan di lantai teratas, selain aneka kebutuhan sehari-hari yang lengkap mencakup sandang, pangan dan papan di lantai lainnya.

Eva sedang berdiri di tangga eskalator menanti perhentiannya agar ia bisa menapaki lantai yang ia tuju.

Ia sama sekali tidak memperhatikan lingkungan sekelilingnya. Tujuannya hanya satu yaitu tempat bernyanyi langganan dirinya dan Rara. Tempat itu memiliki kafe dan resto di bagian depan, dan beberapa bilik dengan perlengkapan karaoke di bagian dalamnya.

Eva melangkah maju hingga terpaksa berhenti karena lengannya dicolek oleh seseorang.

“Eh, siapa?” ucap Eva menatap seorang wanita dan pemuda di hadapannya.

“Sore Ibu Eva. Masih ingat saya?” tanya Ibu tersebut.

“Ya, ampun! Masih Bu. Mana mungkin saya lupa dengan klien yang sudah lama. Pertemuan kita yang terakhir di kantor saya sekitar bulan lalu,” sahut Eva dengan dahi mengerut sekilas, tanda ia sedang berpikir.

“Benar sekali. Oh, iya. Perkenalkan anak pertama saya.”

Eva menjabat tangan pemuda asing di depannya dan mengeluarkan senyum profesionalnya. Balasan yang Eva dapatkan di luar dugaannya. Pemuda itu menjabat kelima ujung jemari kanannya dengan erat, sambil salah satu ujung jarinya menyolek telapak tangan Eva dua kali, sebelum dilepaskan. Akibatnya Eva merasakan tusukan di telapaknya selain tekanan pada ujung jari-jarinya.

Eva ingin mengeluarkan umpatan karena sikap tak sopan dari anak kliennya itu, tapi tertahan di ujung lidahnya, karena ia tetap harus mempertahankan senyum bisnisnya. Sementara si pelaku, terlihat mengeluarkan senyum menyerigai puas, karena berhasil menggoda pemudi yang terlihat manis dan mapan tersebut, dipandang dari cara berpakaiannya.

“Sendirian saja, Ibu Eva?”

“Saya lagi ditunggu teman Bu. Kita janjian di sini. Ibu ada acara di gedung ini?”

“Iya, ada urusan sedikit dengan Maxi,” sambil menunjuk pada anak laki-lakinya.

“Baik, Bu. Silakan diteruskan! Saya juga mau lanjut,” sambar Eva sambil melihat jam tangannya mengabaikan bertatapan dengan pemuda di depannya.

“Terima kasih. Sampai ketemu di sesi konsultasi berikutnya.”

Eva mengangguk dan melambai tanda perpisahan meninggalkan Ibu dan anak yang sepertinya baru habis berbelanja. Eva melihat Maxi tadi membantu ibunya mendorong kereta belanjaan.

Konselor muda itu mempercepat langkah kakinya untuk duduk di salah satu sofa kosong di kafe. Tak lama kemudian seorang pelayan sudah mendekatinya dan ia memesan satu botol minuman dingin sambil menanti Rara.

Duduk sendiri ditemani layar ponselnya membuat Eva berpikir kembali kejadian yang ia alami dalam dua jam terakhir. Semua pria yang ia temui dalam hari ini sangat menyebalkan. Satu datang dengan marah-marah sok berkuasa, sedangkan satunya lagi dengan sikap sangat tidak sopan. Apa maksudnya coba menjabat tangan dengan cara seperti itu. Sangat ingin mencari perhatian. Kalau saja tadi kliennya tidak ada di depannya, sudah dia katai pemuda asing tak tahu tata krama itu.

Eva melihat kembali ponselnya dan sudah sepuluh menit berlalu dari pesan terakhir yang ia baca dari Rara.

Minumannya juga sudah datang dan telah dihabiskan namun Rara belum muncul juga. Genap tiga puluh menit sudah ia menanti. Kekesalannya semakin berlipat ganda karena sahabatnya tak kunjung tiba padahal sudah berjanji. Masalahnya tidak akan seru kalau dia bernyanyi sendiri.

Eva sudah menyerah dan hampir meninggalkan mejanya begitu menangkap bayangan Rara tiba dengan seorang pemuda, sambil bergandengan.

Semua sumpah serapah untuk Rara hampir meluap, tetapi masih ditahan oleh Eva karena tidak mau mempermalukan diri sendiri.

Senyum kesal Eva tebarkan bukan untuk Rara, tapi pria yang ia gandeng demi alasan bersikap seperti insan beradab, kendati pun di dalam dirinya membara.

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel